4

37.3K 3.1K 98
                                    

Anka menangis bombay saat dirinya dibawa ke dalam mobil oleh seseorang yang tadi dia tabrak. Apa dia melakukan kesalahan fatal yang tidak bisa di maafkan? Pemikiran negatif terus saja menguasai, membuat Anka stres sendiri.

Rahel, si penculik memukul stir mobilnya, mendengar tangisan Anka membuatnya emosi sendiri. Dia mencengkram dagu Anka kuat sampai Anka memaksa dirinya berhenti menangis meski percuma.

"Diam atau gue bunuh lo saat ini juga, paham! "

Anka mengangguk mengerti, dia langsung menghapus kasar air matanya begitu cengkraman Rahel terlepas. Anka memilin ujung bajunya sembari memandang keluar, meski jalanan gelap, itu lebih baik daripada menatap Rahel yang sedang dikuasai emosi.

Selang tiga puluh menit mobil Rahel berhenti di garasi mansion megah. Anka yang melihatnya sampai terkesima, mansion milik daddy nya saja tidak sebesar ini. Memang ya, holkay di dunia oyen itu kekayaannya ga ngotak. Bill Gates sama Elon Musk saja kayaknya kalah deh sama holkay nya dunia oyen.

Anka pasrah saat dirinya ditarik masuk kedalam mansion. Dirinya merasa heran saat hampir semua orang yang ada di sana menatapnya dengan tatapan yang emm... Entahlah, Anka tidak bisa mendeskripsikan nya.

"Rahel, kau sudah pulang? Dimana Zodyk? Tunggu, siapa anak yang kau bawa? "

Rahel yang ditanya tak menjawab satupun pertanyaan bundanya. Dia langsung menyerahkan anak itu pada maid yang kebetulan tengah menyiapkan makan malam.

"Mandikan dia, jangan sampai ada bagian kotor yang terlewat"

"Baik tuan muda"

Maid itu langsung mengantar Anka ke kamar mandi, sementara butler pergi ke ruang penyimpanan, mencari baju yang mungkin cocok untuk Anka gunakan.

Rahel duduk di sofa ruang tengah, mengabaikan bunda nya ya seperti akan marah. Dan benar saja, telinga Rahel tak luput dari jeweran Berlin. Tapi dasarnya Rahel, dia tak meringis meski dia akui jeweran Berlin ga main main sakitnya.

"Rahel! Kalau ada yang bertanya jawab! Astaga, kenapa kedua anakku ga ada yang berbakti? Yang tua hobi mengagetkan, dan yang muda biarin darah tinggi. Kenapa kau hanya mau menjawab pertanyaan opa dan abangmu itu sementara bunda dan papa kau abaikan? Ya Tuhan, apa mereka benar anakku? Atau jangan jangan mereka anaknya setan kolong jembatan? "

Rahel mendengus kesal, bundanya ini selalu bicara panjang lebar ketika sedang marah. Oh apa semua orang tua bersikap seperti Berlin saat sedang marah?

Berlin menyerah, menanyakan hal tak berguna seperti itu tak akan pernah Rahel tanggapi. Dia lantas pergi ke dapur, membantu maid menyiapkan makan malam.

Makan malam tiba, semua anggota keluarga Vincenzo sudah berkumpul, meski hanya istri dan kedua anak Fernan saja karena keluarga besar Vincenzo tinggal di mansion yang ada di Belgia. Fernan hendak memulai acara makan malam namun Rahel menyela.

"Papa, bukannya tidak baik memulai makan malam sebelum semua anggota keluarga berkumpul? "

Fernan sedikit aneh, karena setahun yang hanya Rahel saja yang ke Indonesia. Apa dia melupakan sesuatu?

"Benar, apa salah satu ponakan kalian ke Indonesia?"

"Tidak pa, tapi kita punya tamu"

Fernan menatap Berlin sambil mengangkat sebelah alisnya tanda bertanya. Berlin hendak menjawab namun suara dari arah kamar butler mengalihkan atensi mereka.

"Ga mau! Anka ga mau pake itu Anka bukan bayi haaa"

Fernan mengernyit saat mendengar suara itu, Rahel memanggil maid yang ada di dekatnya. Maid itu mendekat, membungkuk 45 derajat.

Ankara Si Antagonis Polos [ END √ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang