Hillary melempar banyak barang, membuat mansion megahnya nampak seperti kapal pecah. Tidak ada satupun maid ataupun bodyguard yang berani mendekat dan menenangkan Hillary. Mereka takut menjadi sasaran empuk dari sang tuan.
Hillary geram, dia marah atas apa yang menimpanya. Dia mengambil pigura yang berada di dekatnya lalu melemparnya hingga kaca dari pigura itu menggores pipinya.
"KARA! SIALAN! Aku sudah tidak menyukainya sejak dia lahir, anak lemah seperti dia adalah ancaman terburuk. Sejak awal harusnya aku membunuh anak sialan itu! "
Kalut dalam kemarahan, Hillary malah teringat akan raut wajah Kara sekitar empat tahun lalu, saat dia membunuh maid kesayangan Kara dan kedua adiknya tepat di hadapan mereka. Raut yang menyiratkan rasa marah, dendam namun terlihat begitu tenang. Raut wajah kosong yang hanya berhiaskan air mata. Jika diibaratkan, mungkin sama halnya dengan muara sungai, nampak tenang, namun tidak ada yang tahu monster apa yang bersembunyi didalamnya.
Mengingat itu, Hillary semakin emosi. Dia memporak-porandakan mansion miliknya seolah lupa jika dia sudah tidak lagi muda.
"Aku pasti akan melenyapkan mu Kara! "
"Hachu.. "
Kara menggosok hidungnya yang tiba tiba saja gatal menggunakan kedua tangannya.
"Kenapa An? " tanya Chiko, salah satu teman Eksa.
"Ga papa kak, kayaknya aku agak ga enak badan sih, soalnya belakangan ini cuaca ga nentu kan? " jawab Kara seadanya dan kembali memakan nasi goreng pesanannya.
Saat ini dia memang berada di kantin kampus, katanya karena gabut tidak ada jam pelajaran dan juga tidak ada tugas. Dia juga bilang kalau dia kangen suasana kantin kampus yang bisa dibilang lebih tenang dari pada di kantin sekolahnya.
Selesai makan, Kara langsung pergi dari kampus karena dia sudah ada janji akan menemani kedua adiknya bermain bersama.
.
.
.Kara berjalan seorang diri menyusuri jalanan sepi. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, jadi wajar saja jika jalanan di sekitarnya sepi. Di tangan kirinya terdapat kresek belanjaan berisi beberapa kaleng beer, sebotol wine, dan beberapa kotak teh berbeda aroma. Sementara tangan kanannya terdapat beberapa makanan ringan yang pastinya cocok untuk teman minum teh atau wine.
Kara bersenandung kecil karena merasa senang. Hari ini, seolah keberuntungan berpihak penuh padanya. Jika ada yang sadar, Kara berjalan seorang diri tanpa jatuh ataupun tersandung. Bukankah itu keberuntungan? Ingat kan kalau Kara ceroboh dan juga payah, sampai sampai Hillary memandangnya sebelah mata.
Baru saja Kara bersyukur atas keberuntungan nya, dia malah dihadang beberapa orang yang berpenampilan seperti preman.
"Eits, mau kemana adik cantik? Sendirian aja nih? Main sama abang mau? "
"Maaf, saya sedang buru buru. Bisa kan anda sekalian menyingkir? "
Salah satu dari mereka nampak tidak senang. Dia mendekat pada Kara dan Kara reflek mundur beberapa langkah.
"Jangan takut adik manis, abang gak gigit kok, cuma nerkam. "
Kara tersenyum manis, dia menjatuhkan kresek berisi makanan lalu merogoh revolver yang dia simpan di pahanya, bersebelahan dengan belati yang masih stand by di tempatnya.
Crack
Kara menodongkan revolver nya ke arah mereka. Namun tak ada satupun yang takut. Mereka pikir Kara hanya menggertak, dan revolver itu hanya mainan.
"Maaf, jangan salahkan saya jika kepala anda berlubang. " ucap Kara tenang.
"Hahaha, kau unik juga manis, menyerah dan ikut saja dengan kami, kami tidak akan tertipu gertakan seperti itu. "
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankara Si Antagonis Polos [ END √ ]
Teen FictionWARNING ⚠️ Di sarankan jika ingin menikmati cerita ini, jangan pakai logika! Jangan berpikir tentang alur yang ada. Nikmati saja tanpa banyak berpikir. Anggap aja cerita ini kayak air yang mengalir melalui banyak pertigaan atau perlimaan. Entah kali...