"Maaf, aku harusnya tidak menarik tanganmu waktu itu. Tidak masalah kalau kamu tidak memaafkanku, aku keterlaluan"Anka menghela nafasnya, dia mendekat pada Jean laku mengelus kepalanya pelan.
"Jangan lakukan itu lagi, oh iya, kamu tidak sekolah? "
Jean terdiam karena perlakuan Anka yang membuat pipinya bersemu merah. Oh ayolah, ada apa ini? Sial, jantungnya berdetak lebih kencang hanya karena wajah polos dan perlakuan Anka padanya? Apa dia jatuh cinta? Shit, ini tidak boleh terjadi. Cerita ini tidak boleh ada unsur yang membuatnya geli.
"Hey, Anka tanya, kamu tidak sekolah? "
"A-ah, tidak. Opa belum mengijinkanku bersekolah umum karena kejadian tiga tahun lalu"
"Begitu ya. Gimana kalo kita bujuk mereka? Anka juga ingin sekolah. "
Lagi, Jean cengo dibuatnya. Bagaimana bisa Anka melupakan permintaan maafnya begitu saja? Dia bahkan belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
"Anka! Jawab dulu, kamu memaafkan aku atau tidak. Kenapa kamu malah mengalihkan pembicaraan huh? Menyebalkan! "
Anka menghela nafasnya, dia turun dari kasur lalu beranjak menuju balkon kamarnya. Udara siang yang hangat menyeruak masuk ke dalam kulitnya. Ah dia suka suasana seperti ini.
"Anka sudah maafkan. Lagipula ada hal yang jauh lebih sulit dimaafkan "
Ah apa Anka tipe orang yang mudah memaafkan? Lapi kenapa tadi raut wajahnya terlihat tidak menyukai keberadaannya?
"Tapi kalau kamu membuatku marah aku tidak akan pernah memaafkanmu, oh iya..."
Anka menjeda ucapannya. Dia mendekat pada Jean yang masih berada di posisi semula. Tatapannya yang sayu membuat Jean berkeringat dingin, rasanya atmosfer mendadak berat hanya karena tatapan itu.
Anka berhenti tepat di depan Jean. Wajahnya dia majukan hingga bibinya berada tepat di samping telinga Jean.
"Aku bisa saja membunuhmu dengan mudah kalau kau membuatku marah, jadi sebaiknya kamu jaga mulut dan sikapmu itu"
Tubuh Jean seketika menegang, aura berat dan mencekam yang keluar seiring kata yang terucap dari bibir Anka seolah membuat oksigen di sekitarnya menipis. Anka menjauhkan wajahnya, detik itu juga Jean menghirup udara sebanyak yang dia bisa.
"Ah iya satu lagi, kamu sepertinya berguna. Mau tidak kamu membantuku membalas 'dia'? "
Nada yang keluar sekarang terdengar mendayu, namun tetap saja terkesan mengintimidasi di telinga Jean. Tanpa sadar dia mengangguk. Tapi tunggu, Jean tidak tahu siapa dia yang dimaksud.
"A-anka, dia, siapa? "
"Dia o-
" Anka, Jean, sudah waktunya makan siang. Kalian ayo turun "
Keduanya saling tatap beberapa saat.
"Baik bunda"
"Anka akan kasih tahu nanti. Harusnya dia satu sekolah dengan bang Zodyk, kamu pasti akan langsung mengenalinya karena dia menyebalkan. "
Anka pergi ke kamar mandi sekedar mencuci wajahnya membiarkan Jean yang diam mencerna informasi yang dia dapat. Selang beberapa saat Anka keluar dengan wajah yang nampak lebih segar.
"Jean, ayo turun. Bunda pasti sudah cukup lama menunggu"
Jean tersadar dari lamunannya, dengan sigap dia menyamakan langkahnya dengan Anka. Keduanya bergandengan tangan, Jean merasa sedikit heran saat tahu kalau tangan Anka sedikit lebih kecil darinya, padahal tinggi keduanya hampir sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankara Si Antagonis Polos [ END √ ]
Novela JuvenilWARNING ⚠️ Di sarankan jika ingin menikmati cerita ini, jangan pakai logika! Jangan berpikir tentang alur yang ada. Nikmati saja tanpa banyak berpikir. Anggap aja cerita ini kayak air yang mengalir melalui banyak pertigaan atau perlimaan. Entah kali...