9

27.1K 2.4K 32
                                    

Anka menutup pintu kamarnya sepelan munkin tak lupa dia menguncinya dari dalam dan melempar kunci itu asal. Tubuhnya memilih ke lantai serta sesak menguasai rongga dadanya. Anka bingung sendiri, kenapa dia seolah tak rela mengatakan semua itu? Bukankah semuanya sudah jelas? Dia bukan bagian dari mereka.

Anka meremat kuat dadanya yang terasa sesak. Bahkan untuk sekedar menghirup udara saja rasanya sangat menyakitkan. Tanpa dia sadar rasa takutnya akan kematian kembali menyeruak. Apalagi saat dia ingat wajah mommy nya yang terlihat tidak rela dirinya pergi.

"Sakit hiks mommy... Hiks apa Anka akan mati? Lagi? Hiks Anka takut, mommy... Hiks ARKH.. "

Anka melempar vas bunga berukuran kecil di sebelahnya hingga pecah berserakan. Rasa sesaknya tidak berkurang sedikitpun dan itu membuatnya frustasi.

"Sesak hiks mommy... Hiks daddy tolong Anka hiks Ian hiks"

Ruang tengah seketika senyap saat mendengar teriakan serta pecahan kaca dari kamar Anka, berbeda dengan Rahel yang panik berlari dari kamarnya menuju kamar Anka. Rahel hendak mendobrak pintu kamar namun urung saat dia mendengar isakan Anka yang dia yakini sedang bersandar pada pintu.

"Sesak hiks... Kenapa? Kenapa sesakit ini? Hiks padahal dulu Anka pernah merasakan sesaknya. Kenapa? Hiks kenapa Anka tidak terbiasa? Anka tidak boleh takut sendirian hiks, jangan nangis Anka! Jangan lemah! Hiks,,, kenapa Anka tidak mati saja? Mommy hiks "

Rahel terdiam dibuatnya. Dia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi sampai Anka dengan mudahnya meminta mati.

"Anka? Kamu tidak apa apa? "

Dari dalam kamar Anka tersentak mendengar suara Rahel yang terdengar khawatir. Dia dengan cepat mengusap air matanya, tak lupa dia mengambil kunci cadangan di laci kemudian membukanya. Dia tidak membukanya lebar, karena pecahan vas bunga masih berserakan di lantai.

"A- abang apa? "

"Kamu kenapa hm? "

"A-anka emangnya kenapa bang? Anka cuma lelah tadi habis main."

Rahel tersenyum kecut, dia tahu Anka sedang berbohong, tapi dia pura pura tidak tahu karena tak mau Anka tidak nyaman.

"Kamu beneran gapapa kan? Ya sudah istirahat, nanti abang panggil kamu jam 7 malam " ucapnya seraya mengelus rambut Anka.

Anka mengangguk sebagai jawaban lalu kembali menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Tubuhnya kembali meluluh, dia membenamkan wajahnya di lutut dengan wajah yang bersemu merah.

Rasa nyaman dan tenang dia rasakan saat berada di dekat Rahel, tapi disaat yang bersamaan di tidak suka. Itu membuatnya rindu pada Enzo dan Lizzy. Ah ngomong ngomong tentang kedua abangnya, Anka jadi penasaran bagaimana keadaan mereka saat tahu dirinya meninggal.

"Bodoh, kenapa jadi baper? Nyaman"

Rahel yang sebetulnya belum beranjak dari depan kamar Anka terkekeh pelan. Dia yakin pipi Anka memerah sekarang.

.
.
.

Makan malam tiba, Anka dengan malas keluar dari kamarnya hendak menuju ruang makan. Bertepatan dengan itu Jean juga keluar dari kamarnya. Dia menarik tangan Anka cukup kuat hingga Anka terjatuh dan membentur tembok karena memang jika dibandingkan dengan Jean, ukuran tubuhnya sedikit lebih kecil.

"Arkh.. Shh sakit"

Anka menatap Jean tidak suka, begitu juga dengan Jean. Anka berdiri, dia mengusap pantatnya yang terasa nyeri.

"Apa? "

"Aku tidak menyukaimu! Seharusnya kamu keluar dari sini? Kamu membuat bang Rahel mengacuhkanku! "

Ankara Si Antagonis Polos [ END √ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang