part 25 s2

3.4K 398 7
                                    

Eungh...

Keenan mengerjapkan matanya beberapa kali menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Dia bergerak gelisah saat sudah sepenuhnya sadar. Matanya menelisik sekitar, ruangan gelap yang cukup sempit dan hanya ada satu pencahayaan saja. Kaki dan tangannya tidak dirantai namun dia terkurung di ruangan  itu.

"Anjing! Siapa yang ngelakuin ini sama gue hah!? "

Keenan berjalan tak tentu arah. Karena terlalu gelap, dia tak tahu kemana kakinya melangkah. Hingga dia tak sengaja tersandung, membuatnya jatuh tersungkur.

"Anjing! KELUAR LO BANGSAT! JANGAN CUMA BERANI MAEN DI BELAKANG! "

Ruangan yang tadinya gelap tiba tiba terang membuat mata Keenan silau. Dia mengerjap beberapa kali sampai matanya menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk.

"Ah, halo Keenan. Apa kabar? Baik baik kan? Oh iya, maaf aku mengundangmu ke sini secara mendadak. Silahkan, duduk dulu. Mau teh apa kopi, atau mungkin beer? "

Keenan menatap waspada pada Kara yang entah sejak kapan duduk di kursi yang nampak nyaman tak jauh dari tempatnya berdiri. Tidak hanya itu, ada juga meja bundar yang tidak terlalu besar dengan beberapa cemilan dan minuman yang tersaji dengan rapi.

"Kenapa? Kau tidak mau duduk? Bukankah tidak baik mengabaikan tuan rumah yang sudah menyiapkan perjamuan? Anggap saja kamu sedang diundang perayaan ulang tahun ku. "

Keenan akhirnya duduk di kursi yang bersebelahan dengan Kara. Dia diam saat seseorang meletakkan gelas berisi teh di hadapannya.

"Keenan, terima kasih. "

Keenan mengernyit bingung saat Kara berterima kasih padanya yang bahkan tidak tahu apa perbuatannya yang menguntungkan Kara.

"Terima kasih, karena kamu, aku jadi bisa melakukan banyak hal yang sebenarnya sangat aku inginkan sedari dulu. Karena itu, nikmati saja perjamuannya. Kalau ada yang kau inginkan lagi, katakan saja. "

Keenan masih menaruh curiga, namun tak ayal dia meminum teh yang sudah disediakan untuknya. Kara tersenyum smirk, meski hampir tidak terlihat. Dia berdiri, beralih duduk di sandaran tangan kursi yang Keenan duduki.

"Hey, Keenan... Kau tahu, sudah lama aku menyembunyikan ini karena aku takut adikku terluka. Tapi sepertinya itu tidak berlaku lagi. Kau,,, ingin bermain denganku? "

Keenan menatap Kara dengan tatapan menyelidik, namun yang dia dapati hanyalah ekspresi sendu dari sosok Kara. "Bermain denganmu? Yang benar saja! "

"Aku, kehilangan teman temanku. Mereka semua menjauh karena tuduhanmu hari itu. Tenang saja, aku tidak marah padamu kok, hanya saja aku butuh teman untuk sekarang ini. Kau mau kan? "

"Gak! "

"Kau yakin? Padahal permainannya sederhana. Aku tidak akan membebaskanmu kalau kau menolak. Lagi pula permainannya adalah sesuatu yang sangat kau sukai. "

"Apa? "

Kara berjalan menjauh dari Keenan. Dia membuka pintu ruangan dengan lebar. "Kita tanding gulat, kalau kau menang, kau bisa keluar dari sini. Tapi kalau kau kalah, aku tidak bisa menjamin kepalamu selamat" ucapnya seraya tersenyum manis.

Keenan memandang remeh Kara. Dia terkekeh pelan karena menganggap ini tidak imbang. "Pft- hahaha, lo serius? Bukannya lo takut luka? Lo takut rasa sakit kan? " Keenan berdiri, mendekat pada Kara yang masih setia berdiri di tempatnya sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Keenan mendorong bahu Kara menggunakan telunjuknya sambil tersenyum remeh. "Lo itu lemah Kara, jangan so-soan jadi orang. Gue ga jamin tulang lo masih berada di posisi semula. tapi kalo lo maksa, jangan salahin gue kalo nantinya lo tidur di rumah sakit bertahun tahun. "

Bugh..

Pulukan Keenan layangkan pada Kara yang berhasil dihindari dengan mudahnya. Raut terkejut tercetak jelas diwajahnya namun itu hanya sesaat karena dia kembali menampilkan raut datar.

"Li hebat juga ya, tapi jangan  seneng dulu. Gue baru menggertak doang. Kali ini gue serius. "

"Benarkah? Syukurlah, ku pikir aku akan bosan karenamu. "

Ucapan Kara yang kelewat tenang membuat Keenan geram. Keenan kembali melayangkan beberapa pukulan pada Kara dan semuanya berhasil dihindari.

"Apa ini Keenan? Kamu bilang tadi cuma gertakan kan? Ayo dong, aku masih punya pekerjaan lain loh. "

"Diem lo Kara!! Rasain ini bangsat. "

Tidak ada satupun pukulan yang mendarat di tubuh Kara. Dia sudah merasa bosan, Kara melayangkan satu pukulan tepat di bagian ulu hati, membuat Keenan mundur beberapa langkah.

"Uhuk uhuk... Cih! " Keenan mengelap  bibirnya yang mengeluarkan darah dengan kasar. Tatapannya menajam pada Kara yang masih berdiri di tempat semula. "Pukulan lo lumayan juga buat orang lemah kayak lo. "

Kara melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Dia berdecak kesal lalu mendekati Keenan.

"Maaf Keenan. Aku ingin bermain lebih lama, tapi, berkas ku masih belum ku serahkan pada atasanku. Kita akhiri di sini saja ya. "

"Ap-

Bugh...

Kara meninju wajah Keenan hingga jatuh. Dia menduduki perut Keenan lalu kembali meninju leher Keenan dengan brutal. Keenan tak punya kesempatan untuk melawan bahkan bernafas saja tidak bisa. Dia hanya bisa menyaksikan wajah Kara yang datar, perlahan kotor karena darah.

Kara mengambil belati yang dia simpan di pahanya. Menusukkan pada leher, wajah dan dada Keenan beberapa kali. Keenan sudah tak bernyawa namun Kara masih menusuk nusukkan belati itu ke leher Keenan.

Barulah saat kepala itu terlepas dari badannya, Kara menghentikan aksinya. Dia berdiri, mengambil kepala Keenan yang masih mengeluarkan darah. Tatapannya datar tanpa ekspresi. Dia bahkan tak merasa jijik sama sekali dengan darah yang mengotori pakaiannya.

Sementara itu di pojok ruangan, Adrian dan beberapa bawahan Kara yang bertugas di pojok ruangan menatap datar pemandangan mengerikan itu. Mereka pun tak terkejut ataupun takut, karena pemandangan seperti ini adalah hal biasa. Hanya saja untuk Adrian dia sedikit tak percaya. Kara yang dia kenal sebagai tuan mudanya dulu sangatlah lemah dan juga polos. Tapi yang dia lihat sekarang justru kebaikannya. Kara meski terlihat tenang dan ramah ternyata memiliki jiwa psikopat.

"Ah, aku kelepasan lagi. Yudas, tolong urus sisanya. Dan, Ian, siapkan baju ganti lalu antarkan aku pulang. Satu lagi, bakar baju yang terkena noda darah, dan pastikan tidak ada jejak sedikitpun. Terserah bagaimana skenario yang kau pakai,yang jelas jangan sampai ketahuan."

"Baik tuan muda. "

Kara melemparkan kepala itu sembarangan lalu keluar dari ruangan itu. Dia lelah dan ingin segera beristirahat. Di belakangnya, Adrian mengikuti langkah Kara.

.
.
.

Kara menggeliat tak nyaman saat jari Raymond menusuk nusuk pipinya. Meski begitu dia sama sekali tidak berniat membuka  matanya sama sekali.

"Kara, bangun. Pelajaran sudah dimulai hey! "

Dengan ogah ogahan Kara bangun. Dia masih lelah, apalagi semalam dia hanya tidur kurang dari dua jam. Ah, salahkan saja berkas berkas yang dikirimkan sekretaris Mahendra yang memintanya menyelesaikan cukup banyak berkas padahal biasanya tidak sebanyak itu.

"Lo habis ngapain sih? Ini masih pagi tapi lo udah tidur aja. "

Kara melirik sekilas pada Raymond lalu memperhatikan papan tulis dengan malasnya. "Aku tidak bisa tidur semalam. Jadinya pagi ini mengantuk."

Kriet..

Kara berdiri dari duduknya, membuat guru dan teman sekelasnya menatap bingung.

"Kara, kembali duduk di kursi mu. "

"Maaf bu, saya kurang enak badan. Saya ijin ke UKS. "

"Oh, baiklah. Raymond, kau antarkan Kara. "

Ankara Si Antagonis Polos [ END √ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang