Langit malam itu hanya dihiasi bintang. Taman kota yang gelap menjadi tempat terbaik menikmati malam. Angin cukup dingin namun Anka tidak beranjak seinci pun dari sana. Entah apa yang mengganjal hatinya, tapi yang jelas moodnya berada di fase bad.
Helaan nafas gusar terdengar, bahkan sudut mata Anka terlihat basah karena air matanya sendiri.
"Kenapa Anka ada di sini ya? Shhhh sakit... "
Anka memegang mata kirinya, entah sejak kapan darah mengalir dan dia baru merasakan sakitnya.
"Apa Anka akan mati karena sakit? Kalo iya kenapa Anka tidak mati sekarang? "
Anka menggeleng kan kepalanya, menghalau pemikiran negatif yang menghampiri. Dia tidak suka di sini, semua terasa asing meski jujur dia senang karena bisa bebas berkeliaran kemanapun dia mau. Tapi tanpa adanya orang tua serta abangnya membuat hati kecil Anka rindu.
Dia rindu kenangan tiga tahun lalu, dimana mereka masih berkumpul dan menemani saat dirinya sendiri. Jujur dia rindu Ian, bodyguard pribadinya yang selalu menemani dia kemanapun kakinya melangkah.
Anka bangkit dari duduknya, mengenakan jaket yang tadi dia lepas lalu pergi dari area taman. Kakinya melangkah tak tentu arah. Dia tidak mau pulang ke rumah Fernan, entahlah dia merasa ada yang tidak suka dia di sana.
"Kemana? Ini bukan tempat Anka, Anka seharusnya tidak berada di sini."
Lagi, darah merembes ke penutup mata kirinya hingga kain yang tadinya berwarna putih kini berubah menjadi merah. Anka tidak peduli itu, dia terus menyusuri jalanan yang sepi hingga kakinya merasa lelah.
"Apa itu hidup? Anka hidup tapi terasa tidak hidup. Apa ini? Hiks Anka tidak mengerti hiks kenapa rasanya seperti ini? Apa yang kurang? Apa yang Anka lupakan? Mommy hiks kenapa semuanya terasa membingungkan, hiks daddy, Anka butuh daddy hiks...
Anka mau pulang, Anka mau istirahat hiks. Ini semua salah, ini bukan Anka, siapa itu Ankara? Siapa Vincenzo? Daddy hiks Anka mau daddy"
Selang beberapa menit tangisan itu berhenti, bersamaan dengan itu Anka tertidur karena terlalu lelah. Sebuah mobil sport berhenti tepat di depan Anka, pengemudi nya keluar bersama tiga laki laki dewasa yang langsung membawa Anka masuk kedalam mobil.
.
.
."Apa ayah yakin? Kasihan dia ayah"
"Ayah hanya mengantisipasi hal yang mungkin terjadi"
"Tapi opa! Dia hanya anak kecil, bagaimana kalau dia tidak bisa? "
"Opa tidak peduli, anak itu harus pergi dari sini. Lagi pula Jean akan pulang besok, dia pasti tidak suka melihat keberadaan anak angkat itu"
"Ck opa menyebalkan! Opa tau, kehadiran Jean justru tidak diinginkan! Dia sama saja seperti Anka, tapi dia sudah jelas hanya berpura pura polos"
"JAGA UCAPANMU RAHEL! Jean jelas lebih baik daripada anak tidak jelas yang kau pungut itu"
"Ck, terserah opa! Rahel ga mau bicara sama opa kalo opa bener benar mengusirnya"
"Eh? Apa yang terjadi? Apa Anka akan dibuang? Anka harap begitu. Anka ga mau ada di sini lebih lama lagi"
.
.
.Pagi menjelang, Anka terbangun dari tidurnya. Wajahnya lelah tercetak jelas di wajahnya. Masih dia ingat perbincangan keluarga Vincenzo tadi malam. Meski matanya terpejam, pendengarannya jelas mendengar semuanya.
Dia tahu ini tidak benar, dia seharusnya tidak berada di lingkup keluarga Vincenzo. Dia akan mati di tangan Rahel, jika tebakannya benar itu terjadi lima bulan lagi. Jika dia di sini semua alurnya akan hancur. Dan kemungkinan terburuknya dia mati jauh lebih cepat dari ketentuan dalam buku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankara Si Antagonis Polos [ END √ ]
Teen FictionWARNING ⚠️ Di sarankan jika ingin menikmati cerita ini, jangan pakai logika! Jangan berpikir tentang alur yang ada. Nikmati saja tanpa banyak berpikir. Anggap aja cerita ini kayak air yang mengalir melalui banyak pertigaan atau perlimaan. Entah kali...