Bugh..
Bugh.."Hey! Bangun dasar lemah! "
"Jangan begitu lah Dion, kasihan tuan putri kelas kita sampai ketakutan begitu. "
Dion berqlih menatap sahabatnya yang tengah menyandarkan punggungnya pada dinding gudang sambil menyaksikan pembullyan di hadapannya.
"Hah? Tuan putri? Lelucon macam apa itu Kiki? Putri mana yang memiliki burung pipit? Baru tahu aku. "
"Ada, buktinya Kara. Dia punya pipit kan? Ah, bagaimana kalo kita jual dia ke salah satu kenalan ayahku? Ku dengar orang itu menyukai apapun yang dia anggap cantik. "
Seringai tercetak di wajah Dion. Dia sekilas melihat ke arah Kara yang jauh dari kata baik laku kembali menatap sahabatnya.
"Wah, ide bagus itu! Kita bisa jual dia pake harga tinggi. Mayan, tambah tambah uang jajan. "
Dion menyeret tubuh Kara yang sedikit lecet tanpa peduli dengan Kara yang memohon ampun.
"DION! BERHENTI GAK LO NJING! "
Dion dan kedua temannya berhenti. Mereka berbalik memandang remeh Kana yang berlari mendekati mereka.
Bugh..
Satu tinju mendarat mulus di pipi Dion, cukup keras, bahkan Dion sampai mundur beberapa langkah dan cengkeramannya di kerah seragam Kara terlepas. Kana kelas tidak menyia nyiakan kesempatan yang ada. Dia membawa Kara menjauh.
"Sekali lagi gue lihat kalian ngebully abang gue, gue ga akan segan membalas kalian lebih dari ini. Camkan itu bastard! "
.
.
.Brak..
"Apa apaan dia itu hah! Menjengkelkan! Padahal ku pikir Kara adalah korban yang tepat, tapi kembarannya itu! "
Dion lagi lagi memukul tembok dihadapannya cukup keras tanpa mempedulikan tangannya yang sedikit lecet. Kiki yang melihat itu hanya bisa menghela nafas. Lelah rasanya menanggapi anak seperti Dion yang sangat temperamen.
"Hey, hey, sudahlah. Ah iya, bagaimana kalau kita jebak Kara? Kebetulan pamanku orangnya licik dan bisa diajak kerja sama. "
Dion mendengar itu menyeringai. Bukan ide yang buruk mengikuti saran temannya ini. Dia mendekat pada Kiki yang kini duduk di kursi yang ada di dalam gudang. Menepuk pundak temannya itu seraya tersenyum bangga.
"Idemu bagus bagus juga. Oke, kapan kita mulai? "
.....
Sore hari, Kara keluar seorang diri. Dia berencana membeli beberapa buku novel yang memang sudah dia incar. Luka lecet di tangannya masih terasa sakit, tapi tidak dia hiraukan. Sepanjang jalan, Kara tak hentinya menyalahkan dirinya sendiri yang sangat lemah.
Kara akui, dia pernah membunuh seseorang saat usianya sepuluh tahun, dan itupun dia lakukan tanpa dia sadari. Dan karena takut disalahkan, Kara membakar mayat korbannya beserta tempat dia membunuh, membuat skenario seolah olah korbannya meninggal karena terjebak di dalam rumah yang terbakar.
Meski begitu, Kara tetap merasa dirinya lemah, melawan teman sekelasnya saja dia tidak bisa dan hanya mengandalkan Kana yang punya kemampuan fisik lebih baik dari dirinya.
Selepas membeli buku, Kara mampir sejenak ke taman kota. Cahaya lampu taman menggantikan indahnya senja. Kara menengadahkan wajahnya. Awan dengan kilatan petir saling saut menyaut menandakan sebentar lagi hujan akan turun dengan deras. Tapi bukannya beranjak, Kara malah menyamankan posisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankara Si Antagonis Polos [ END √ ]
Teen FictionWARNING ⚠️ Di sarankan jika ingin menikmati cerita ini, jangan pakai logika! Jangan berpikir tentang alur yang ada. Nikmati saja tanpa banyak berpikir. Anggap aja cerita ini kayak air yang mengalir melalui banyak pertigaan atau perlimaan. Entah kali...