Riuh penuh sesak, itu yang Kara rasakan saat ini. Dia tidak terbiasa menghadiri acara formal seperti ini, dan bisa dikatakan ini adalah pertama kalinya. Dan kesan pertama yang bisa Kara simpulkan hanyalah menyebalkan.
Orang orang yang kekuasaannya dibawah Olivier tak hentinya berbincang membahas bisnis, dan tentu saja ada yang 'menjilat' diantara mereka. Mata tajam Kara terus meliar, memperhatikan setiap orang yang datang dari tempatnya duduk. Jujur saja perasaannya sudah tidak nyaman sejak tadi pagi, namun dia menepis jauh dengan kemungkinan yang bisa saja terjadi.
"Kara~ matcha? "
Kara mengalihkan atensinya pada Henry yang baru saja datang sambil membawa segelas teh matcha.
"Tidak, aku tidak terlalu menyukai teh hijau. Untuk kau saja. "
Henry yang sebenarnya hanya sekedar basa basi langsung duduk di kursi sebelah Kara.
"Lo kenapa? Gue perhatiin dari tadi lo kayak ga semangat gitu. Oh I see, lo kan benci berurusan sama 'penjilat' . "
Kara masih diam tidak menanggapi. Jujur saja dia merasa geli, seorang penjilat mengatai orang lain penjilat.
"Kau sendiri penjilat, mengerti kan maksudku? "
Henry terkekeh pelan. Tidak salah memang, kenyataannya dia memang menjilat bahkan menggonggong bak anjing peliharaan hanya pada Kara.
"Yah, sayangnya kau benar, Kara~. Aku benci mengakuinya, tapi bagaimanapun aku bisa hidup sampai sekarang juga berkat dirimu. "
Henry menyangga dagunya menggunakan akan tangan yang bertumpu pada meja bundar, melirik wanita berbalut gaun yang nampak beragam. Sesekali tatapannya beradu dengan wanita yang secara terang terangan menatap iri pada Kara. Henry melirik sekilas pada Kara yang nampak tidak terganggu sama sekali dengan tatapan orang lain.
"Kau benar benar ya-"
Kara yang tengah menikmati teh lavender, menghentikan kegiatannya. Dia seolah menunggu apa yang akan dikatakan Henry selanjutnya.
"Entah perawatan apa yang selama ini kau lakukan, sampai semua wanita menatap iri pada pangeran cantik sepertimu. "
"Ah, aku jadi kepikiran.... Kalau nanti kau sudah cukup umur untuk menikah, kira kira bagaimana reaksi istri dan orang lain saat mengetahui sangat mempelai pria ternyata lebih cantik daripada si wanita? "
Pftt-
Uhuk uhuk..Suara batuk itu tidak terlalu terdengar orang lain, namun Adrian yang berada tidak jauh dari Kara langsung menghampiri dengan raut wajah khawatir.
"Tuan muda, anda tidak apa apa? Apa ada yang terasa tidak nyaman? "
Kara mengabaikan pertanyaan Adrian. Dia hanya mengambil sapu tangan yang disodorkan oleh Adrian untuknya.
"Kau sedang meledek ku, Henry? "
Henry yang tiba tida ditatap tajam mendadak gugup. Dia bangkit dari duduknya seraya mengangkat kedua tangannya. Keringat sebesar biji jagung juga muncul di keningnya.
"Wow, wow, selow, a-aku hanya bercanda.. Ah, sepertinya seseorang memanggilku, kalau begitu permisi, maaf sudah membuatmu tersinggung. "
Kara hanya bisa menghela nafas begitu Henry menjauhi dirinya. Dia sibuk dengan pemikirannya sendiri sampai tega mengabaikan Adrian yang sedari tadi menunggu jawaban.
"Ian-"
"Iya tuan muda? "
"A-pa, aku secantik itu? "
Adrian gagal paham oleh ucapan Kara. Dia memperhatikan Kara sesaat, memang benar, dilihat dari segi manapun Kara sangat cantik. Mungkin hampir semua yang hadir disini merasa aneh dan heran karena Kara yang terlihat cantik tidak memakai gaun seperti wanita lainnya.
"Anda memang cantik tuan muda. "
Helaan nafas berat keluar begitu saja dari mulut Kara. Dia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi sementara matanya terfokus pada anggota keluarganya yang terlihat sedang menyambut para tamu.
"Ian, gantikan teh ku. Ah, apa di belakang ada teh pine? Kalau ada tolong buatkan. "
"Baik tuan muda. "
Kara kembali menghela nafas penuh beban begitu Adrian menjauh dari dirinya. "Apa benar nanti calon istri gue bakal insecure? Gimana kalo dia kaget nantinya dan ga mau nikah sama gue? Argh, kenapa gue ga dikaruniai ketampanan? Kenapa karunianya malah kecantikan? Atau setidaknya kenapa gue ga jadi cewe beneran aja sih? " gumamnya pelan.
Sibuk dengan pikiran konyolnya, Kara dikejutkan oleh kedua adiknya yang tiba tiba saja memeluk tubuhnya erat. Ah, jangan lupakan aura permusuhan yang sangat kentara dari keduanya. Saking kentara nya, beberapa tamu sampai memperhatikan mereka. Bahkan beberapa sampai berspekulasi kalau Kana dan Rean sedang memperebutkan seorang kekasih.
"Bang kara~ tumben diem mulu. Main sama Rean yuk? "
"Gak, Kara sama Kana. Rean pergi sana! "
Garis imajiner kekesalan tercetak jelas di pipi Rean, meski anak itu saat ini sedang menampilkan senyum manis.
"Eh? Kok gitu? Yah~ abang mah ga perhatian, Rean jan juga pengen sama bang Kara. "
Kana membekap mulutnya menggunakan sebelah tangan, seolah jika dia buka maka dirinya akan muntah. Dia menampilkan senyum nya, bahkan matanya sampai menyipit tapi bertolak belakang dengan auranya yang saat ini tidak bersahabat.
"Ah begitu ya? Hm,, baiklah, sebagai bonus, gimana kalo Rean seharian ini sama Jade? Katanya dia lapar loh? "
"A-pa? "
Kara yang terjebak di antara emosi keduanya hanya bisa menghela nafas. Dia menarik tangan keduanya lalu pergi dari sana.
.
.
."Kara, Kara belum jawab pertanyaan Kana loh! "
Kara yang saat ini tengah mengusap kepala kedua adiknya di sofa yang berada di ruangan khusus keluarga Olivier membuka sedikit matanya, menatap Kana yang saat ini juga tengah menatapnya memelas. Persis seperti Jade saat sedang ingin dimanja.
"Hm? Apa aku terlihat berbeda hari ini? "
Kana dan Rean mengangguk semangat dengan tatapan yang sama berbinarnya. "Tentu saja! Kara hari ini berbeda, jauh lebih diam, seperti sedang memikirkan sesuatu. "
Kara menghela nafasnya sesaat sebelum menjawab pertanyaan Kana.
"Aku, sebenarnya tadi sempat mimpi buruk. Mimpi yang sangat buruk sampai aku berulang kali berharap jika itu tidak akan terjadi. "
Kana dan Rean dibuat bungkam karenanya. Rasa penasaran kembali menguasai keduanya, mereka diam berharap Kara akan melanjutkan ceritanya.
"Aku bermimpi, kalian meninggalkanku seorang diri. Membiarkanku berjalan tanpa tujuan. Itu menakutkan, tidak bisa aku bayangkan jika nanti itu akan menjadi kenyataan. "
Kara memejamkan mata saat dirasa pelupuk matanya memanas. Rasa sesak itu selalu datang saat dia memikirkan mimpinya itu. Kara kembali membuka mata saat dua tangan besar dan lembut menyentuh pipinya.
"Itu hanya bunga mimpi. Jangan terlalu dipikirkan. Kami tidak mungkin meninggalkan Kara seorang diri saat Kara adalah poros kami. Benar kan Rean? "
Rean mengangguk semangat mengiyakan ucapan Kana. "Itu benar! Kami jelas tidak akan meninggalkan bang Kara, jangan terlalu memikirkannya ya? Rean ga mau liat abang sakit hanya karena memikirkan mimpi yang belum tentu nyata."
Senyum hangat terluas di bibir Kara. Ucapan kedua adiknya seolah memberinya sedikit ketenangan. Dia memeluk keduanya seolah tidak ingin keduanya pergi meninggalkan dirinya barang sebentar saja.
"Ya, kalian benar. Abang yang terlalu berpikir negatif. Semuanya akan baik baik saja kan? "
Ya, seharusnya semua berjalan lancar tanpa hambatan apapun. Namun kenyataan justru berkata sebaliknya.
Kara menatap nyalang pada para pelayan dan orang orang yang dia anggap mencurigakan. Kara lengah, dia lupa seberapa banyak musuh keluarganya yang sewaktu waktu bisa saja membahayakan.
"Apa maksudnya ini? "
Tebece...
Ah, harusnya El namatin ini satu chapter lagi. Tapi kok berat ya? Hah~ El badmood :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankara Si Antagonis Polos [ END √ ]
Teen FictionWARNING ⚠️ Di sarankan jika ingin menikmati cerita ini, jangan pakai logika! Jangan berpikir tentang alur yang ada. Nikmati saja tanpa banyak berpikir. Anggap aja cerita ini kayak air yang mengalir melalui banyak pertigaan atau perlimaan. Entah kali...