Sinar matahari memaksa masuk ke dalam sebuah kamar bernuansa baby blue dimana seorang remaja tengah terbaring lemah dengan infus yang tertancap apik di tangan kirinya.
Mata itu perlahan terbuka menampilkan netra merah delima yang tak lagi bercahaya. Remaja itu berusaha turun dari kasurnya yang tingginya tak seberapa. Perlahan dia melangkah namun dia malah jatuh tersungkur karena tak mampu menopang berat badannya sendiri.
Di depan kamar, seorang bodyguard yang mendengar suara itu lantas masuk, sebisa mungkin dia tidak panik dan malah membuat remaja itu terkejut.
"Tuan muda, anda tidak apa? Tuan kenapa anda tidak memanggil saya saja jika ingin sesuatu"
Remaja itu hanya pasrah saat tubuhnya di angkat dan kembali dibaringkan di atas kasur. Toh memberontak pun percuma karena dia tak memiliki banyak tenaga.
"Ian, Anka cuma mau ke kamar mandi. Harusnya Anka bisa sendiri kan? Anka udah sembilan belas tahun loh"rengeknya
"Tapi fisik tuan muda tidak mendukung. Saya tidak akan keberatan jika harus mengurus anda, karena itu adalah kewajiban saya"
"Ck menyebalkan! Ian, kapan Anka bisa melakukan semua sendiri kayak abang? "
"Tidak lama lagi tuan muda, saya yakin nyonya dan tuan besar sedang mencari pendonor untuk anda"
Anka mendengar itu mendengus kesal, kata yang sama kembali terucap dari mulut Ian. Dia sudah bosan, karena nyatanya sejak dia pertama kali bertanya di usia yang ke sepuluh sampai sekarang jawabannya selalu sama.
"Ya, tidak lama lagi Anka akan mati. Kenapa daddy ga jenguk Anka? Kenapa abang ga mau main sama Anka? Kenapa hanya Ian yang ada di kamar Anka? Apa Anka bukan anak mommy sama daddy? "
Ian menggeleng, dia tak suka tuan mudanya mengatakan hal itu. Sembari mengganti baju dan mengelap tubuh Anka dia mengutarakan pendapatnya.
"Tuan muda tidak boleh berkata demikian, tuan besar sekarang sibuk dengan pekerjaannya. Tuan besar selalu pulang larut, karena itu setiap tuan besar ke kamar tuan muda, tuan muda sudah lelap tertidur. Tuan Lizzy dan tuan Enzo sedang disibukkan dengan tugas kuliah mereka. Tolong tuan muda mengerti"
Anka menanggapi nya dengan anggukan lemah, dia menyandarkan kepalanya di bahu Ian, memintanya untuk mengelus kepalanya. Ian tersenyum kecut, dia menggendong Anka dan membawanya turun ke lantai dasar karena sudah waktunya sarapan.
Di ruang makan, Anka tak menemukan siapapun. Tidak ada daddy, mommy, bahkan kedua abangnya padahal ini baru jam enam tiga puluh tidak mungkin mereka sudah berangkat bukan?
Anka memakan buburnya dengan tidak selera, hanya ada rasa hambar di mulutnya dan itu membuat Anka mual sendiri. Anka menaruh sendoknya dan menjauhkan mangkuk bubur yang baru dia makan tiga suap.
Maid dan butler yang ada di sana hanya menghela nafas, tak heran dengan apa yang Anka lakukan karena itu bagai rutinitas yang harus ada saat makan. Ian mendekat, dia mengambil mangkuk bubur itu dan mencoba menyuapi Anka setidaknya lima suap saja.
"Tuan muda harus banyak makan agar tenaga tuan muda pulih"
Garis imajiner di dahi Anka menonjol, dia mengambil gelas di hadapannya dan melemparnya sembarangan. Beruntung tak ada maid ataupun butler yang kena pecahan gelas.
"PULIH KAU BILANG?! LAGI! LAGI! TERUS KATAKAN ITU SAMPAI KAU MUAK SENDIRI IAN!! Anka gak akan pernah bisa pulih hiks. kenapa? Kenapa daddy tidak membunuh Anka saja saat Anka masih bayi hah? Hiks "
"Tuan muda, tolong jangan berkata seperti itu. Saya yakin anda akan baik baik saja, anda harus bertahan sebentar lagi. Setelah itu tuan muda bisa pergi kemanapun tuan muda mau"
Tangan Ian terulur mengusap pipi Anka yang selembut sutra dan seputih salju. Namun Anka justru menepis nya dan membenamkan wajahnya di perut Ian.
"Bohong hiks kenapa Ian suka bohong sama Anka? Ian suka Anka tersiksa karena berharap? Hiks Ian jahat! Hiks Ian pembohong! "
Ian mengangkat Anka ke gendongannya. Tangan kirinya dia gunakan untuk menopang tubuh ringkih itu sementara tangan kanannya dia gunakan untuk menyuapi Anka.
Di lantai dua, Enzo menyaksikan itu dari awal hingga akhir bersama Lizzy. Keduanya menghela nafas gusar, melihat Anka yang rapuh serta mendengar ucapannya yang begitu menusuk membuat mereka berdua sesak. Lizzy menarik tangan Enzo ke kamar daddy mereka, keduanya tak bisa jika terus menerus seperti ini.
.
.
."Ian, Anka ingin buku yang kemarin. Anka belum selesai baca"
Ian mengangguk menuruti permintaan Anka, dia pergi ke ujung perpustakaan dimana buku yang dimaksud Anka tersimpan rapih di sana. Selagi Ian pergi Anka berjalan di sekitar sembari menarik tiang infus. Dengan langkah pelan dia berjalan sembari membaca judul setiap buku yang dia lewati.
Langkahnya terhenti di depan rak buku karena ada salah satu buku yang membuatnya tertarik. Dia mengambil buku itu lalu kembali ke tempat semula.
Ian baru kembali dengan membawa setumpuk buku yang anka inginkan. Dia ingin menyerahkan buku itu namun melihat Anka yang tengah fokus pada buku membuat Ian mengurungkan niatnya. Dia akhirnya berdiri di balik rak sambil menunggu Anka selesai dengan bukunya.
Selang tiga puluh menit Anka menyelesaikan buku yang dibacanya. Kilat cahaya dari netra merah delima itu kembali setelah sekian lama hilang.
"Waah keren! Ah andai Anka jadi pemeran utamanya, sudah berbadan ideal, fisik kuat dia juga cerdas. Hey Ian, apa Anka bisa jadi kayak dia? "
Ian yang mendengar namanya di panggil mendekat sambil membawa setumpuk buku.
"Tuan muda bisa melakukannya, tuan muda pasti akan bisa lebih hebat dari orang yang tuan muda maksud"
"Ian, Ian, Ian percaya ga sama yang namanya reinkarnasi atau perpindahan jiwa gitu kayak yang biasa ada di novel yang bang Lizzy baca? "
"Saya tidak yakin tuan muda, ada yang berkata kalau itu nyata, ada juga yang berkata kalau itu hanyalah cerita belaka"
Anka memiringkan kepalanya berusaha mencerna apa yang Ian katakan. Begitu dia paham Anka tersenyum hingga deretan giginya terlihat.
"Haa benar juga ya, tapi kalau itu nyata Anka pengan dilahirkan lagi dengan fisik kuat. Ga peduli nanti Anka terlahir di keluarga miskin, asal Anka bisa melakukan apa yang Anka mau itu cukup. "
"Iya tuan muda"
Anka berdiri dari duduknya, dia mendekat pada Ian lalu memeluk pinggang bodyguard nya posesif. Ian sedikit terkejut karena perlakuan Anka, Anka mendongak, menatap netra hitam milik Ian.
"Ian, kalo nanti di reinkarnasi kita bisa jadi teman kan? Janji? "
"Baik tuan muda, saya akan mengikuti apapun yang Anda katakan. Saya berjanji"
Keduanya saling menautkan jari kelingking. Ian yang sadar jika hari sudah mulai gelap menggendong Anka kembali ke kamar. Biarlah buku itu di bereskan oleh maid yang berjaga di sana.
.
.
.Lanjut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankara Si Antagonis Polos [ END √ ]
Teen FictionWARNING ⚠️ Di sarankan jika ingin menikmati cerita ini, jangan pakai logika! Jangan berpikir tentang alur yang ada. Nikmati saja tanpa banyak berpikir. Anggap aja cerita ini kayak air yang mengalir melalui banyak pertigaan atau perlimaan. Entah kali...