Beberapa minggu sudah berlalu, terhitung sudah hampir tiga bulan Anka berada dalam dunia novel.
Dan untuk pertama kalinya Anka akan bersekolah sama seperti yang lainnya. Untuk itu keluarga Vincenzo, tepatnya Berlin dan Zodyk membawanya menuju pusat perbelanjaan untuk membeli peralatan sekolah.
Malam kembali datang, jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Mereka tengah bercengkrama di ruang keluarga minus Anka yang lebih memilih berdiam di luar menikmati gemerlap bintang.
"Sho kangen Elkana"
Pernyataan dari sulung putra kedua Frederick membuat suasana ruang tengah mendadak sunyi. Ya, mereka semua merindukan balita menggemaskan tanpa tahu keberadaan anak itu.
"Ayah, apa kau tidak merasa kalau dia mirip Elkana? "
"Ya? Kalian manggil Anka? "
Mereka menoleh ke arah Anka yang baru saja masuk dengan hidung yang memerah, sepertinya udara luar terlalu dingin malam ini.
"Astaga anak bunda, kan udah bunda kasih tahu udara malam ga baik, kan merah hidungnya. "
Berlin menunjukkan pada hidung Anka yang memerah. Matanya bergerak mengikuti tangan itu hingga matanya menjuling membuatnya terlihat sangat menggemaskan.
"Bunda, kalian tadi kenapa manggil Anka? "
"Kami tidak memanggilmu, kamu pasti salah dengar"
"Tidak, jelas kalian manggil Anka"
"Engga! Orang kita ga manggil kamu."
"Tapi tadi,,, Elkana. Kalian manggil nama panjang Anka kan? "
"Tapi, dari mana kalian tahu nama Anka? "
Mereka semua terdiam mendengar penuturan Anka yang mengaku kalau dirinya Elkana. Anka memiringkan kepalanya, detik selanjutnya Anka terjungkal ke belakang dengan tangan yang menutup mulut serta matanya melebar.
"L-lupakan, Anka pasti salah dengar. L-lagipula siapa Elkana yang kalian maksud ya kan? Haha"
Suasana semakin canggung dan Anka tidak suka itu, rasanya meski semua orang sedang berkumpul di sini.
"Bunda, Anka ke kamar dulu ya, Anka ngantuk"
Tanpa menunggu persetujuan dari yang lain.
"Apa dia benar benar Elkana? "
"Lakukan tes DNA, dan kalaupun dia bukan Elkana kami akan tetap membiarkan dia tinggal"
Frederick menghela nafas dia setuju dengan ucapan Fernan.
.
.
."Dua bulan lagi, ya"
Helaan nafas keluar dari mulut Anka. Entah apa yang membuatnya merasa lelah, padahal tadi sebelum bel istirahat berbunyi dia terlihat sangat semangat.
"Dua bulan lagi apanya Anka? "
Anka menengok pada Jean yang memasang wajah penasaran. Sial, dia menggemaskan.
"Tidak ada, ayo kita ke kantin abang pasti sudah menunggu. "
Jean mengangguk, dia membantu Anka membereskan barang barangnya lalu menyeret anak itu keluar kelas. Jean tidak memperhatikan depannya, sampai dia di depan pintu menabrak seseorang hingga terjatuh.
"Awww sakit"
"Gapapa? Lain kali hati hati"
Jean mengangguk, dia menerima ukuran tangan Anka namun sebelum tangan keduanya bertaut, tubuh Jean lebih dulu melayang. Begitupun dengan tubuh Anka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankara Si Antagonis Polos [ END √ ]
Teen FictionWARNING ⚠️ Di sarankan jika ingin menikmati cerita ini, jangan pakai logika! Jangan berpikir tentang alur yang ada. Nikmati saja tanpa banyak berpikir. Anggap aja cerita ini kayak air yang mengalir melalui banyak pertigaan atau perlimaan. Entah kali...