Anka duduk diam di balkon kamarnya dengan secarik kertas di tangannya. Sementara di hadapannya ada Michael dan Sho yang diam dengan pikiran masing masing.
"Jadi maksud kalian om Michael ayah Anka? "
"Maaf Anka, kamu pasti kecewa sama ayah apalagi ayah tidak banyak bertindak dan selalu pergi saat kamu membutuhkan ayah"
"Kalian pasti salah orang. Anka saja tidak mengenal kalian bagaimana mungkin Anka bungsu kalian"
"Kamu sudah membaca hasil tes DNA kan? Jelas di sana tertera kalau kamu Anka kami, bungsu Vincenzo. Apa itu tidak cukup? "
Anka menghela nafas lelah. Jujur dia sangat terkejut dengan apa yang didengarnya karena seingatnya di novel tidak ada adegan seperti ini. Semua sudah melenceng jauh dan jujur itu membuat Anka takut. Dia takut sesuatu menghambat tujuan awalnya yang ingin bebas. Dia tak mau kembali di kurung dalam sangkar emas.
"Maaf, Anka beneran ga inget kalian. Anka gak mau terkurung lagi, A-anka tidak mau ditahan lagi, Anka-"
"Kami ga akan kekang kamu, kamu boleh pergi kemanapun asal ada yang menemani. "
Anka mendongak, menatap Michael dengan tatapan menyelidik. Dia masih ragu dengan apa yang Michael katakan.
"Tidak mungkin! Kalian pasti akan mengurung Anka, kalian pasti sudah membaca hasil penelitian itu kan? Kalian hiks kalian pasti akan membuat banyak alasan agar Anka tidak keluar hiks. Bagaimana kalau Anka pergi? Anka ga punya banyak waktu hiks, kalau bagaimana? Bagaimana kalau nanti hiks..."
Michael bangkit, dia berdiri di samping Anka lalu membenamkan wajah Anka di perutnya. Sambil mengelus rambut Anka meski terihat kaku.
"Kami tidak akan membiarkan itu terjadi baby. Pasti ada obat untuk baby, jadi baby harus bertahan oke? Percaya sama ayah. Tidak ada penyakit yang tidak memiliki penyembuhnya. Pasti ada, hanya sedikit susah mencarinya. Meski begitu kami akan berusaha mencarinya untuk baby, untuk bungsu Vincenzo"
Anka mengangkat wajahnya yang mulai sembab, dia mencari kebohongan dari tatapan itu namun tak menemukannya. Michael menggendong Anka meninggalkan balkon karena hari juga sudah malam.
Senyum sendiri tercetak di wajah Sho. Dia yakin ayahnya juga sedang tersenyum karena setelah sepuluh tahun lamanya sang ayah bisa kembali menggendong bungsu kesayangannya.
"Pstt Sho! "
"Sho"
Sho mengernyit heran, dia rasa ada yang memanggilnya namun kamar Anka sangat sepi, tidak ada siapapun kecuali dirinya karena Michael baru saja keluar kamar karena Anka tadi melewatkan makan malam.
"Sho! "
Sho menengok ke bawah. Wajahnya speechless melihat Rahel dan zodyk di bawah sana. Tentu saja dengan outfit khas anak badung.
"Sho, lo mau main ga? "
Sho sebenarnya ingin ikut, tapi dia terlalu malas. Lagipula dia ingin menghabiskan waktu dengan adiknya. Sho menengok ke samping. Senyum jahil di wajahnya terlihat jelas. Dia lalu kembali menatap kedua kakak keponakannya itu.
"Astaga, bagaimana ini? Kalau opa tau gue pasti bakal di kirim ke Australia, gue mau ikut sih tapi gue ga mau jauh dari adek gue" ucapnya dengan sedikit lantang.
"Sho! Lo apa apaan dah"
"Ooh kalian mau main tanpa ijin? Mau balapan lagi? "
Tubuh Zodyk dan Rahel menegang seketika. Mereka menengok ke belakang tentu saja dengan senyuman kikuk.
"Hehe bunda. Kita gak jadi main kok, ya kan Rahel"
"Ya, "
"Baiklah, kalian masuk ke dalam. Udara sudah mulai dingin. Kamu juga sho, tutup balkon kamar dan segera istirahat"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankara Si Antagonis Polos [ END √ ]
Teen FictionWARNING ⚠️ Di sarankan jika ingin menikmati cerita ini, jangan pakai logika! Jangan berpikir tentang alur yang ada. Nikmati saja tanpa banyak berpikir. Anggap aja cerita ini kayak air yang mengalir melalui banyak pertigaan atau perlimaan. Entah kali...