Suasana ruang tengah mansion Olivier terasa menegangkan. Tatapan mereka semua tertuju pada Isabel yang hanya bisa menunduk takut. Isabel merasa tak melakukan kesalahan apapun, namun saat dia baru saja pulang berbelanja bersama teman temannya dia disambut tatapan tajam. Ingin bertanya tapi dia takut salah berucap, apalagi Vanessa yang biasanya membela dia sekarang berbalik menatapnya tajam."Kau tahu apa kesalahanmu? "
Isabel masih diam sambil memilih ujung bajunya. Eksa yang sudah sangat kesal menjambak rambut Isabel, memaksanya agar tidak menunduk.
"Gue tanya, lo udah tahu apa kesalahan lo? "
"T-tidak bang, a-aku tidak berbuat kesalahan sungguh"
Brak...
Mahendra memukul meja kaca di tengah tengah mereka sampai hancur. Dia juga sama geramnya apalagi setelah tahu apa yang terjadi pada kedua putranya.
"Mama, kami sudah sangat sabar, tapi kesabaran kami juga ada batasnya. Kembalikan dia ke tempat asalnya kalau oma masih menyayangi nyawanya. "
Vanessa hanya diam menatap Isabel yang meminta bantuannya.
"Isabel, kau kembali saja ke rumah lamamu. Tadinya saya membiarkanmu tinggal karena permintaan mendiang nenekmu. Niat awal saya hanya memberimu tempat tinggal dan biaya sekolah sampai kau lulus kuliah, tapi kau menyiakan kesempatan yang saya berikan. Bawa semua barangmu, anggap itu sebagai tabunganmu, setelah ini kita tidak punya hubungan apapun"
Isabel mengangguk lesu, dia beranjak menuju kamarnya untuk mengemasi semua barang yang dia punya. Berbeda dengan Rean yang sedari tadi menonton, dia sekarang terlihat berbinar menatap Vanessa. Rean bangkit dari duduknya, mendekat pada Vanessa lalu bergelayut manja di lengan tirus oma nya itu.
"Jadi oma, apa abang kembar akan kembali ke mansion? "
"Tidak. Mereka berdua masih harus tinggal di sana sampai usia tujuh belas tahun. Sebagai gantinya Rean boleh mengunjungi mereka seminggu sekali"
Rean terlihat kecewa, dia pergi ke kamar Kara sambil menghentakkan kakinya karena kesal. Padahal barusan dia senang karena akhirnya Isabel dikeluarkan tapi tetap saja dia malah tidak bisa bersama Kara.
"Oma yakin tidak membawanya kembali? " tanya Eksa.
"Tidak, hanya satu tahun lagi. Dalam waktu satu tahun Oma yakin kepribadian keduanya sedikit berbeda. Oma hanya ingin sifat angkuh Kara berkurang. "
.
.
.Di kamarnya, Kara tengah memeriksa beberapa data yang dikirim oleh tangan kanan Mahendra. Sementara Kana sudah tertidur karena memang sudah pukul sebelas malam.
"Engh Kara... "
Kara menengok ke belakang dimana Kana terbangun mungkin karena terganggu oleh suara ketikan keyboard. Kana mendekat, duduk di depan Kara lalu memindahkan Kara ke pangkuannya. Posisi mereka sekarang seperti berpelukan dengan Kana yang bersandar di pundak sempit Kara sementara Kara kembali fokus pada layar laptop nya.
"Ngh Kara... Kenapa belum tidur? Ini sudah malam"
"Sebentar lagi Kana, kamu tidur lagi oke? Aku akan segera menyelesaikannya. "
Kana tak menjawab, dia malah mengusulkan wajahnya di tengkuk Kara, membuat Kara merasa geli karena beberapa helai rambut menggelitik lehernya. Namun Kara masih bisa menahannya, dia mengelus kepala Kana dengan sebelah tangannya berharap Kana kembali terlelap.
"Kara!..... Hiks apa layar laptop lebih menarik dari Kana? Hiks "
Kara bersabar menghadapi Kana yang entah kenapa mendadak manja. Dia menutup laptopnya, menjauhkan sedikit wajah Kara dari tengkuknya. Terlihat mata Kana yang sembab karena terisak serta pipinya yang memerah. Kara mengulurkan tangannya ke dahi Kana dan detik selanjutnya hanya ada helaan nafas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankara Si Antagonis Polos [ END √ ]
Teen FictionWARNING ⚠️ Di sarankan jika ingin menikmati cerita ini, jangan pakai logika! Jangan berpikir tentang alur yang ada. Nikmati saja tanpa banyak berpikir. Anggap aja cerita ini kayak air yang mengalir melalui banyak pertigaan atau perlimaan. Entah kali...