3. SAMUDERA

16K 1.2K 16
                                    

Kalau 1k, aku langsung up bab baru. Kalau nggak, kita tunggu minggu depan ya. Salam sayang dari aku!

***

Danisa meringis ketika gumpalan kartu undangan itu tidak masuk ke dalam tong sampah. Ia berdecak pelan. Kesal setengah mati. Bayangan akan apa yang mungkin terjadi di ruang klub fotografi menggerayangi kepalanya. Saat ini, isi perut Danisa seolah akan keluar semua. Walaupun hatinya yang bodoh itu penasaran apa yang terjadi di dalam.

Dengan kesal, Danisa melangkah ke arah tong sampah di ujung lorong. Ia memungut kertas yang jatuh tersebut. Namun, bau tembakau bercampur cengkeh yang dibakar membuat Danisa menengok. Setahunya, di sekolah ini ada larangan merokok. Bahkan, guru-guru atau satpam pun tidak boleh menghisap benda satu itu.

Danisa nyaris melompat ketika menemukan seorang lelaki duduk di belakang tembok. Sekilas, selain merokok, seolah tak ada yang salah dengan lelaki itu. Hingga mata Danisa menemukan sebatang besi tersampir di sebelah lelaki itu. Sebuah lofstrand crutches alias alat bantu jalan yang biasa gunakan dengan cara meletakannya di siku tangan.

"Ngapain lo di sini?" Suara ketus membuat Danisa terlonjak. Habis jatuh tertimpa tangga akan jadi peribahasa yang tepat untuk Danisa. Baru saja keluar dari ruangan berisikan gadis medusa bernama Isabella, ia harus berurusan dengan cowok aneh yang tak pernah ia temui sebelumnya.

Lelaki itu tak mengengok. Masih memandang ke depan. Rambutnya lumayan panjang dan menutupi nyaris sebagai wajahnya. Menyisakan bentuk tulang hidung yang begitu bagus dan tulang pipi yang tinggi. Seragamnya berantakan dengan kemeja yang bahkan tak ia kancing sama sekali.

Danisa diam. Ia berpikir. Mencoba mengingat-ingat siapa lelaki di hadapannya. Tetapi, ia tidak bisa mengingat sama sekali. Apakah dia adik kelas? Atau kakak kelas?

"Ngapain lo masih di sini?" Cowok itu berkata lagi. Kali ini, nadanya lebih ketus. Pandangan matanya tajam, benar-benar seperti pedang yang siap menghujam.

Danisa menggeleng pelan. "Nggak. Itu, gue cuma mau buang sampah." Gadis itu berkata kikuk. Ia diam sejenak. Sedikit ragu memandangi rokok di tangan lelaki di hadapannya.  "Omong-omong, di sekolah nggak boleh ngerokok."

Lelaki itu kini mendongak. Ia menengok. Menampakan wajah tak suka. "Terus?"

"Ya... itu..." Danisa menelan ludah takut-takut. Sepertinya, ia salah untuk ikut campur.

"Coba aja laporin gue ke guru." Tanpa peduli, lelaki itu kembali menghisap rokoknya.

"H-hah? Apa?"

"Ya, coba aja laporin," tantang lelaki itu cepat.

Danisa tak berkutik. Ditantang seperti itu, ia malah canggung. Motifnya hanya ingin mengingatkan, walaupun mungkin sedikit melewati batas. Harusnya, ia menutup mata dan bersikap tidak peduli.

"Ah, itu... nggak kok. Gue... cuma mau ngingetin. Takut lo... ketahuan guru." Akhirnya mulut Danisa berucap demikian. "Kalau begitu, gue pergi dulu."

Tanpa menunggu jawaban lelaki itu, Danisa lari begitu saja. Terserah mau siapa lelaki itu. Danisa benar-benar takut. Wajahnya begitu menyeramkan. Untung saja Danisa belum mengingatkan lelaki itu terkait potongan rambut atau seragam.

Gadis itu berjalan cepat ke kelas yang mulai ramai karena jam istirahat hampir berakhir. Tak ada yang memerhatikan kedatangan Danisa. Semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing.

Danisa duduk sambil menarik napas. Rasanya begitu menakutkan. Ia berharap tak akan bertemu lagi dengan lelaki itu. Bego! Bego! Bego! Danisa merutuki dirinya sendiri.

Bel membuatnya kembali terlonjak. Danisa buru-buru menggeleng. Jam pelajaran akan segera dimulai kembali dan ia harus memusatkan perhatiannya pada pelajaran. Nggak boleh mikirin lagi, Danisa! Ia memantrai diri sendiri sambil menarik buku pelajaran dalam tas.

ODDINARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang