Suara keras dan ramai dari pintu membuat Danisa memutar bola mata. Knalpot mobil yang dimodifikasi seolah berteriak memekakan telinga. Danisa mendesis. Ia jelas tahu siapa yang baru saja masuk dan membanting pintu dengan keras. Daniel.
Langkah kaki terdengar hingga ke ruang tengah dan mata keduanya bertatapan. Danisa menatap sinis.
"Masih inget rumah lo?" Tanpa mengalihkan pandangan dari laptop, Danisa berkomentar sinis.
Bau feromon bercampur keringat lelaki dan cologne menusuk hidung saat Daniel melewati ruang tamu menuju dapur. Lelaki itu masih mengenakan pakaian futsal dengan kaos kaki panjang bernoda tanah. Ia mengambil air ke gelas sebelum menegaknya sampai habis.
"Festival sekolah sebentar lagi. Sebagai tuang rumah, kita nggak boleh kalah dong!" kilah Daniel.
Danisa berdecak pelan. Setiap tahunnya, cukup banyak sekolah yang mengadakan festival sekolah. Bukan sembarang festival dengan lagu dan perayaan. Akan ada beberapa pertandingan antar sekolah mulai dari olahraga sampai akademis, atau bakat seperti menari atau memasak atau paduan suara, misalnya. Oh, dan juga, selama satu bulan penuh, akan ada banyak stan makanan di lapangan.
Danisa, jelas, tidak pernah ambil bagian dalam apapun. Kecuali, memborong semua makanan di stan. That's it!
"Ngomong-ngomong..." Daniel menatap jahil.
"Siapa yang duduk sama Samudera nih, gue lihat-lihat akrab!" Daniel langsung menggoda. Ia meletakan tas olahraganya asal di sofa lalu membanting diri di sebelah tasnya.
Danisa memutar bola mata untuk kedua kalinya. Ia mengangkat wajah dari laptopnya. "Siapa yang akrab? Gila ya, lo?"
Daniel tak menjawab. Ia hanya memicing sinis. Dengan sembarangan, tangannya terulur untuk mengambil gelas yang masih menyisakan jus jambu di atas meja lalu menegaknya hingga tak tersisa. Sudut matanya dapat melihat wajah protes Danisa.
"Ambil sendiri di kulkas!"komplain Danisa kesal.
Daniel cengengesan. Ia tahu, masih ada dua kotak jus di dalam kulkas. Hanya saja, ia lebih suka mengerjai adik perempuannya.
"Ngomongin Samudera, lo kenal dia?" tanya Danisa. Ia meletakan laptop-nya di atas meja pendek.
Dagu Daniel mengangguk seraya mengambil camilan keripik kentang yang juga merupakan milik adiknya. "Dia satu SMP sama gue." Mata Daniel mengerling jahil. "Kenapa? Lo pengen tahu apa soal dia?"
Dengan kesal, Danisa memukul bahu Daniel pelan. "Ngapain gue pengen tahu soal cowok itu!" ucapnya ketus.
"Dulu dia anak eksis, populer, terkenal gitu, kayak gue sekarang," cerocos Daniel dengan nada percaya diri yang amat tinggi hingga membuat Danisa mual. "Kapten tim basket, paling brutal, anak kepala yayasan, tipikal cowok yang lo suka baca di novel itu deh."
Mendengar kalimat itu, Danisa mengangkat alis. "Gue nggak butuh tahu soal dia." Ia berkata cepat.
Daniel tertawa melihat wajah Danisa yang tertekuk dua belas. "Really?" Tawa pecah dari mulut Daniel. "Ini sesuatu yang lo butuh tahu. Jangan kayak temen sekelas lo itu, siapa namanya? Oh, Andrew! That dumb! Main nantangin Samudera. Belum pernah kena hajar, muka hancur dengan belasan jahitan terus kena DO sekaligus?"
"Serius?"
Senyum iseng terulas lagi di wajah Daniel. "Seratus rius!" Ia terkekeh.
"Kok bisa?"
"Ya, namanya anak ketua yayasan." Daniel mengangkat bahu santai.
"Jadi, lo... tahu?"
Sederet senyum jahil tiba-tiba terulas. "Kok sekarang nanyain Samudera? Tadi katanya nggak peduli?" Bukannya menjawab, Daniel malah menggoda adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ODDINARY
Ficção AdolescenteUPDATE NYA SETIAP HARI Follow dulu sebelum baca Comment dan vote nya biar aku makin semangat boleh loh hehe ***** Bagaimana rasanya kalau tiba-tiba satu proyek dengan orang yang disukai? Melayang? Kurang lebih, itu yang dirasakan Danisa ketika Kiano...