15. DATE-THERAPY

11.4K 973 26
                                    

Danisa melirik ke arah mobil sedan merah yang terparkir di parkiran sekolah sebleum menengok ke arah Samudera. Lelaki itu dengan santainya melempar tas ke jok belakang sebelum membuka pintu ke kursi pengemudi.

"Lo mau masuk apa bengong?" tanya Samudera sebelum masuk ke dalam mobil.

Danisa tergagap. Dengan canggung, ia membuka mobil sedan itu dan masuk di kursi penumpang. Ia melirik ke arah ponselnya. Ada tiga pesan dari Daniel yang belum terbaca. Danisa memutuskan untuk mengabaikannya.

"Lo udah ijin Daniel, kan? Udah ijin ortu lo?"

Danisa mengangguk mendengar pertanyaan Samudera. "Kak Daniel ada latihan futsal juga. Pertandingannya kan mulai besok."

Samudera melirik sejenak seraya menyalakan mesin. "Biasanya kalau kayak gitu, balik bareng siapa? Nyokap? Bokap?"

Kepala Danisa menggeleng tepat ketika Samudera mulai tancap gas. Gadis itu melirik ke arah orang-orang yang memerhatikan mobil mewah berharga milyaran itu lewat begitu saja dari pagar sekolah.

"Bokap nyokap gue kerja. Bokap kerja di perusahaan FMCG di BSD, nyokap kerja di bank pusat di Thamrin." Danisa mengangkat bahu. "Biasanya naik taksi online, atau... motoran sama Kak Kiano."

"Kiano?" Satu alis Samudera terangkat. Nadanya terdengar tak enak. "Dia nggak latihan?"

"Nggak," jawab Danisa cepat. "Kiano nggak masuk tim inti. Jadi, biasanya, dia nggak ikut latihan."

Samudera memicing. "Terus, nggak nganterin Isabella juga?"

"Katanya, Kak Isabella nggak suka naik motor. Tapi, Kak Kiano nggak suka bawa mobil ke mana-mana. Macet, gitu, katanya." Danisa memalingkan wajah ke arah jendela. Menatapi mobil-mobil lain yang lewat. "Yah, nggak sering juga sih pulang sama Kak Kiano. Kalau dia nawarin aja."

Tawa kecil terdengar dari bibir Samudera. Ia menggeleng tak habis pikir. "Pantesan," desisnya.

"Pantes?"

"Ya, pantes Isabella segitunya sama lo. Ternyata, lakinya juga..." Samudera tak lanjutkan. Membiarkan kalimatnya menggantung. 

Danisa membulatkan mata. Ia tahu kelanjutan apa yang akan Samudera ucapkan.

"Iya, tahu, gue juga salah." Danisa berkata cepat dengan nada bersalah. "Harusnya, gue nolak ajakan kak Kiano, kan?"

Samudera melirik kecil sebelum tersenyum miring. Ia menghela napas sekeras-kerasnya. "Lo berharap dengan balik bareng, suatu hari, Kiano berpaling dari lo, ya?"

Danisa menelan ludah. Jawabannya adalah 'ya'. Ia berharap demikian.

"Gue pernah nguping Kak Daniel sama Kak Kiano ngobrolin gue." Danisa terkekeh pelan penuh getar. "Kakak gue emang ember bocor tiga bolongan, dia dengan gilanya ngomong kalau gue suka sama Kak Kiano."

"What?"

"Iya, waktu baru-baru Kak Kiano jadian, Kak Daniel ngomong. Mereka pikir mungkin gue nggak dengar karena gue di kamar kali, ya?" Danisa menarik napas. Ia memindahkan pandangannya ke depan. "Anyway, gue dengar dengan telinga gue sendiri, Kak Kiano cuma nganggap gue kayak adiknya."

"Ouch! It hurts!" Samudera tampak menunjukan kalimat prihatin dengan nada yang dibuat-buat.

Danisa meringis kecil. Malas meladeni ejekan Samudera tersebut. Ia sesekali melirik ke arah lelaki yang tersenyum penuh kemenangan seolah baru mendapatkan lotre seratus milyar. Terlalu puas mengejek Danisa.

Tak lama, mobil tersebut sudah sampai pada parkiran sebuah rumah sakit dengan gedung tinggi. Lelaki itu masuk ke area basement dan memarkirkan mobilnya di dekat pintu yang mengarahkan mereka untuk masuk.

ODDINARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang