Danisa memegangi perban di kepalanya. Ia menatap wajahnya sendiri di cermin kamar. Dua hari lalu, ia dihantam Isabella dan Lauren ke kloset pada toilet sekolah. Ia tak tahu apa yang terjadi setelahnya. Yang ia tahu, pandangannya gelap. Lalu setelahnya, ia terbangun dengan Samudera, Daniel dan Gwen mengelilingi di ruang UKS.
Masih dalam keadaan tidak begitu sadar akibat obat penghilang rasa sakit, Daniel membawa Danisa pulang ke rumah. Danisa tak sanggup menuntut penjelasan pada Daniel. Begitupula sang kakak yang diam tanpa kata ketika membopong Danisa ke kamar.
Yang Danisa ingat berikutnya adalah teriakan ibunya yang histeris. Danisa lagi-lagi belum sanggup untuk berdiri dan keluar dari kamarnya. Tetapi dari yang ia dengar, si ibu akan menuntut siapapun yang membuat anak perempuannya seperti itu. Sementara, ayahnya terdengar berusaha menenangkan.
Tinggal dalam keluarga yang hangat seperti ini, sangat menyenangkan sebenarnya. Sayang, hidup di sekolah tak pernah semenyenangkan di rumah. Tak dianggap, sering jadi cibiran hingga jadi sasaran perisakan sudah sering terjadi bagi Danisa sejak masih duduk di sekolah dasar. Ia selalu merasa berbeda. Tak tahu di sebelah mana.
Dulu, Danisa pernah mencoba mengikuti tren. Membeli pakaian seperti anak-anak pada umumnya, berdandan seperti gadis-gadis seusianya. Tetapi, tetap saja, ketika pada akhirnya berteman, ia yang ditinggalkan.
Danisa nggak enak banget diajak ngobrol!
Aneh banget! Masa bahasnya komik, ih! Kayak cowok!
Danisa pikir, itu semua angin lalu. Ia pikir, mungkin karena, ia belum bertemu dengan teman-teman yang cocok saja. Lambat laun, Danisa mulai mengakrabkan diri dengan orang lain. Dengan gerombolan lelaki yang sepertinya terlihat lebih antusias mendengar obrolannya.
Tetapi, bukannya lebih nyaman, beberapa perempuan mulai mengomentari macam-macam.
Murahan! Sok gatel banget!
Apaan sih, ketawa-ketawa sama cowok-cowok?
Lo tahu nggak sih, Daren cerita, sebenernya, mereka tuh nggak suka sama Danisa. Cuma badannya bagus, jadi pada ngedeketin.
Kalau omongan saja belum cukup, di kelas delapan, Danisa pernah satu kali dilabrak oleh seorang kakak kelas yang sudah duduk di kelas sepuluh. Kata-kata tajam yang menyatakan Danisa adalah wanita murahan dan penggoda terucap dari si kakak kelas tersebut. Berikut juga dengan tamparan di pipi sebagai tanda ancaman agar Danisa tak lagi dekat-dekat dengan lelaki yang ia sukai.
Danisa semakin menarik diri. Ia tak ingin berhubungan dengan siapapun. Tetapi, rasanya, semua sudah terlambat. Badannya pun jadi cemoohan. Bentuk tubuhnya yang lebih mirip jam pasir daripada kotak membuat dirinya banyak mendapatkan seksualisasi sejak akil balig. Jika lelaki memberikan kata-kata merendahkan, maka perempuan akan memberikan ucapan jika Danisa sering dipakai sana sini lantaran bagian-bagian yang lebih besar di tubuhnya.
Hingga akhirnya, semua itu membuat Danisa menjadi dirinya yang sekarang. pakaian longgar dan jaket jadi seragamnya sehari-hari. Ia tak ingin ada orang yang berbicara demikian lagi.
Danisa pikir, pindah ke sekolah yang lebih elit dengan tes akademik yang sulit akan membuat hidupnya lebih tenang. Ternyata, di sini sama saja.
Sabtu ini, rumah tak berisik sama sekali. Daniel sepertinya tidak mengajak teman-temannya ke rumah. Mungkin, Daniel tak ingin mengganggu Danisa yang sedang beristirahat.
Bug!
Suara lemparan bola karet yang mengenai jendela terdengar keras. Danisa mengerutkan dahi. Ia membuka gorden. Kiano di sana, bertumpu pada kusen jendela, ia melambaikan tangan dengan bola karet merah di tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ODDINARY
Fiksi RemajaUPDATE NYA SETIAP HARI Follow dulu sebelum baca Comment dan vote nya biar aku makin semangat boleh loh hehe ***** Bagaimana rasanya kalau tiba-tiba satu proyek dengan orang yang disukai? Melayang? Kurang lebih, itu yang dirasakan Danisa ketika Kiano...