Danisa membanting tubuhnya di sofa begitu sampai ke rumah. Semua ini terasa berputar begitu cepat. Ciuman Samudera, pengakuan Kiano, keputusan yang harus ia buat.
Dulu, Danisa merasa bahwa hal yang paling ia inginkan satu-satunya adalah Kiano menjadi pacarnya dan Samudera yang menjauh dari hidupnya. Tetapi kini, ketika Kiano benar-benar menyatakan perasaanya, kenapa rasanya, semua itu terasa salah?
Daniel mengangkat alis melihat kelakuan sang adik. Ia duduk di sofa lain alih-alih langsung masuk ke kamar seperti biasanya.
"Soal Kiano, ya?" Daniel menebak cepat.
Danisa memajukan bibir. Ia tak menjawab. Hanya menarik napas panjang.
"Gue udah tahu."
"Tahu apa?"
"Tahu Kiano suka sama lo tapi nggak enak sama Isabella." Daniel tersenyum tipis. Ia menyandarkan tubuhnya dan mengangkat kaki ke atas meja. Untung ibunya masih bekerja, kalau tidak, pasti piring melayang ke kepalanya.
"Lo..."
"Pas Kiano nerima Isabella, gue kaget." Daniel berkata cepat sebelum adiknya mengoceh. "Jadi, gue ajakin dia ngobrol. Dia bilang, nggak enak sama Isabella. Mungkin, dia bakalan minta putus satu atau dua bulan ke depan. Tapi, sampai enam bulan, tujuh bulan, nggak putus juga."
Danisa mencelos mendengar kalimat Daniel. Kakaknya tahu. Lalu, kenapa ia tidak bilang?
"Gue nggak ngasih tahu karena gue nggak mau Kiano cuma ngasih harapan palsu buat lo," lanjut Daniel seolah membaca pikiran Danisa. Ia merunduk seperti merasa bersalah. "Dan melihat lo mulai bahagia bareng Samudera, gue rasa, memang lebih baik, lo lupain Kiano, Sa."
Untuk pertama kalinya, Danisa terhenyak. Daniel hampir jarang membahas hal positif tentang Samudera. Tetapi, kali ini, apakah ia sedang kerasukan?
"Gue awalnya juga nggak setuju lo sama Samudera. Gue udah ngomong berulang kali. Tapi, ternyata, Samudera beda." Daniel tertawa. "Ya, sebenarnya, mau lo sama siapa, itu hak lo, Sa. Lo tahu yang terbaik buat lo."
Danisa memalingkan wajah. Ia tak menjawab Daniel sama sekali. Daniel juga memilih untuk bangkit berdiri dan pergi ke dalam kamarnya.
Semua serba abu-abu untuk Danisa. Ia menarik napas panjang-panjang sebelum ikut masuk ke kamarnya. Kepalanya pusing.
Bug!
Suara lemparan bola yang sudah dihapal Danisa terdengar di jendela. Ia melirik ke arah gorden tipis. Matanya menangkap Kiano yang sudah menunggu di kusen jendela.
Dengan hati berat, ia melangkah ke arah jendela tersebut. Menemukan Kiano dan bola merahnya. "Hai, Kak."
Kiano tampak aneh. Ia tak tersenyum lebar seperti biasanya. Wajahnya tampak berantakan dengan segala gurat stress di sana.
"Lo... pasti denger berantem gue sama Isabella, ya?" Kiano berkata pelan.
Danisa mengangguk. Ia tak punya respon lain selain anggukan tersebut.
Hening melanda percakapan. Tak ada yang berbicara sama sekali. Keduanya masih terlihat berpikir untuk merespon tindakan berikutnya.
"Rasanya, nggak proper banget, tapi... soal yang gue bilang ke Isabella, itu bener, Sa. Gue ada rasa sama lo."
Danisa terkesiap. Dulu sekali, Danisa selalu mengharapkan kalimat itu meluncur dari mulut Kiano. Bagaikan cerita dongeng, Kiano akan berpaling padanya dan mencampakan Isabella. Danisa selalu bertanya-tanya, bagaimana rasanya ketika Kiano menyatakan perasaannya? Melodi seindah apa yang ia dengar ketika Kiano berucap demikian?
KAMU SEDANG MEMBACA
ODDINARY
Подростковая литератураUPDATE NYA SETIAP HARI Follow dulu sebelum baca Comment dan vote nya biar aku makin semangat boleh loh hehe ***** Bagaimana rasanya kalau tiba-tiba satu proyek dengan orang yang disukai? Melayang? Kurang lebih, itu yang dirasakan Danisa ketika Kiano...