Sudah dua hari Pengakuan Samudera terbayang di kepala Danisa. Senin pagi itu, ia benar-benar tampak serius. Rautnya mengeras ketika berbicara demikian. Kesungguhan tampak dari matanya.
Tetapi setelahnya, Samudera seperti kembali ke dirinya yang awal. Dingin, tajam, sedikit galak dan terlihat acuh tak acuh. Walaupun, perhatian-perhatian kecilnya mulai membuat Danisa sadar akan sesuatu yang lebih besar di baliknya.
Seperti hari ini, Samudera tiba-tiba menghadang Danisa sebelum beranjak pulang. "Sa, hari ini, Daniel latihan, kan?" tanyanya seperti sudah hapal jadwal latihan tim futsal.
Danisa mengangguk.
"Mau pulang bareng gue, nggak? Tapi, gue ada terapi dulu kayak biasa gitu," tawar Samudera. "Sekarang, gue jadi terapi tiap hari."
Untuk pertama kalinya, Danisa menggeleng. Biasanya, ia tidak pernah menolak ketika Samudera menawarinya pulang bersama. Biasanya juga, Danisa akan selalu senang menemani Samudera terapi. Kali ini, ia butuh ruang, tak tahu untuk apa. Mungkin, untuk berpikir sejenak.
"Boleh skip dulu? Ada ujian Civics besok dan gue belum nyicil belajar sama sekali."
Samudera mengerang kecil. Sepertinya, ia lupa ada ujian dari pelajaran yang paling menakutkan. Samudera pernah melewati masa kelas sebelas di Amerika. Pelajaran-pelajaran eksakta dan sains terasa sangat mudah untuknya mengingat ia sudah melewati itu semua sebelum ini. Tetapi tidak dengan pelajaran hapalan, apalagi pelajaran yang khusus dipelajari di Indonesia.
Mau tak mau, lelaki itu mengangguk mendengar penolakan Danisa. "Fine by me," angguknya. "Mau gue tungguin sampai dapet ojol atau supir lo jemput?"
Danisa menggeleng untuk kedua kalinya. "Nggak usah, Sam. Gue mau belajarnya di perpustakaan, sekalian nungguin Daniel."
Samudera mengulum bibir. Sedikit cemas dengan respon gadis itu. "You okay?"
"Uhum," gumam Danisa pelan.
Tanpa perlu diperjelas, Danisa yakin, Samudera tahu, gadis itu sedang menjaga jarak. Mencari waktu sendirinya.
"Let me know kalau lo ada apa-apa, ya?" ucap Samudera lembut. Danisa tidak salah dengar. Kalimatnya begitu berbeda.
Dengan langkah pincang, Samudera meninggalkan Danisa yang masih membereskan buku-bukunya. Ia mengeratkan pegangan pada tasnya lalu berjalan ke perpustakaan.
Meletakan tas di loker lalu menyerahkan kartu pelajarnya sebelum masuk, Danisa menarik napas ketika menatap lorong-lorong di hadapannya. Ada rasa sentimental yang menyeruak di dada begitu menatap lorong tersebut. Sentimental yang tak bisa ia definisikan.
Danisa memeluk bukunya sambil melangkah ke arah sebuah meja di pojok. Ia membuka-buka catatannya perlahan. Membacanya berulang sambil mencoba menghapal. Namun, atensinya buyar ketika menemukan seorang lelaki dengan kerut di ujung matanya mendekat.
Kepala Danisa mendongak. Senyum dari lelaki berkulit sawo matang itu terlalu khas untuk dilewatkan. Ia memeluk laptop berlogo apelnya di depan dada.
"Sendirian, Sa?" sapanya.
Danisa mengangguk. "Kak Kiano tumben ke sini?"
Kiano mengambil tempat duduk di sebelah Danisa. Lelaki itu meletakan laptop di atas meja. "Gue sering ke sini, kali! Lo nya aja yang sering absen ke sini sekarang."
Danisa diam. Kalau dipikir-pikir, benar juga. Daniel punya dua hari jadwal latihan futsal. Tim futsal inti setiap hari Rabu dan tim futsal gabungan setiap hari Jumat.
Dulu, setiap Daniel ada latihan, Danisa akan memilih menunggu di perpustakaan. Bukan karena Danisa hobi membaca, tetapi karena di sana ada Kiano. Jadwal latihan yang sama antara tim futsal inti dan pemandu sorak membuat dua orang itu sering bertemu di perpustakaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ODDINARY
Ficção AdolescenteUPDATE NYA SETIAP HARI Follow dulu sebelum baca Comment dan vote nya biar aku makin semangat boleh loh hehe ***** Bagaimana rasanya kalau tiba-tiba satu proyek dengan orang yang disukai? Melayang? Kurang lebih, itu yang dirasakan Danisa ketika Kiano...