Sesi dua setengah jam itu selesai. Setelah mengembalikan celemek penuh cat, keduanya kini sudah menenteng dua kanvas yang kemudian dimasukan ke bagasi.
Samudera sejujurnya skeptis ketika pertama kali melakukan kencan dengan aktivitas melukis itu. Tetapi, melihat Danisa begitu senang, ia mau tak mau ikut tersenyum.
Daripada memerhatikan Nana, sang instruktor, memberikan instruksi, Samudera malah mencuri-curi pandang ke arah Danisa yang begitu serius. Wajah itu benar-benar membuatnya terpaku untuk beberapa waktu.
Jam sudah menunjukan pukul dua siang ketika sesi selesai. Danisa memegangi perutnya. "Laper," ucapnya.
Samudera melirik. "Kan udah makan roti."
"Kurang..." Danisa memasang wajah manja. "Lagian, ini udah jam makan siang, Sam."
"Bilang aja lo rakus!" ejek Samudera.
"Sam!"
Melihat Danisa yang merajuk begitu, Samudera malah merasa gemas. Rasanya, ia ingin mencubit pipi perempuan itu.
"Sam, makan yuk!"
Samudera tertawa. Ia tahu. Perutnya juga keroncongan. Tetapi, ia pura-pura menahan agar tetap bisa mengerjai Danisa.
"Mau makan apa?" ucap Samudera akhirnya.
Senyum mengembang dari Danisa. "Ada restoran burger yang enak di dekat sini. Mau ke sana?"
Samudera mengangkat bahu kirinya. "Ya, boleh."
Danisa benar-benar tampak bersemangat. Sementara, Samudera hanya menuruti gadis itu. Mengikuti ke mana Danisa membawanya. Lagi-lagi, Samudera seperti orang aneh yang menurut. Padahal, biasanya, Samudera yang menentukan, ke mana, bagaimana kencan itu berlangsung, seperti apa, semuanya. Kini, Samudera seperti orang bodoh yang pasrah.
Keduanya masuk ke restoran bernuansa retro dengan dominan warna toska. Melihat dekorasi tersebut, Samudera diingatkan oleh desain restoran yang serupa di Amerika. Bedanya, desain restoran kali ini memang sedikit artifisial dan terlihat terlalu mewah. Sementara, kesan retro yang ditujukan oleh restoran di Amerika memang terbentuk sejak lama.
Di jam-jam sekarang ini, restoran tersebut tak begitu ramai. Mungkin karena jam makan siang sudah usai. Setelah memesan dua burger yang katanya paling favorit dari restoran tersebut, Samudera dan Danisa duduk berhadapan dengan canggung hingga makanan datang.
Danisa mengambil ponsel begitu pesanannya sampai di atas meja. Untuk pertama kalinya, Samudera melihat Danisa mengambil foto makanan sebelum makan.
"Tumben," ejek Samudera memangku dagu. "Gue nggak pernah lihat lo foto-foto makanan."
Pias Danisa langsung memerah. Ia buru-buru meletakan ponselnya. "Gue pengen ke sini, udah lama."
Samudera terkekeh pelan. "Sa, sini, gue mau motret lo lagi." Kali ini, Samudera mengaba-aba.
Danisa membelalak kaget tetapi langsung bergaya memasang senyum beberapa detik kemudian. Ia tidak mau berakhir dengan wajah jelek di ponsel Samudera apalagi kalau sampai diunggah di media sosialnya.
"Lo pasti mau upload." Danisa berasumsi.
"Iya." Samudera langsung mengacungkan halaman media sosial-nya yang kini sedang memproses unggahan foto Danisa. "Kan ceritanya, kita lagi kencan."
Danisa tertawa. "Apa gue upload juga, ya?" Ia menimang-nimang. Foto di studio lukis tadi ada di ponselnya. Sepertinya menarik untuk mengunggah foto tersebut. "Entar aja deh, pas pulang."
Samudera menggeleng tak habis pikir sembari menggigit burger yang berada di hadapannya. Ia akui, rasa hidangan ini cukup enak, terlepas dari harganya yang cukup mahal untuk ukuran pendapatan Indonesia pada umumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ODDINARY
Novela JuvenilUPDATE NYA SETIAP HARI Follow dulu sebelum baca Comment dan vote nya biar aku makin semangat boleh loh hehe ***** Bagaimana rasanya kalau tiba-tiba satu proyek dengan orang yang disukai? Melayang? Kurang lebih, itu yang dirasakan Danisa ketika Kiano...