11. Kunjungan

1.2K 96 61
                                    

Assalamualaikum!

Happy reading!

.
.
.


Hari ini aku berbelanja ke pasar bersama Arin dan Nadia, mereka adalah anak panti. Mereka baru kelas tujuh. Dan kebetulan hari ini, aku dan mereka tidak ke sekolah karena Kakak kelas kami sedang melaksanakan UN. Oleh sebab itu, aku meminta Umi untuk menyerahkan pekerjaan ini pada kami, perlu kalian ketahui, Arin dan Nadia ini sangat ahli dalam tawar menawar.

"Teteh, semuanya udah kita beli, sekarang kita makan ice cream dulu di sana. Sisa uangnya masih ada, kan?" aku langsung tersenyum lalu mengangguk.

"Yes! Teteh emang the best!" Arin sampai memberikan dua jempolnya ke arah ku. Ada-ada saja. Padahal yang membuat sisa uangnya lumayan adalah mereka. Mereka benar-benar duta tawar menawar.

Setelah memesan tiga es cream, kami mulai berjalan mencari tempat duduk. Mataku langsung mengerjap ketika melihat dompet seorang wanita paruh baya terjatuh, ibu itu bahkan tidak menyadarinya. Aku langsung mendekati dompet itu, mengambilnya. Saat aku menatap ibu itu, beliau sudah memasuki mobilnya, bahkan mobilnya sudah jalan.

Aku menghela napas pasrah. Tanganku perlahan membuka dompet itu, banyak sekali kartunya, entah kartu apa. Ada beberapa uang berwarna merah juga, aku langsung mengambil kartu nama ibu itu. Setelah mengetahui alamatnya, aku langsung menghampiri Arin dan Nadia.

"Teteh dari mana?"

"Maaf, kalian duluan aja pulang ke panti. Nanti bilang sama Umi kalau teteh mau mengembalikan dompet ibu ini, tadi terjatuh."

Nadia yang mengerti bahasa isyarat langsung menatapku dengan alis bertaut.

"Kami ikut! Aku takut teteh kenapa-kenapa,"

Aku langsung tersenyum mendengar ke khawatiran Nadia. "Ini dekat, mungkin hanya setengah jam jika berjalan kaki."

"Apa? Jalan kaki? Nggak! Nggak boleh!"

"Nadia tolong mengerti, kenapa kamu melarang teteh untuk berbuat baik? Bukannya kita harus saling membantu satu sama lain? Nanti kalau ibu ini mencari dompetnya bagaimana? Di dalam sini banyak kartu-kartu penting." Nadia langsung cemberut. Ia mengangguk.

"Teteh hati-hati, kami duluan. Assalamualaikum!"

Aku menjawab salam mereka dalam hati. Setelah melihat mereka sudah memasuki angkot, aku langsung melangkahkan kakiku menuju alamat tersebut. Aku harus cepat sampai, takut Umi khawatir. Langkahku yang tadinya berjalan langsung berubah menjadi lari.

Setelah beberapa menit, aku langsung menghentikkan diriku. Kakiku langsung berjalan dengan pelan ketika memasuki area elit ini. Rumah di sini-sini rata-rata sangat besar dan megah. Aku kembali menatap kartu nama tersebut, nomor enam, artinya tinggal beberapa lagi.

Tunggu! Nama di kartu ini menarik perhatian ku. Mataku langsung mengerjap, Alisa Nagara, itu nama ibunya Ariel. Apa aku harus kembali saja? Tapi bagaimana jika beliau mencari dompetnya ke sana-kemari nanti?

Tanpa sadar aku sudah berdiri di depan rumahnya. Pagarnya tertutup sangat rapat. Aku melihat seorang satpam di depannya. Langsung saja aku mendekatinya, aku menulis sesuatu di notebook ku.

'Permisi Pak, saya ingin memberikan dompet ini. Tadi terjatuh di jalan.'

Aku mengusap keringatku yang berguguran. Lalu mendekati gerbang tersebut, menggedor-gedor nya, bapak yang berjaga itupun langsung menghampiriku.

"Kenapa pengemis bisa masuk di area ini?" tanyanya padaku. Padahal aku tidak ingin mengemis. Aku langsung memberikan dompet bersama selembar kertas.

Bapak itu mengambilnya, setelah ia membaca isi kertasku, ia langsung membuka isi dompetnya, kemudian menutupnya lagi. Dia membuka gerbangnya, padahal aku tidak berniat masuk sama sekali.

Diam yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang