Assalamualaikum!Happy reading!
.
.
.Gue langsung mengatur napas gue yang naik turun. Tangan gue langsung memutar knop pintu ruangan Ameena. Ameena terlihat sedang menangis di pelukan umi.
"Ariel," tanpa menanggapi bunda yang memanggil, gue langsung mengambil alih tubuh Ameena. Tubuh wanita itu bergetar. Gue mengelus punggungnya dengan lembut.
"Ssssttt.... Udah ya, aku gak mau liat kamu kaya gini." bukannya berhenti, Ameena malah memukul dada gue.
"Ar--iel aku takut, ba-hkan saat tertidur, aku memimpikannya." Ameena berucap dengan napas yang tersengal-sengal. Tangannya yang tadi memukul dada gue langsung beralih meremasnya dengan kuat.
"Gak akan ada yang bisa nyentuh milik Ariel. Aku janji, dia yang udah buat kamu kaya gini, akan mendapatkan balasan yang setimpal." Ameena masih menangis, gue melirik bunda, umi dan Kak Arsyi. Mereka juga menatap kami dengan mata yang berkaca-kaca.
"Tolong tinggalkan kami," gue berbicara dengan pelan. Mereka semua mengangguk lalu mulai keluar dari ruangan ini.
Gue langsung mengurai pelukan. Menangkup pipi Ameena yang basah karena air matanya.
"Ak-u ingin pulang. Ay-o pulang, Ariel!" gue langsung mengangguk. Tangan gue langsung mengambil handphone Ameena yang ada di saku kemeja. Karena ponsel gue masih berada di tangan Lex, ponsel Ameena di serahkan Willy setelah ia mengobati Ameena.
Gue langsung menghubungi Willy, menyuruhnya agar bisa datang ke ruangan Ameena. Sekarang ini, membuat Ameena merasa aman dan nyaman menjadi prioritas. Dia tidak boleh merasa terancam.
"Will, ke ruang Ameena sekarang." gue langsung mematikan panggilan secara sepihak. Mata gue kembali menatap Ameena, wanita gue itu langsung menenggelamkan kepalanya di dada gue.
"Ari-el, kamu tidak marah dengan ku, kan?" gue mencium pucuk kepala Ameena berkali-kali. Tangan gue memakaikan dia jilbab instannya.
"Aku gak bisa marah sama kamu, sayang." Ameena malah terisak. Istri gue sudah terlalu banyak mengeluarkan air mata.
"Gak usah nangis, sayang. Di sini sakit, kalau kamu nangis." gue menuntun tangan Ameena menuju dada gue. Karena tadi, dia menurunkan tangannya dari sana.
Willy datang. Pria itu langsung berjalan dengan tergesa menghampiri kami. Gue langsung menguraikan pelukan kami. Saat hendak berdiri, Ameena langsung menahan pergelangan tangan gue.
"Adik ipar kenapa?"
"Ameena mau pulang. Bisa urus semuanya?" gue langsung melayangkan tatapan tajam kepada Willy, agar pria itu tidak mendebati gue.
"Hm, gue urus. Adik ipar, istirahat yang cukup, ya? Jangan memikirkan sesuatu yang membuat kamu setres, jaga kesehatan janin kamu." What the? Apa Willy sudah kehilangan akal?
"Will!" gue membentak Willy. Memangnya dia pikir keadaan Ameena sekarang bisa dibuat bercanda? Dasar bodoh!
"Ariel, aku hamil ya?" nah kan! Ameena malah bertanya. Willy memang sangat menyebalkan.
"Ariel, anaknya tidak apa-apa, kan?" matanya langsung berkaca-kaca. Gue langsung menatap Willy dengan tajam, pria itu langsung terkekeh seraya menggaruk kepalanya, seperti orang bodoh.
"Aduh adik ipar, abang ipar ini cuman bercanda. Kalo kalian gak pernah making love gak akan bisa jadi anak."
"Tapi, kita kan sudah pernah mela--"
"What the?! Ariel! Lo udah itu sama adik ipar?!" Willy bertanya dengan heboh. Bahkan pria itu memotong perkataan Ameena. Gue memutar bola mata dengan malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam yang terluka
SpiritualMemangnya salah jika kita terlahir sebagai tunawicara? Memangnya salah kalau kita dibesarkan di panti asuhan? Pertanyaan itu selalu hadir di benak gadis yang berusia enam belas tahun itu. Ameena Az-Zahra namanya. gadis yang memiliki keistimewaan ya...