Assalamualaikum!
Happy reading!
.
.
."Saya terima nikah dan kawinnya, Ameena Az-Zahra binti Reynand Adhitama dengan maskawin seperangkat alat shalat dibayar tunai!"
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sah!"
"Alhamdulillah ...."
Tepat setelah tiga hari kejadian yang tidak mengenakkan tersebut, gue dan Ameena langsung menikah di panti. Walinya tetap Om Reynand, tapi pria tua bangka itu langsung pergi setelah melihat putrinya keluar dari kamar. Aku benar-benar tidak menyangka kasih sayangnya langsung menghilang hanya karena insiden tidak benar itu.
Ohya, mengenai mahar, Ameena sendiri yang meminta itu. Dia tidak ingin mahar yang berlebihan. Jadi, uangnya langsung gue gunakan untuk membeli cincin pernikahan dengan bermata berlian. Gue sangat yakin, kalau dia tau harga cincin pernikahan ini sangat fantastis, dia pasti akan menolaknya. Gadis gue memang sangat istimewa.
Gue langsung menatap takjub Ameena yang kini sudah duduk di samping gue. Pernikahan kami hanya dihadiri anak-anak panti, uminya Ameena, Kak Arsyi, ayah dan bunda, Willy, penghulu, dan dua orang saksi.
"Ayo di cium tangan suaminya, Dek." Ameena menggeleng dengan pelan. Gue paham, gadis itu masih belum bisa menerima hal ini. Dia tidak suka gue, ralat, bukan tidak, tapi belum. Akan gue buat dia bucin.
"Istri saya masih malu, Pak. Di kamar nanti malunya bakalan hilang, kok." gadis itu langsung menunduk dengan dalam saat gue mengeluarkan kata seperti itu. Apalagi semua orang kompak tertawa, dia pasti malu.
"Sini tangannya, sayang."
"Apa?" Ameena bertanya dengan pelan. Tanpa menunggu dia mengulurkan tangannya, gue langsung menarik tangan tersebut. Menyematkan cincin pernikahan kami di jari mungilnya. Setelah berhasil menyematkannya, gue langsung menuntun tangan tersebut ke depan bibir gue. Menciumnya dengan penuh perasaan.
Suara riuh tepuk tangan dari adik-adik panti dan yang lainnya langsung memenuhi indra pendengaran gue.
"Sekarang, lo tanggung jawab gue. Jangan segan buat ngungkapin perasaan lo, gue bakalan jadi tempat bersandar ternyaman buat lo."
*****
"Untuk sementara waktu, kita tinggal di rumah ayah dulu. Setelah lulus, kita bakalan tinggal berdua. Lo setuju?" Ameena yang kini duduk di samping gue langsung menatap gue."Ariel, aku akan selalu mengikuti kamu, tapi, kenapa kita harus pindah nanti?" gue langsung terkekeh ketika mendengar pertanyaan tersebut.
"Dengar, gue mau tinggal di rumah ayah karena takut khilaf, apalagi lo udah halal gue apa-apain. Di sanapun kita gak akan tidur berdua, lo tidur di kamar gue, gue bakalan tidur di kamar satunya lagi." Ameena hanya mengangguk saja. Gadis itu berdiri, gue segera menahan pergelangan tangannya.
"Mau kemana?"
"Ingin mandi." Ameena menggerak-gerakkan lengannya yang gue pegang. Gue sangat yakin, Ameena sedang risih sekarang.
"Mandi bareng, mau?" rona merah itu langsung muncul di pipinya.
"A-riel, jangan seperti ini. Aku butuh waktu untuk bisa berinteraksi dengan baik saat bersama kamu."
"Iya, gue ngerti." gue langsung melepaskan pegangan gue. Ameena langsung berlari keluar dari kamar. Karena kamar mandi di sini tidak menyatu dengan kamar. Kamar mandinya berada di dapur. Kami masih berada di panti, besok kami akan pindah ke rumah ku. Ralat, rumah ayah dan bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam yang terluka
SpiritualMemangnya salah jika kita terlahir sebagai tunawicara? Memangnya salah kalau kita dibesarkan di panti asuhan? Pertanyaan itu selalu hadir di benak gadis yang berusia enam belas tahun itu. Ameena Az-Zahra namanya. gadis yang memiliki keistimewaan ya...