39. Ada apa dengan Ariel?

943 60 68
                                    

Assalamualaikum!

Happy reading!

.
.
.

Ameena POV

Seminggu yang lalu, aku senang sekali. Aku senang Kak Adrian meminta maaf padaku. Tapi, rasa takut itu masih tersisa. Bohong kalau aku tidak takut kepada Kak Adrian, aku masih sangat takut walaupun ia sudah meminta maaf. Dan setelah permintaan maaf itu, Kak Adrian sudah tidak pernah menemuiku, hanya Daddy yang sering menemuiku di sini, di rumah ayah.

Tiga hari yang lalu, aku sudah ke psikolog. Awalnya Ariel ingin menyuruh dokter itu ke rumah, tapi aku tidak mau. Aku membujuk Ariel agar kami yang ke sana. Dan hari ini, aku ingin kembali masuk sekolah. Sudah satu minggu lebih aku tidak masuk. Kata Ariel, ayah sudah mengurusnya.

"Sayang, udah siap?" aku langsung mengangguk. Kakiku langsung melangkah beriringan dengan Ariel. Sebelum berangkat, kami sarapan terlebih dahulu. Dan ternyata di ruang makan sudah ada bunda, ayah dan dokter Willy. Mereka sudah menunggu kami ternyata, aku jadi tidak enak.

"Ayo sarapan dulu, sayang!" Bunda langsung menarik tanganku agar duduk di sampingnya. Ariel duduk di samping dokter Willy, berhadapan denganku.

"Maaf, karena telat."

"Gak papa, sayang."

Setelah berdoa, kami langsung makan sarapan kami masing-masing.

"Ngapain sih lama banget di kamar? Kelonan?" dokter Willy menatap ku dan Ariel secara bergantian.

"Bikin bayi." jawaban Ariel membuatku tersedak. Bunda yang ada di sampingku langsung memberikan air minum. Setelah selesai minum, aku langsung menatap Ariel yang tersenyum menatapku.

"Kalian beneran mau program hamil?" tanya bunda. Aku kembali menyuap nasi goreng milikku dengan kesal. Aku kesal karena pembahasaan pagi ini memalukan.

"Iya," lagi-lagi Ariel membuatku semakin kesal. Kenapa dia malah mengiyakan pertanyaan bunda?

"Ariel, sebaiknya tunda dulu. Kalian masih sekolah. Delapan bulan lagi kalian lulus. Kehamilan Ameena bisa ketahuan. Dan--"

"Tapi, aku tidak hamil, ayah." aku memotong ucapan ayah.

"Tapi, kalian ingin menjalankan program hamil, kan?" aku menatap Ariel yang menaik turunkan alisnya. Ekspresi wajahnya itu benar-benar seperti om-om penggoda saja.

"Kan yang ingin menjalankan program hamil Ariel. Jadi, Ariel saja yang hamil!" jawabku kesal. Dan jawaban yang ku berikan membuat semua yang ada di meja makan tersebut tertawa. Dokter Willy bahkan sampai memukul-mukul pundak Ariel.

"Kasian sekali kamu Ariel." aku menatap Ariel. Rupanya pria itu juga ikut tertawa. Syukurlah, aku pikir dia akan marah karena di tertawakan. Ternyata hanya pikiran ku saja.

"Sebaiknya kamu program hamil setelah mendapat izin dari Om Rey, Riel. Kalau Om Rey nolak cucu dari lo gimana?" tanya dokter Willy setelah semua orang berhenti tertawa.

"Lah, ngapain minta izin segala. Ameena istri gue, terserah gue dong. Lagian kalau dia nolak anak gue juga gak masalah, gue masih bisa nafkahin anak sama istri gue."

*****

Aku tersenyum saat mendengar bel pulang. Saat semua orang di kelas sudah berhamburan keluar, aku tetap memilih duduk di kursiku. Karena biasanya, Ariel selalu datang untuk menjemput ku ke kelas.

"Maaf lama, udah dari tadi ya?" suara Ariel langsung membuatku menatap pria tersebut. Aku mengerut bingung, apalagi saat melihat wajah dan tubuhnya di penuhi peluh. Belum lagi luka di sudut bibirnya.

Diam yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang