Assalamualaikum!
Happy reading!
.
.
.Ameena POV
"Ariel,"
"Hm?" Ariel hanya melirik ku sekilas. Aku memilin ujung jilbabku, aku gugup sekali. Apalagi kini kami sudah melewati halte, itu artinya sebentar lagi kami akan sampai di sekolah.
"Ak-u takut." Ariel menghentikan mobilnya tepat di tempat parkiran. Ia menghadap ke arahku lalu menangkup pipiku dengan kedua tangannya.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Hiraukan saja mereka semua. Lagipula, mereka gak akan berani sama lo. Siapa sih yang berani sama putri dari pemilik sekolah ini?" pernyataan Ariel barusan membuat ku sedikit lega. Semoga saja hinaan dari mereka sudah tidak ada.
Ariel keluar dari mobil, aku segera melepaskan seatbelt ku. Baru saja aku ingin membuka pintu, tapi Ariel sudah membukakan pintu tersebut.
"Silakan, Tuan putri." aku menarik sedikit bibirku untuk memberikan Ariel senyuman.
"Terima kasih." tanganku di tarik oleh Ariel. Pria yang sudah berstatus sebagai suamiku itu menggenggam tanganku. Aku memperhatikan sekitar, banyak sekali yang memperhatikan kami.
"Pantes aja Ariel mau, ternyata anak orang kaya cuy. Mana sepupuan."
"Yoi! Mana katanya gak bisu, ya jelas Ariel mau."
"Kayanya udah pernah--"
"Diam kalian semua, bangs*t!"
Aku langsung memejamkan mataku saat mendengar bentakan itu dari Ariel. Aku kira mereka tidak akan bergosip ria lagi, nyatanya aku salah. Ternyata manusia memang suka membicarakan saudaranya sendiri.
"Sekali lagi gue dengar kalian ngomong yang nggak-nggak, kalian semua akan berurusan sama gue." aku langsung menarik-narik tangan Ariel. Berusaha membawanya agar menjauh.
Setelah mengantarku ke kelas, Ariel langsung keluar. Semua yang ada di kelas langsung mengerumuni aku.
"Ameena, lo beneran anaknya Pak Reynand?" aku tidak tau siapa yang bertanya ini. Gadis dengan kucir kuda, aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya.
"Lo juga katanya bisa ngomong, kan?" kalo ini aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan seperti itu.
"Coba ngomong dong, kami mau denger." aku hanya menunduk. Malas untuk berinteraksi dengan mereka semua. Mereka mau mengajakku berinteraksi hanya karena Daddy memberi tahu identitas ku, aku tidak suka pertemanan yang tidak tulus.
"Lo beneran gak mau ngomong?" aku tidak menjawab. Tanganku langsung mengeluarkan novel yang sempat aku beli saat pulang dari rumah Daddy kemarin. Aku memilih membaca novel daripada berbicara dengan mereka semua.
"Sombong banget anjir! Gak kaya Shirren," aku mendengar. Bahkan sangat mendengar perkataan mereka yang membanding-bandingkan aku dengan Shirren.
"Yaiyalah beda, orang dia cuman ponakan." entah siapa yang berkata seperti itu. Aku tidak peduli.
Kepalaku mulai menatap sekitar, entah kenapa guru belum masuk ke kelas ini. Padahal aku sudah tidak tahan mendengar ocehan mereka.
"Kapan belajarnya?" keadaan langsung hening. Aku yang baru saja mengeluarkan suara langsung ikut terdiam. Aku benar-benar lupa.
"Lembut banget anjir, suaranya!" setelah mendengar seruan itu dari mulut ketua kelas baruku. Mereka semua langsung kembali mengerumuni aku.
"Ameena, lo dari lahir emang udah bisa ngomong, kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Diam yang terluka
SpiritualMemangnya salah jika kita terlahir sebagai tunawicara? Memangnya salah kalau kita dibesarkan di panti asuhan? Pertanyaan itu selalu hadir di benak gadis yang berusia enam belas tahun itu. Ameena Az-Zahra namanya. gadis yang memiliki keistimewaan ya...