4. Pelukan hangat dari Umi

1.3K 105 25
                                    

Assalamualaikum!

Tandain typo!

Happy reading!

.
.
.

"Kenapa data diri anak-anak panti ini ada di ruang kerja suami saya?" samar-samar ku dengar suara keributan dari arah dalam. Aku langsung mengikuti Kak Arsyi yang berlari menghampiri asal suara tersebut.

"Beliau sendiri yang meminta, saya hanya memberi."

Dapat ku lihat Ibu yang sedang berdebat dengan Umi menampilkan raut marahnya.

"Dasar wanita sialan! Sudah saya katakan un--"

"Jaga mulut Anda Nyonya! Tangan kanan suami Anda sendiri yang memintanya. Dan perlu Anda ketahui Nyonya, data anak panti yang Anda takutkan sampai ke tangan suami Anda tidak kami berikan, karena anak itu sangat berharga bagi kami." Kak Arsyi memotong perkataan Ibu tersebut.

Sebenarnya aku cukup bingung dengan semua ini. Kenapa Ibu ini selalu mencari masalah dengan Umi dan Kak Arsyi.

"Ameena, sayang. Masuk ke kamar kamu!" Umi menatapku seraya tersenyum lembut.

Aku menatap Ibu tadi sekilas, wajahnya menatapku sinis. Lalu, aku langsung mengangguk seraya mendekati Umi, mencium punggung tangan, telapak tangan, serta pipi Umi. Aktivitas yang selalu ku lakukan ketika berangkat ataupun pulang dari suatu tempat. Setelah itu, aku langsung berlalu ke kamarku. Entah apa lagi yang mereka debati, aku juga tidak ingin ikut campur meski aku benar-benar sangat ingin tahu kejadian yang sebenarnya.

Aku langsung membersihkan diriku terlebih dahulu. Setelah itu, aku berjalan menuju dapur, perutku sangat lapar sekali.

"Saya tau gadis yang tadi adalah anak yang saya maksud. Karena hanya gadis itu yang tidak bisa berbicara di sini." langkahku langsung terhenti. Aku sudah tidak bisa menahan diriku lagi. Kakiku benar-benar terasa seperti ada yang menariknya. Dan hal yang seharusnya tidak ku lakukan malah ku lakukan.

"Dia tumbuh dengan sangat baik kan?" Umi bertanya seperti itu.

Mereka sedang membicarakanku bukan? Karena hanya aku yang tidak bisa berbicara di sini. Hanya aku yang terlahir bisu, tidak ada orang lain.

"Walaupun dia tumbuh dengan baik, itu bukan berarti dia bisa berbicara. Lihatlah, bahkan anak itu hanya bisa mengangguk dan menggeleng. Dia masih menjadi aib bagi keluarga kami. Seharusnya saya memang tidak melahirkan anak itu."

Deg!

Apa yang ia bicarakan? Apa Ibu yang selalu mencari masalah dengan Umi dan Kak Arsyi ini adalah Ibu ku? Apa benar?

"Ameena juga tidak pernah ingin di lahirkan dari rahim Anda!" Kak Arsyi berucap dengan tegas.

"Dan harusnya kalian tidak membesarkannya!"

Mataku perlahan berembun. Hatiku rasanya sangat sakit setelah mengetahui bahwa sosok Ibu kandung yang selama ini aku harapkan untuk menjemputku, malah tidak menginginkan kehadiranku.

Ternyata aku sangat salah. Salah karena telah menaruh harapan tinggi seperti itu. Harusnya aku mendengarkan perkataan Umi. Harusnya aku tidak berusaha mengetahui apa yang tidak boleh aku ketahui. Karena nyatanya, itu hanya membuat hatiku merasa sakit.

Aku meremas dadaku dengan sangat kuat, bahkan rasanya aku sangat sulit untuk menghirup pasokan udara. Air mata yang sedari tadi ku tahan nyatanya sudah mengalir dengan sangat deras.

"Saya salah membuang anak itu ke sini. Harusnya saya hanyutkan saja dia. Agar tidak membuat kepala saya pusing seperti ini."

Sudah cukup! Aku tidak bisa mendengarkan ocehannya lagi. Aku langsung berlari menuju kamarku. Bahkan rasa laparku mendadak hilang. Nyatanya kesedihan bisa membuat diriku merasa kenyang.

Aku duduk di pinggir kasurku. Tangisku benar-benar tidak dapat ku hentikan. Bahkan kini aku sudah sesenggukan. Aku tidak butuh sosok Ibu yang tidak bisa menerima kehadiranku. Aku hanya butuh Umi dan Kak Arsyi. Sosok yang selalu memberikan perhatiannya kepadaku. Hanya mereka yang ku butuhkan.

Untuk apa memiliki seorang Ibu jika pada akhirnya harus aku yang mengemis kasih sayangnya? Bagiku kasih sayang yang di berikan Umi dan Kak Arsyi serta anak-anak panti di sini sudah cukup.

Aku menghapus air mataku dengan kasar. Lebih baik aku merapikan penampilanku sekarang. Aku ingin membaca Al-Qur'an saja. Al-Qur'an adalah obat, dengan Al-Qur'an hati kita bisa tenang. Dan aku ingin menenangkan diri sekarang. Aku tidak tau cara meluapkan kekecewaanku, dan aku tidak ingin setan mulai membisikkan sesuatu yang buruk. Lebih baik aku membaca Al-Qur'an saja.

*****

"Ameena, bangun, shalat asar dulu!" samar-samar ku dengar suara lembut Umi. Bahkan tangannya yang lembut mulai membelai pipiku.

Aku membuka mataku perlahan. Setelah beberapa detik, aku mulai mendudukkan diriku. Memberikan senyuman terbaikku kepada Umi.

"Shalat asar dulu yuk!" aku rasa ajakan Umi ini tidak bermasalah. Tapi kenapa mataku malah berkaca-kaca? Apa yang salah? Ada yang salah dengan suasana hatiku.

"Hei, sayang? Kenapa putri Umi ini menangis, hm?"

"Aku hanya beban bagi Umi dan Kak Arsyi. Maaf karena tidak bisa membuat kalian bangga. Harusnya aku tidak berada di sini bersama kalian."

"Kenapa Ameena tiba-tiba mengatakan ini, hm? Apa ada seseorang yang mengatakan hal ini?" tangan Umi kini memasukkan anak rambutku yang mulai keluar.

"Tidak Umi, hanya saja aku sekarang merasa sangat buruk. Aku tidak bisa membanggakan Umi dan Kak Arsyi. Maafkan aku."

"Tidak sayang, Umi tidak menuntut kamu harus ini dan itu. Cukup menjadi Ameena yang Umi kenal, Ameena yang selalu bisa berbuat baik. Itu sudah sangat membuat Umi bangga dengan putri Umi ini."

Ya Allah! Hati Umi benar-benar sangat lembut bukan? Kenapa aku tidak terlahir dari rahim Umi saja?  Umi yang notebenya adalah orang asing bagiku saja memberikan kasih sayang sebanyak ini kepadaku. Lantas, kenapa Ibu kandungku malah ingin menyingkirkan aku?

Astaghfirullah, aku tau pikiranku ini tidak benar. Tapi aku benar-benar tidak bisa menahan pikiran ini agar tidak merasuki otakku.

"Umi, aku ingin berhenti sekolah. Aku tidak ingin Umi dan Kak Arsyi membiayai sekolahku di sekolah yang elite itu."

Raut terkejut itu langsung muncul di wajah Umi. Aku sudah menduganya.

"Sayang, Umi dan Arsyi sendiri yang memilihkan kamu sekolah terbaik di sini. Umi tidak keberatan dengan biaya perbulannya. Yang penting Ameenanya Umi bisa bersekolah dengan nyaman. Kamu jangan memikirkan biaya pendidikan kamu. Itu urusan Umi dan Kakak kamu,"

Aku tidak dapat menahan haruku. Sekali lagi ku katakan, kasih sayang Umi benar-benar tidak terhingga. Aku benar-benar merasa sangat di hargai di sini.

Aku langsung masuk ke dalam pelukan hangat Umi. Aku bahkan sudah tidak bisa menahan tangisku lagi. Pelukan Umi selalu membuatku merasa nyaman. Pelukan Umi selalu bisa membuatku merasa hangat dan tenang. Aku sangat menyayangi Umi melebihi diriku sendiri.

'aku tidak ingin di akui oleh Ibu, aku hanya ingin kasih sayang dari Umi.'

.
.
.

Maaf jika ada yang menyinggung perasaan!

Ig: @makmummu1.__
      @gsna.__

See you next chap!

Assalamualaikum!

Diam yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang