33. Donor

1.1K 84 55
                                        

Assalamualaikum!

Happy reading!

.
.
.

Ameena POV

Sekarang kami sedang di rumah sakit. Kak Adrian sedang ditangani oleh dokter. Sedari tadi Bu Karin terus menangis, aku benar-benar tidak tega. Sella dan Shirren berusaha menenangkan Bu Karin.

Aku langsung menatap Ariel yang tiba-tiba menggenggam tanganku. Pria itu tersenyum tipis lalu mengelus kepalaku dengan lembut.

"Semuanya akan baik-baik aja." aku tersenyum mendengar kalimat penenangnya. Semoga yang dikatakan Ariel benar, semoga semuanya baik-baik saja. Bagaimanapun juga, Kak Adrian tetaplah saudaraku.

Setelah setengah jam, dokter Willy keluar. Kami semua langsung mendekatinya.

"Gimana keadaan Adrian, Will?" Daddy bertanya dengan suara yang serak. Aku tadi tidak sengaja melihat Daddy menangis, walaupun Daddy mencoba menutupinya, tapi dari suaranya, sangat terdengar dengan jelas. Daddy sangat menyayangi anak-anaknya.

"Adrian kekurangan banyak darah, Om. Kita membutuhkan donor secepatnya. Karena golongan darah yang dimiliki Adrian sedang kehabisan stok saat ini."

"Rey! Donorkan darahmu! Kalian berdua memiliki golongan darah yang sama!" Bu Karin langsung menarik kerah baju Daddy dengan kasar.

"Masalahnya tadi malam aku baru saja minum-minum, Karin!" mataku langsung membola mendengarnya. Aku tidak menyangka Daddy melakukan hal haram itu. Padahal Daddy sudah tua, tapi gaya hidupnya tetap tidak sehat. Entah apa enaknya minuman haram itu, minuman itu begitu diminati.

"Salah satu suster sudah bertanya dengan rumah sakit lain, sayangnya stok yang tersisa akan digunakan siang ini." aku menatap Bu Karin yang kini menangis tersedu. Hati ibu mana yang tidak sakit saat putranya sedang berjuang antara hidup dan mati?

Aku perlahan mendekati dokter Willy dan Daddy, tautan tanganku dan Ariel langsung terlepas.

"Apa golongan darahnya?" dokter Willy dan Daddy langsung menatapku dengan lekat.

"O."

"Golongan darahku O, ambil darahku saja."

"Ameena!" Ariel langsung memegang kedua bahuku. Matanya menatap wajahku dengan tidak suka.

"Gak usah terlalu baik, bisa? Biarin aja Adrian mat--"

Bugh!

"Apa maksud mu Ariel? Adrian putra saya, saya tidak akan membiarkan putra saya meninggal!" Daddy memukul bahu Ariel dengan kencang.

"Lalu mengorbankan putri Om demi putra yang sangat Om bangga itu?"

Aku menatap Ariel lalu menggenggam tangannya dengan erat. Pria itu langsung menatapku, aku berusaha memberikan senyumanku untuknya.

"Aku hanya donor darah, bukan donor jantung." aku berusaha menenangkan Ariel. Hanya donor darah tidak berbahaya, Ariel terlalu berlebihan. Ariel bersikap seolah-olah aku akan mendonorkan seluruh darahku hingga habis.

"Tetap aja gue gak mau darah istri gue mengalir di dalam diri bajingan itu!"

"Ariel! Berhenti mengeluarkan omong kosong! Dan kamu wanita sialan, cepat donorkan darahmu!"

"Karin! Jaga mulutmu! Putriku sudah bersedia menyumbangkan darahnya, harusnya kamu berterima kasih!" Daddy sampai mencekik leher Bu Karin. Kepalaku tiba-tiba langsung berdenyut melihat keributan yang mereka perbuat. Aku yang cinta damai, sangat tidak cocok dengan mereka yang cinta keributan.

Diam yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang