Assalamualaikum!
Happy reading!
.
.
."Aku tidak ingin bertemu Ariel, Umi." aku memeluk Umi yang tidak bisa menghentikan tawanya.
Setelah kejadian di mobil tadi, kami berkunjung ke panti. Aku benar-benar malu, apalagi tadi aku memintanya lagi, dan Ariel juga malah mengabulkannya. Apa yang ada di pikiran Ariel nantinya? Ya Allah, malu sekali.
"Itu kasian lho suaminya nungguin." aku masih menggeleng di pelukan Umi. Aku masih enggan melepaskan, wajahku benar-benar terasa panas sekali.
"Umi, Ameena benar-benar malu. Apa yang di pikirkan Ariel nantinya? Ameena ketagihan, Umi." kali ini bukan kekehan lagi yang keluar dari mulut Umi, tapi suara tawa yang cukup nyaring.
"MasyaAllah, putri Umi sudah besar."
"Umi ...." aku merengek. Umi bukannya membuatku tenang, malah membuatku semakin malu.
"Dengar sayang, kalian melakukan hal seperti itu termasuk saling memberikan nafkah, lho. Jatuhnya bukan dosa, melainkan pahala. Siapa sih yang gak mau pahala hanya dengan saling bersentuhan? Itu salah satu keuntungan pernikahan. Kita saling menggenggam saja, pahala yang kita dapat. Apalagi seperti yang Ameena dan Ariel lakukan di mobil tadi."
"Umi ...." mataku langsung berkaca-kaca. Aku sangat malu saat Umi tersenyum menggodaku seperti itu.
"Gak usah khawatir gimana pendapat Ariel, sayang. Buktinya saat kamu memintanya lagi, dia langsung mengabulkannya, kan?" aku langsung mengangguk mengiyakan.
"Itu artinya Ariel juga menyukainya, bukan hanya Ameena yang menyukainya."
Baru saja aku ingin menanggapi perkataan Umi, suara pintu diketuk langsung mengalihkan kami. Detik selanjutnya suara Ariel langsung terdengar.
"Gih di samperin dulu. Ariel mau ngajak kamu pulang, pasti." aku mengangguk. Umi dan aku langsung keluar dari kamar.
Kepalaku langsung tertunduk. Entah bagaimana caraku menghilangkan rasa malu yang sangat tinggi ini. Saat melihat Ariel, rasa malu itu langsung menjalar dengan sendirinya.
"Udah mau maghrib, pulang, ya?" Umi menyenggol bahuku saat Ariel bertanya kepadaku. Aku mengangkat pandanganku sekilas, lalu mengangguk dengan cepat.
"Umi, Ameena pulang dulu. Kalau nanti Kak Arsyi pulang, salamin ya. Assalamualaikum!" aku langsung mencium punggung tangan beserta pipi Umi. Ariel juga langsung mencium punggung tangan Umi.
"Lo mau ngehindarin gue, kan?" Ariel bertanya setelah kami keluar dari area panti. Kami sedang berdiri tepat di samping mobilnya.
"Ak-u gak ngehindar, kok."
"Ohya?" Ariel malah memajukan wajahnya. Aku refleks mundur, tapi tangan pria itu malah menahan pinggangku agar tidak terjatuh. Posisi ini benar-benar sangat intim. Apa Ariel tidak tahu malu? Ini sedang di tempat umum.
"Ar--iel,"
"Hm?"
"Ja-ngan seperti ini. Ini tempat umum,"
"Memangnya kenapa?" aku memejamkan mataku dengan kuat. Tidak sanggup berlama-lama menatap mata Ariel, apalagi mataku selalu fokus ke arah benda kenyal itu. Aku benar-benar tidak bisa mengontrol pikiranku.
Aku langsung mendorong dada Ariel agar menjauh dari ku. Pria itu menurut saja. Ia langsung membukakan pintu mobil untuk ku. Setelah aku masuk, dia kembali menutup pintunya.
"Ke apartemen gue dulu, mau?" mataku langsung membulat. Ini sudah hampir maghrib, untuk apa ke apartemen segala?
"Untuk apa ke sana? Kita cari mushala dulu, kita harus shalat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam yang terluka
SpiritüelMemangnya salah jika kita terlahir sebagai tunawicara? Memangnya salah kalau kita dibesarkan di panti asuhan? Pertanyaan itu selalu hadir di benak gadis yang berusia enam belas tahun itu. Ameena Az-Zahra namanya. gadis yang memiliki keistimewaan ya...