56 - The House that Burned Down

11 2 2
                                    

Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, namun yang jelas, aku sudah berada di tempat lain ketika aku terbangun. Suara dari luar membangunkanku. Suara dari beberapa orang yang saling mengobrol entah apa.

Aku langsung menarik tubuhku untuk berdiri. Pusing sudah tidak terasa lagi dan tubuhku sudah terasa lebih enteng untuk bergerak, hanya saja tenggorokanku terasa sekering gurun tandus. Dengan berbekal itu, aku pergi menuju pintu untuk keluar dari kamar ini yang berukuran cukup kecil ini. Kamar yang rasanya hanya bisa ditempati oleh ranjang tunggal.

Suara tadi menjadi semakin jelas ketika aku menekan kenop pintu. Suara mereka menyeruak masuk melalui celah yang tercipta pada pintu di hadapanku, bersamaan dengan angin dingin yang berembus dengan lembut. Lampu kekuningan memberi siluet sedikit berbeda dari apa yang berada di depanku.

"Issa!"

Teriakan dari satu-satunya suara yang sangat kurindukan, diikuti dengan pelukan besar nan hangat. Vallery langsung merangkul tubuhku dengan kedua tangannya, mendekapku erat di dalam kerinduan yang sudah entah berapa lama mengendap dalam hati. Bau ini ... masih sama.

Pelukan itu hanya berlangsung selama beberapa detik, namun terasa selamanya. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya yang menarik tubuh itu dariku selagi matanya memeriksa setiap jengkal dari tubuhku. "Kau kelihatan sedikit lebih kurus..."

Dan tidak kusangka, air mataku sudah menetes. Aku buru-buru mengusapnya sambil menyunggingkan senyum bahagia, namun aku yakin yang kutampilkan adalah senyum getir, sesuai emosi yang sedang kurasakan saat ini.

"Aku tidak apa-apa," kataku. Kedua tanganku malah terjulur untuk pelukan kedua yang diterima oleh Vallery dengan senang hati. "Aku merindukanmu."

Dan lagi, dia menarik tubuhnya dariku. "Aku juga sangat merindukanmu," katanya, membuat hatimu entah bagaimana sedikit tenang. "Kemari, duduk dulu," ajaknya ke arah kursi yang masih tersedia.

Aku hanya menurut dan duduk. Di seberang meja di hadapanku ada Kuma dan Logan. Dan di sudut ruangan, ada Xavier yang sedang menonton entah-acara-apa di televisi.

Vallery kembali setelah mengambil sesuatu di kulkas yang berada di ruangan lain. Dia menaruh satu kaleng fizzypop rasa ceri yang sudah dia buka di meja. Aku langsung menyabet minuman itu. Soda membanjiri tenggorokanku dengan letusan-letusan kecilnya. Kesegaran seperti ini sudah lama tidak aku rasakan selama beberapa bulan terakhir.

Setelah satu teguk penuh, aku menaruh kembali kaleng soda tersebut. Sekarang, aku harus mulai melempar pertanyaan.

"Kita berada di mana?"

Satu pertanyaanku barusan tidak dijawab secara langsung oleh satu pun dari mereka—termasuk Vallery. Namun Kuma mencoba untuk mencairkan suasana yang canggung ini dengan deham kecil sebelum pada akhirnya berani memberiku jawaban.

"Kita berada di suatu tempat di perbatasan antara Cerril City dan Kipt Great Woods." Tatapannya kemudian beralih pada Xavier yang mengacungkan tangannya tanpa menoleh. "Tempat ini adalah tempat berlindung milik Xavier sebelum bergabung dengan Anonymous!"

Mendengar Kuma mengatakan bahwa kami berada di perbatasan Kipt Great Woods, aku jadi penasaran seperti apa rupa tempat ini. Aku pernah mendengar bahwa Kipt Great Woods adalah tempat yang terasa sangat berbeda dari tempat-tempat lain, bahkan beberapa dari mereka mengatakan bahwa tempat ini memiliki aura magis seperti sedang berada di dunia fantasi.

Aku lantas berdiri dan mengatakan, "Kenapa?" sambil menuju ke arah jendela yang ditutupi oleh gorden.

Dengan tanganku, aku menyeka gorden itu hingga cahaya keemasan dari luar masuk ke dalam ruangan, menciptakan sekotak cahaya yang terlihat menempel di lantai dan bergerak dengan sangat-sangat perlahan.

OriginsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang