57 - Direction

12 3 0
                                    

Malam itu juga, aku dan Vallery pergi dari tempat persembunyian milik Xavier menuju Macerian. Kami berdua tidak menyia-nyiakan waktu untuk berpamitan pada Logan, Kuma, maupun Xavier. Tidak, aku hanya tidak ingin berbicara pada Logan, dan aku tidak mempunyai alasan untuk sekadar mempercayainya.

Perjalanannya tidak memakan waktu yang lama, karena daerah utara – terutama Kipt Great Woods, hanya berisi pohon-pohon rindang sepanjang aspalnya, juga letaknya bersebelahan langsung dengan Vaburn City – tempat Macerian berada. Menjelang pagi, kami sudah sampai di Macerian.

Aku bisa mengatakan bahwa Guardian benar-benar menghancurkan tempat ini secara menyeluruh. Tidak, mereka hanya menghancurkan isinya.

Dan ketika melangkah kembali masuk ke dalam, rasanya sudah tidak seperti rumah. Lantai-lantai retak dan hancur. Perabotan sudah tidak berbentuk lagi. Ada banyak kayu, plastik, dan entah-apa-yang-ada-di-lantai. Rasanya seperti rumah liar yang baru digusur oleh pemerintah setempat. Perasaanku bercampur aduk ketika aku mulai melangkahkan kakiku di antara reruntuhan ini.

Satu-satunya hal yang terpikirkan hanya mendatangi kamar milik Papi. Dan ya, semua dokumen-dokumen miliknya sudah hilang, bahkan foto-foto dan jurnalnya. Begitu juga dengan ruangan rahasia yang berhasil ditemukan, isinya sudah habis seperti baru saja dirampok. Benar-benar menyedihkan.

Dengan itu, aku hanya bisa mengambil beberapa benda yang bisa kuselamatkan dari puing-puing di dalam rumah ini: Glock cadangan yang kusimpan di bawah lantai lemari, pisau taktis, pakaian yang bisa kugunakan, dan tas selempang.

Selanjutnya? Aku tidak tahu harus ke mana, tetapi aku mungkin bisa mencari petunjuk dari suatu tempat.

~ O r i g i n s ~

Bulat dari matahari sudah sejajar dengan mata, dan warna emas memenuhi penglihatan ketika aku dan Vallery sampai di tempat tujuan.

"Kau yakin?" tanya Vallery sekali lagi. Setidaknya hal itu yang sudah dia tanyakan selama beberapa menit terakhir.

"Cukup yakin," balasku. "Memangnya siapa yang mau mengunjungi pemakaman, terutama di jam-jam seperti ini?"

Ekspresi dan gerakan tubuhnya tidak yakin, "Maksudku ... siapa tahu?"

"Kita akan baik-baik saja, Val. Setahuku Guardian tidak menjaga tempat ini, dan aku juga yakin tidak akan ada Guardian yang mengunjungi pemakaman ini kecuali hari-hari tertentu. Selain itu, mungkin hanya warga sipil..."

"Baiklah," dia sepertinya sedikit lega dengan penjelasanku. "Kau hafal tempatnya?"

"Aku rasa aku masih ingat tempatnya."

Aku memperlambat laju mobil ketika memasuki wilayah pemakaman. Guardian Memorial Place. Nama tempat ini mengingatkanku pada waktu menghadiri pemakaman Papi.

Sekitar hampir sepuluh menit kemudian, kami sampai di tempat tujuan. Aku memarkir mobil di bahu jalan selebar empat meter. Tidak ada siapa pun di sini, dan suasananya cukup menyeramkan karena sudah hampir malam.

"Kau ingin ikut?" tawarku pada Vallery ketika keluar dari mobil. "Kurasa Papi akan lega melihatmu mengunjunginya."

"Aku yakin Coach tahu bahwa kita sedang tidak berada di situasi yang bagus," dia menggeleng, lalu melanjutkan, "Kau saja," katanya. "Aku akan berjaga di sini."

Aku tidak mengiyakan, namun hanya keluar dari mobil dan mulai berjalan menuju satu makam kecil di baris kedua.

Nama di nisan bertuliskan "Gavrien C. Allister" menyambutku. Aku tersenyum kecil. Ada perasaan hangat yang muncul, hati kecilku juga merasa sedikit sakit, lalu kembali mengingat bagaimana wujud seorang Papi ketika masih hidup. Aku membayangkannya tersenyum sambil memegang senapan serbu di tangannya.

"Halo, Papi." Sapaku, berjongkok di depan makam tanpa satu pun bunga yang menghiasinya, bahkan sepertinya tidak ada yang pernah mengunjunginya selain aku. "Bagaimana kabarmu di atas sana? Aku yakin kau sudah lega bahwa aku akhirnya mengetahui hal-hal yang berusaha kau sembunyikan untuk kebaikanku."

Aku tersenyum getir. Mengingat Papi di depan makamnya ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Bagaimana pun juga, ini jarak terdekat diriku berada di dekatnya ... meski dia sudah tidak bernapas lagi. Rasanya benar-benar... hancur berkeping-keping.

Aku terdiam untuk sejenak, aku tidak bisa memalingkan tatapanku pada makamnya. Dan ketika aku menyadarinya, air mataku sudah memenuhi pipi.

"Aku hanya ingin datang untuk mengunjungimu, Pa. Aku berusaha untuk membenarkan semua hal yang sudah terjadi, dan semua hal yang ingin kau cegah, namun yang terjadi malah sebaliknya. Apa yang harus kulakukan? Aku butuh bantuanmu untuk mencari jalan keluar dari masalah ini."

Beberapa menit berlalu di dalam tangisan, sebuah tangan menepuk bahuku. Itu Vallery.

"Kau tidak apa-apa?"

Aku menyeka pipi dan menoleh ke belakang kanan. "Aku tidak apa-apa," ujarku sambil menghela napas singkat, namun tanganku masih bergetar akibat hebatnya rasa sedih ini. "Aku hanya berharap untuk mendapat petunjuk di sini."

"Kau akan mendapat petunjuk," katanya. "Kau hanya harus percaya pada dirimu sendiri." Genggamannya pada bahuku semakin erat. "Kita tidak bisa menyangkal bahwa akan ada perang yang akan terjadi, dan yang kita perlukan hanya menempatkan diri kita di mana saat hal itu berlangsung."

Aku lantas berdiri, tatapanku masih lekat pada nama di batu nisan itu walau sudah sedikit susah untuk dibaca karena gelap mulai menyapa. "Kalau kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?"

Dia memberi jeda sebelum menjawab pertanyaanku, jeda yang bisa kugunakan untuk berpikir juga mengenai apa yang harus kulakukan nantinya.

"Aku akan mengingat satu hal penting dari seseorang yang penting juga," katanya.

"Contohnya?"

Dia mengangkat bahu. "Coba kau pikirkan. Kalau aku, aku pernah mengenal seseorang yang pernah berkata bahwa: 'untuk menghancurkan sesuatu atau seseorang, kita hanya membutuhkan dua hal: martir dan orang-orang terdekatnya." Dia kemudian berbalik. "Kalau kau sudah selesai, mungkin sebaiknya kita harus pergi dari sini," katanya. "Hari sudah gelap, dan patroli malam mungkin akan segera dimulai. Aku dengar-dengar Guardian sudah memiliki segelintir pasukan sintetis dan sedang dalam masa uji coba. Malam hari di sini terasa sangat menyeramkan sekali!"

Pasukan sintetis, ya? Seperti android milik Prominent?

Aku turut berbalik dan berjalan mengikuti Vallery. Apa yang harus kuingat mengenai satu hal penting dari seseorang yang penting juga? Dan apa yang baru dikatakan Vallery mungkin ada benarnya mengenai martir dan orang-orang terdekat. Aku bisa memanfaatkan banyak hal yang sudah tersedia.

"Hei, Val?"

"Hmm?"

"Bagaimana menurutmu mengenai Rohry?"

"Rohry?" ulangnya. "Kenapa dengan dia?"

"Mungkin sudah saatnya kita harus memberinya kunjungan."

"Kau mau mengunjunginya?" tanyanya, yang kuberikan anggukan. "Benar juga, sudah lama kita tidak bertemu dengannya. Kapan terakhir kali kita bertemu dengannya?"

"Saat hari itu."

"Benar, benar!"

OriginsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang