Sinar matahari di sebelah barat mulai menciut ketika suara gemuruh ombak mulai terdengar sangat samar di telingaku. Aku membuka kedua mataku yang kini sudah terasa lebih enteng. Sementara itu, aku mendapati bahwa di balik kaca mobil ini, wajah kota yang berada di hadapanku sudah berubah. Gedung-gedung tinggi sudah tidak lagi terlihat, dan hanya beberapa rumah kecil di pinggir jalan. Aku rasa beginilah rupa pinggiran kota seharusnya terlihat. Sangat tenang dan tidak sesak.
"Berapa lama lagi kita akan sampai?" tanyaku spontan selagi meregangkan tubuhku.
Aku bisa melihat tatapan yang diberikan oleh Logan melalui kaca spion, dan Vallery yang sedikit menggerakkan tubuhnya untuk bisa melihatku.
"Hei, kau sudah bangun," ujar Kuma.
"Aku rasa sebentar lagi kita sampai, tetapi aku tidak yakin," jawab Vallery. Fokus itu sepertinya masih dia berikan pada laptop dan kertas yang tadi kami temukan di bekas markas Guardian.
"Tidak yakin bagaimana?" tanyaku sembari membenarkan posisi duduk. Tubuhku masih terasa sedikit kaku dari caraku tidur.
"Dari koordinat di flashdrive, seharusnya kita sudah dekat," katanya. "Jadi bisa saja berada di salah satu dari rumah-rumah itu."
"Kalian sudah mengecek rumahnya?" Tanyaku melanjutkan.
"Sudah. Kami sempat mengecek beberapa rumah, tetapi rumah-rumah itu terlalu banyak untuk dicek satu per satu," Logan memberi pendapat, kedua matanya tetap memperhatikan jalanan dengan debu-debu tebal selagi sesekali menatap rumah-rumah yang semua bentuknya identik.
"Hmm.. kurasa kita harus mencarinya satu per satu."
"Yah, apa boleh buat," ujar Logan.
Kami akhirnya mengecek satu per satu rumah yang kami lewati, namun hanya memeriksa dengan singkat untuk memastikan koordinat lokasi. Koordinat lokasinya ternyata sangat mendekati di deretan rumah paling ujung, di sana ada tiga rumah yang tersisa. Vallery dan Logan mengecek di dua rumah pertama, sedangkan aku dan Kuma mengecek rumah ketiga.
Hari sudah gelap, aku refleks mencari senter yang bisa kugunakan sebagai penerangan sebelum turun dari mobil. Sementara itu, Kuma sepertinya tidak terganggu dengan gelapnya malam, dan bahkan suasana hatinya terlihat sedikit lebih baik. Aku tidak begitu memperhatikan Kuma yang langsung berjalan ke arah rumah itu seolah dia tidak memerlukan penerangan, lalu aku dikejutkan dengan suara ledakan yang langsung memekikkan telinga.
Aku bergegas untuk menoleh ke arah sumber suara, menatap satu per satu detail kegelapan melalui kaca jendela mobil. Ledakan itu berasal dari sebuah ranjau darat yang meledak dipijak oleh Kuma.
"Kuma!" teriakku cukup panik. Asap masih mengepul beberapa meter di tempatku berdiri, namun aku tidak berani untuk melangkah maju mendekati Kuma, waspada jika masih ada ranjau lain.
Aku menoleh ke kiri dan mendapati Logan dan Vallery yang sudah berdiri tidak jauh dariku. Mereka berdua juga menjaga jarak, dan Logan sepertinya berusaha untuk melihat menembus asap itu menggunakan mata synth-nya.
"Kuma?!" teriakku dengan khawatir. Mataku masih mati-matian mencari di mana tubuhnya berada, namun asap itu masih terlalu tebal.
"Aku tidak apa-apa!" suara Kuma terdengar dari balik asap, disusul oleh suara batuk-batuk. Aku benar-benar tidak mengira bahwa Kuma masih hidup setelah ledakan yang seharusnya dapat membunuh seseorang dengan mudah itu.
Beberapa detik kemudian, secara perlahan tubuh Kuma muncul dari balik asap.
Aku menatap ke arah kakinya – yang membuatku terkesima sekaligus kaget. Dia ternyata memiliki kaki buatan yang kemungkinan besar berbahan titanium dan serat karbon, di mana itu adalah tingkat paling tinggi untuk sebuah organ luar buatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Origins
Science FictionPerang nuklir pernah terjadi di tahun 2077, di mana mengakibatkan bumi dipenuhi dengan radiasi yang mampu mengubah makhluk hidup menjadi sesuatu yang mengerikan. Dan di tahun 2342, sudah banyak hal yang berubah di bumi. Peradaban sudah dibangun kemb...