Happy Reading🍖
..
.
Jajaran mobil hitam itu berhenti di depan megahnya sebuah pagar besi berwarna hitam. Tak lama dari itu jajaran mobil hitam tadi segera masuk kedalam pelataran yang cukup luas. Keluarlah kedua insan yang sedari tadi berada di dalam mobil. Tinggi keduannya sangatlah menyimpang, namun sama-sama memilik perawakan yang gagah.
Beberapa pengawal dan maid turut serta menyambut kedatangan mereka. Seakan angin lalu, mereka hanya melewati tanpa berniat menjawab sapaan.
"Ku rasa ini tak semudah yang dibayangkan."
"Kau ragu?"
"Entahlah, aku hanya takut sesuatu buruk terjadi."
Lelaki bersurai hitam mendongak kepada lawan bicaranya yang lebih tinggi ketimbang dirinya. Mata itu mengingatkan akan sosok wanita cantik yang bersedia membawa dirinya kemanapun selama sembilan bulan.
"Kau mengingatkan ku padanya." Remaja bersurai hitam itu menghela napas. Bayang-bayang dimana dirinya menyaksikan kejadian malam itu masih saja tertanam didalam memorinya.
"Aku hanya tidak ingin membunuh seseorang."
Remaja itu mendongak menatap sosok lelaki yang berstatus sebagai Kakaknya. Terlihat kobaran amarah yang terpancar dari mata elangnya.
"Membunuh atau terbunuh." Bisiknya.
Remaja bersurai hitam itu hanya diam melihat kakaknya semakin menjauh. Ia merenungi ucapan lelaki itu, membunuh atau terbunuh?
Hatinya bimbang, haruskah ia menentang sosok kakak yang disayanginya atau?, ahh ia bingung sekarang."Luca." Panggilan itu membuatnya menoleh dan mendapati lelaki yang menjadi figur sosok ayah kedua baginya.
"ABANG." Teriaknya senang. Segera ia berlari dan berakhir digendongan abangnya itu.
"Kenapa datang tidak bilang-bilang?" Anak itu merasa dibohongi. Abangnya ini bilang jika tidak akan pulang seminggu kedepan karena tugas yang diberikan ayahnya. Dan sekarang?
"Hahaha..maaf ya."
"Belikan aku lego dulu baru ku maafkan." Anak itu dalam mode ngambek ada maunya.
"Sejak kapan kau tertarik dengan mainan itu, hm?" Pipi anak itu melar seperti moci karena tangan abangnya itu menarik-narik pipinya.
"Iwshh sakitt!" Pekiknya tidak terima.
"Huhh aku melihat temanku memainkan lego miliknya."
"Hmm."
"Hmm, apa dulu nih?" Remaja yang dipanggil Luca tadi turun dari gendongan abangnya dan menatap garang dengan tangan bersedekap didepan dada.
"Lain kali oke." Lelaki itu hanya mengusak rambut Luca yang terasa lembut ditangannya.
"Abang~" Rengek anak itu saat sosok abangnya pergi meninggalkannya.
.
.
.
"Eunghh." Lenguhan itu terdengar lirik, namun masih saja bisa didengar oleh Xavier.
"Gabrio?"
Perlahan namun pasti anak itu mulai membuka mata dan pandangannya meliar. Tatapannya jatuh kepada Xavier yang duduk di samping ranjangnya.
"Sudah puas bermainya, hm?"
"Bisa tidak marahnya nanti saja, kepalaku pusing." Anak itu memijat pelan kepalanya yang sedikit pening.
"Salahmu sendiri." Ucap Xavier ketus, tak ayal tangannya membantu memijit kepala sang adik.
"Pusing...,"
"Diamlah, jika menangis akan semakin membuatmu pusing." Xavier menggendong Gabrio perlahan, takut jiia infus ditangan kiri adiknya tersenggol.
Anak itu jatuh pingsan saat menjalani hukuman yang diberikan oleh Victor. Tidak parah, hanya dehidrasi ringan dan disertai mimisan. Itu semua terjadi karena terlalu lama berdiri di lapangan ditemani terik matahari yang cukup menyengat kulit.
"Kenapa tadi bermain ditangga, hm?"
Gabrio hanya diam enggan untuk menjawab. Ia takut kena omel lagi.
"Jawab!" Xavier mulai dalam mode seriusnya. Ia takut jika anak itu terluka karena kecerobohan anak itu sendiri.
"Lomba dengan Brannen." Cicit anak itu pelan.
"Kau tau seberapa bahayanya jika sampai kau terjatuh menggelinding?" Xavier mulai mengeluarkan ceramah andalannya.
"Huum, maaf aku tidak akan mengulanginya lagi."
"Ku harap kau bisa memagang janjimu itu."
Sedangkan di ruang bawah tanah, Victor sedang melihat tahanan miliknya yang sedang menjalani masa hukuman, rasanya sangat tenang ketika mereka yang berada didalan jeruji menjerit penuh kesakitan. Dan jangan lupakan bau anyir yang menyeruak sebagai bumbu pemanis.
"Ahh menyenangkan sekali." Ucap Victor lega setelah algojo miliknya selesai memukuli si korban dengan tongkat bisbol yang dilapisi duri.
"Bisakah kau kuliti tubuhnya?, ku pikir itu akan cocok digunakan untuk karpet ruangan ku nanti."
"TU-TUAN...AMPUNI SAYA...,"
"SAYA BERJANJI AKAN MENGHAPUS SEMUA FOTO TUAN MUDA TUAN...AMPUNI SAYA." Pria itu memohon dibawah kaki sang tuan besar. Lihatlah tangan penuh darah itu mengotori sepatu serta jas mahal milik victor.
"APA ITU CUKUP UNTUK MEMBUAT NAMA BUNGSUKU BERSIH HAH?!" Victor berteriak lantang membuat pria yang berada di bawahnya bergetar.
"Sa-saya akan...melakukan...a-apapun tuan.." Pria tak berdaya itu memeluk kaki jenjang milik Victor. Berharap agar ia mendapatkan ampunan.
"Apapun?" Tanya Victor menyeringai. Astaga otak kriminalnya mulai membayangkan beberapa susunan rencana yang sangat menarik. Dari mana ia harus memulai?
"Bagaimana jika ku tukar pengampunanmu dengan nyawa anak manis mu ini, hm?" Victor dengan sengaja menunjukan foto seorang gadis cilik berambut pirang berkepang dua. Anak yang benar-benar manis dan menggemaskan.
"TI-TIDAK TUAN JANGAN A-ANAK SAYA." Pria itu semakin memeluk erat kaki mikik Victor.
Dengan tidak berperasaan Victor menendang pria itu agar tidak menempeli terus kakinya."APA KAU TAHU?"
"KAU SUDAH MEMBUAT NYAWA PUTRA KU TERANCAM DENGAN UNGGAHAN BODOH MILIKMU ITU SIALAN!" teriak Victor dengan menggebu-gebu. Amarahnya sungguh berada di ambang batas.
"KAU MEMBERIKAN UMPAN KEPADA PARA BAJINGAN ITU BODOH!" Victor berteriak murka, membuat beberapa pengawal bergeridik ngeri. Betapa mengerikannya sang tun besar, urat-irt yang dileherpun menonjol sempurna, wajah perah padam dan tatapan nyalang bak pedang yang tajam.
"Haha...setelah kupikir, anak manismu itu cocok untuk tumbal proyekku." Victor tertawa.bagaikan orang gila, setalah meluapkan emosinya.
"Bukan begitu?" Victor menatap Zergan yang sedari tadi diam mengamati.
"Iya tuan." Zergan hanya mengiyakan saja ucapan tuan besarnya yang sedang dalam mode On. Menolak sama saja bunuh diri.
"TIDAK JA-JANGAN ANAK SAYA TUAN!" teriakan pilu itu menggema sebelum akhirnya suara letupan pistol mengakhiri gemuruhnya ruangan yangbisa dibilang tak baik-baik saja.
Peluru itu begitu cepat meluncur dan menembus dada dan kepala pria tak berdaya itu. Ya, Victor menembaknya tanpa rasa bersalah.
"Kirim kepada keluarganya!" Ucap Victor.
"Baik tuan. Lalu bagaimana dengan anaknya?" Tanya Zergan.
"Biarkan saja. Buat keluarganya bangkrut, blacklist nama keluarganya dari semua perusahaan!" Ucap Victor lalu segera membersihkan darah yang mengotori baju miliknya. Ia tak mau jika putra bungsunya ketakutan melihat dirinya penuh darah seperti saat ini.
Dobel nih, dah lama nggak up hehe😅
KAMU SEDANG MEMBACA
AVIOTHIC
Teen FictionMencari kebebasan yang tak pernah ia dapatkan, seorang remaja yang terjebak didalam sangkar emas buatan keluargannya sendiri. Bisakah mereka mengerti akan dirinya yang haus akan kebebasan?, cukup selama ini ia diam dengan segala aturan yang diberika...