Happy Reading🦖
..
.
.
Pagi ini Gabrio sudah jauh lebih baik setelah semalam demam yang menderanya lumayan tinggi. Kini ia hanya rebahan di sofa sambil menonton kartun kesayangannya dan juga di temani biskuit dengan taburan kismis buatan Kazuna.
Entah sudah berapa setoples biskuit yang ia habiskan sejak satu setengah jam yang lalu. Namun Kazuna tak mempermasalahkan hal itu, justru ia senang karena anaknya tidak merengek dan meminta makanan yang kurang sehat menurutnya.
Di mansion hanya ada Gabrio dan Kazuna karena Victor membawa Xavier ke markas utama untuk menjalankan pelatihan seperti biasanya. Untuk Gabrio sendiri, dirinya memang belum di berlakukan latihan wajib bagi keturunan Wittelsbach, anak itu belum memenuhi syarat utama yang di tetapkan oleh Reiner selaku petinggi utama dalam keluarga besar.
Untuk setiap anggota keluarga yang sudah memasuki umur delapan belas tahun, maka diwajibkan untuk mengikuti pelatihan khusus seperti halnya yang di lakukan Xavier saat ini.
"Lakukan dengan benar!" bentak pelatih anggota khusus.
Di sinilah Xavier berdiri dengan menggenggam pistol miliknya, arena tembak. Ia tak sendirian ada juga beberapa anggota lain yang memiliki jadwal tembak yang sama dengan dirinya.
"Xavier maju dan tembak sasaran nomer tiga puluh!" ucap pelatih itu dengan menunjuk Xavier yang dipilihnya menjadi orang pertama dalam latihan hari ini.
Tidak, kalian tidak salah dengar. Pelatih itu memang memanggil nama Xavier tanpa ada embel-embel tuan muda. Itu semua memang kemauan dari anak itu sendiri. Ia akan merasa lebih nyaman ketika dipanggil nama ketika berlatih bersama dengan orang di sekitarnya seperti saat ini. Namun jika latihan sudah selesai ia tak peduli lagi semisal pelatih itu memanggilnya dengan sebutan tuan muda.
"Bagus, tepat sasaran. Kau boleh mengambil istirahat mu," ucap si pelatih.
Tanpa mnunggu lama, Xavier segera meninggalkan arena tembak dan menuju ruang pribadinya yang memang ia miliki di markas ini.
Dengan kasar ia meletakan pistol dan rompi tembak di atas meja ruangannya. Diambil sebotol soda dingin dan ia tegak hingga tandas.
Xavier duduk di sebuah kurai gaya eropa yang menghadap langsung ke arena tembak, jadi ia bisa melihat secara gamblang orang-orang dibawah sana berusaha membidik pada sasaran.
"Kita lihat sejauh mana mereka berjalan."
"Bahkan orang pintar pun berubah menjadi bodoh," ucapnya diakhiri dengan kekehan
"Mereka tidak akan pernah tau apa yang di rasakan orang lain sebelum merasakannya sendiri bukan?"
Ia sudah biasa dengan kesunyian seperti ini selama bertahun-tahun lamanya, tidak terlalu buruk pikirnya. Justru di saat-saat seperti inilah ia bisa menjadi dirinya sendiri.
♧♧♧
Victor sedang memijat pelipisnya, akhir-akhir ini rasanya kepalanya ingin meledak karena mengurusi beberapa pekerjaan kantor maupun dunia bawahnya, di tambah lagi kasus putra bungsunya yang mulai menjadi perbincangan hangat diantara sesama rekan bisnis maupun rival.
Semenjak unggahan si bodoh itu, putra bungsunya mulai mendapat citra buruk dan berbagai rumor yang kurang sedap di dengar. Berbagai cap mulai di sematkan pada bungsunya, ia tak bisa tinggal diam mengenai hal ini. Keluarga ada prioritas utama baginya.
"Sudah ku bilang sejak awal untuk mempublish keponakanku," ucap seserang yang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangannya.
"Bisakah kau mengetuk, sebelum kau masuk!" ucapnya memandang tak suka sosok di depannya. Tidak memiliki sopan santun memang!
"Haha...baiklah biar ku ulangi lagi," ucapnya segera keluar dan mengetuk pintu sebanyak dua kali.
"Bodoh!" umpatnya tajam.
"Jadi apa keputusan mu terkait hal ini?"
Victor menatap Wilder, orang yang menambah tingkat kemarahannya dengan aksi konyolnya itu. Mau apa lagi orang itu kemari?
"Aku hanya bertanya?" Wilder menatap Victor dengan muka acuhnya.
"Diam mu tak akan bisa menghapus cap buruk untuk keponakanku itu!"
Wilder menatap geram sang adik, sedari dulu otak pemilihnya tak pernah berubah, selalu lambat dalam memilih keputusan.
"Jika kau tak mampu serahkan pad-" ucapan Wilder terpotong oleh ucapan adiknya yang ia nanti-nanti sejak tadi.
"Hilangkan otak pemilihmu itu. Kau akan kehilangan bayak hal jika terus seperti ini," ucap Wilder.
"Tau apa kau?" Sarkasnya.
"Bukankah umur menjelaskan semuanya?, jika kau lupa saat inipun kau telah menempati posisiku yang dulu."
"Bahkan aku lebih tau sesuatu hal menarik yang tak pernah kau tahu di dalam keluarga ini...atau bisa jadi keluarga kecil mu itu?" Wilder menyeringai menatap adiknya yang nampak seperti orang dungu dihadapannya.
"Apa maksudmu?" tanya Victor.
"Kau tertarik eh?" Wilder menatap Victor dengan wajah konyolnya.
"Katakan saja Valter!" geramnya melihat muka konyol sang kakak yang seolah mengejeknya.
"Sangat tidak sopan sekali," cibirnya.
Victor adalah orang yang sangat teliti dalam melakukan apapun itu, selama ia memimpin clan keluarganya, ada banyak hal yang ia ketahui walaupun sejengkal kuku. Namun apa katanya tadi?, hal menarik yang bahkan ia tak ketahui hingga saat ini?
Ketukan itu membuat Wilder tak jadi berucap akan kebenaran yang di nanti-nantikan oleh Victor. Apalagi sekarang?
"Aku ingin bicara," ucap Xavier menatap Wilder yang duduk santai di sofa dengan kaki berada di atas meja.
"Bicara saja, aku tak punya waktu untuk perbincangan anak kecil." Wilder menatap malas pada Xavier. Sedangkan Xavier hanya menatap datar Wilder yang menurutnya terlalu angkuh.
"Hanya sebentar," Xavier meninggalkan ruangan Victor.
"Anak mu sangat merepotkan!" Mau tak mau ia menuruti ke mauan ponakannya.
Oke hari ini dah dobell....
Semoga suka, kalo mau kasih saran juga bolehh💜
KAMU SEDANG MEMBACA
AVIOTHIC
Teen FictionMencari kebebasan yang tak pernah ia dapatkan, seorang remaja yang terjebak didalam sangkar emas buatan keluargannya sendiri. Bisakah mereka mengerti akan dirinya yang haus akan kebebasan?, cukup selama ini ia diam dengan segala aturan yang diberika...