Part 40 : Impostor?

145 8 0
                                    

Happy Reading 🦝
.


.











.




"Penyamaran yang sempurna, sayangnya aku takakan terkecoh."

"Haha ternyata memang tak diragukan kemampuan mu, Tuan Jerdan yang terhormat."

Jerdan menatap seseorang yang tengah berdiri di dekat jendela kamarnya. Sungguh ia tak menduga jika orang itu mulai menampakan dirinya secepat ini.

"Apa mau mu nak?" Jerdan menatap lekat punggung sosok itu.

"Apakah kau pernah mendengar istilah 'seseorang tak akan bisa merasakan kesakitan orang lain sebelum mereka merasakannya sendiri?' Pernah mendengarnya?" Tanya sosok itu masih dengan memunggungi sang pemilik kamar.

"Ya, kupikir aku pernah mendengarnya, tetapi tidak dengan merasakannya." Jerdan perlahan melepas jas yang ia kenakan, niat hati ingin segera mandi justru kedatangan sosok itu.

"Aku memberinya kesempatan untuk bisa merasakan apa yang belum pernah ia rasakan selama ini." Jerdan nampak terkejut mendengar penuturan sosok itu.

"Kau tidak takut jika anak itu berubah menjadi monster dibelakangmu?" Tanya Jerdan.

"Tidak. Kami telah membuat kesepakatan bersama. Selama aku membiarkannya berkeliaran dia tidak boleh menyentuh kesayanganku. Sebaliknya jika itu terjadi aku akan menghancurkannya dengan tangan ku sendiri." Sosok itu membalikan badan menghadap Jerdan yang sudah duduk di pinggir ranjang.

"Meskipun kita adalah saudara." Lanjut sosok itu membuat Jerdan hanya diam mendengarkan kesungguhan sosok didepannya ini. Terlihat dari matanya sama sekali tak ada keraguan di dalamnya.

"Dia datang dengan dendam di hatinya. Itu semua akan segera terjadi, cepat atau lambat."

"Kau tak berusaha menghentikannya ketika dia memiliki dendam?" Tanya Jerdan ingin tahu lebih dalam.

"Lucu sekali, mereka yang cacat harus tersingkirkan demi sebuah kehormatan bukan? Aku tak keberatan jika dia melakukannya, selama tak menyentuh kesayangan ku itu sudah cukup."

"Toh dia hanya mengincar orang yang sudah mengasingkanya, oh atau lebih tepatnya membuangnya kan?"

Sosok itu tertawa melihat air muka Jerdan yang nampak lusuh, ternyata kedatangannya sangat tidak pas pikirnya. Dilihatnya jam yang sudah menunjukan pukul tujuh malam, itu artinya ia harus segera pergi.

"Baiklah Daddy aku akan segera pergi, haus sekali terlalu banyak bicara tentang fakta." Sosok itu terkekeh lalu segera pergi.

.








.







.


Gabrio masih linglung karena baru saja bangun tidur. Ternyata ia tidur cukup lama hingga tak terasa jam sudah menunjukan pukul tujuh malam. Pasti sebentar lagi makan malam akan segera dimulai, sedangkan ia sendiri belum mandi sekarang.

Dilihatnya sisi kanan dimana Brannen masih saja tidur dengan lelap, bahkan air liur anak itu membasahi selimut tebal yang dijadikan anak itu sebagai bantal.

"Brannen kau menjijikan." Anak itu mencoba menyingkirkan kaki sepupunya yang menindih kakinya.

"Diamlah, aku masih mengantuk." Tanpa aba-aba Brannen menarik tubuh Gabrio dalam pelukannya.

"Loh, baru saja mau mom bangunin." Carlote yang baru saja hendak membangunkan anak dan keponakannya untuk makan malam ternyata sudah keduluan, baguslah ia tak perlu repot-repot membangunkan kedua bocah itu.

"Lihatlah anak mu mom~" adunya ada Carlote dengan melas.

Carlote hanya bisa menggeleng melihat kelakuan mereka berdua, terlebih kelakuan anaknya yang sangat jahil, entah dari mana kejailan anaknya turun, oh tentu saja buka dari dirinya. Hah jika sudah begini terpaksa ia harus mengeluarkan jurus andalannya.

"BANGUN ANAK NAKAL!" Carlote berteriak lantang sambil menarik telinga kanan anaknya agar cepat bangun. Ini bukanlah kekerasan dalam anak tapi salah satu cara agar anak itu bangun. Belum tahu saja jika Brannen tidur sudah persis seperti kudanil.

"ADUH SAKITT MOM," Brannen mengaduh sakit pada telinganya yang dijewer oleh sang mommy.

"Kau sudah persis seperti kudanil! Cepat mandi lalu makan malam!" Brannen segera beranjak dari tidurnya, takut bila ibu negara semakin marah.

"Kau juga mandi," sebelum benar-benar berlari ia juga tak lupa menarik tangan Gabrio yang sudah berdiri lebih dahulu. Hal itu tentunya membuat Gabrio memekik keras karena hampir jatuh.

Kedua anak itu baru saja keluar dari lift lantai tiga dimana kamar mereka berada. Mereka berdua berjalan beriringan sampai akhirnya harus terpisah karena letak kamar yang tidak berdekatan. "Segeralah turun jika sudah selesai," ucap Brannen diangguki oleh Gabrio.

Gabrio segera masuk kedalam kamarnya, sedangkan Brannen kembali melangkah menuju kamar miliknya yang berada, namun saat sedang berjalan ternyata ia bertemu dengan kembaran kulkas yang sebelas dua belas seperti Kenzo.

Graiden yang baru saja menutup pintu dikejutkan oleh kembarannya yang sudah berdiri dibelakangnya dengan tampang watados nya.

"Hai kembaran." Sapa Brannen namun hanya dibalas deheman oleh Graiden.

"Minimal dijawab dong," Brannen memberengut karena kembarannya ini sangat cuek.

"Kenapa?"

"Ck, dasar tidak peka sekali."

Graiden hanya menggeleng pelan melihat tingkah sang adik yang sedang merajuk. Apakah dirinya akan terlihat seperti Brannen jika sifatnya seperti sang adik, secara mereka kembar. Membayangkannya saja ia merasa ngeri ketika dirinya menjadi seperti Brannen dengan tingkah absurdnya.

"Ngapain dari kamar daddy? Daddy udah pulang emangnya?" Tanya Brannen yang baru ingat kenapa Graiden tiba-tiba saja keluar dari kamar daddy nya padahal anak itu jarang sekali masuk masuk kedalam kamar orang tuanya. Sedikit mencurigakan, pikirnya.

"Kau tidak melakukan hal-hal anehkan?" Tuduhnya pada sang kembaran.

"Memanggil untuk makan malam." Setelahnya Graiden segera meninggalkan Brannen yang masih berada di tempatnya.

.


.


.


💜









AVIOTHICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang