Pertemuan Wali Siswa

4.5K 341 2
                                    

Ikhsan boleh mengatakan tak akan datang dalam pemanggilan wali siswa, tapi dia malah seperti menjilat ludah sendiri, karena dia adalah wali Ilham satu-satunya yang wajib menghadiri pertemuan tengah semester. Agenda wajib di SMAN 1 yang sangat mengutamakan sinergi yang baik antara orang tua dan sekolah.

Buktinya dia duduk di antara para orang tua dan wali siswa lainnya di ruang kelas XI IPA 5 untuk mendengarkan petuah yang dinilainya menyebalkan dari Naura yang tengah berceloteh di depan kelas dengan ekspresi penuh senyuman.

"Tck ... sejak kapan dia seramah itu?" Ikhsan sendiri heran.

"Bapak dan ibu sekalian, perlu diketahui, bahwa kami pihak sekolah berusaha melakukan sinergi dengan orang tua dan wali siswa, karena itu adalah hal yang sangat penting dalam mendukung tujuan bersama kita, yaitu mencetak siswa dan generasi masa depan bangsa yang unggul. Pendidikan di dalam keluarga adalah hal yang sangat penting karena merupakan dasar dari pendidikan seorang anak. Pendidikan seorang anak di sekolah, sangat dipengaruhi oleh pendidikan keluarga. Apa yang terjadi di dalam keluarga, sangat mempengarugi kondisi siswa di sekolah ...."

Sejak tadi Ikhsan menghela napas malas, lantaran seperti sedang mendengar capres yang sedang kampanye. "Hah ... melelahkan sekali. Kapan ini selesai?"

Tak sengaja dia melirik ke samping dan mendapati di tempat yang dipisahkan oleh dua meja darinya terdapat seorang pria yang tak asing. Sebagai seorang Polisi, dia terlatih untuk mengingat banyak hal. Salah satunya mengingat, bahwa pria berseragam khas jaksa itu adalah wali siswa di XI IPA 2. Septian. Tidak salah lagi, pikirnya. 

"Dia kan wali siswa XI IPA 2? Untuk apa dia di sini?" Ikhsan mulai menganalisis dan mendapatkan kesimpulan sementara, bahwa Septian pasti memindahkan adiknya ke kelas Naura. "Tck ... sangat suka mendekati guru muda. Apa dia tidak tahu siapa bapaknya Naura?"

Bukan melihat ke depan, dia malah menatap Septian dengan tajam sebelum beralih menatap Naura yang tengah menjelaskan di depan kelas. Tak sadar bahwa Ilham tengah melihatnya dari jendela kelas.

"Dia ini lagi hadir pertemuan wali siswa atau memantau pergerakan bandar narkoba? Buat malu aja." Ilham yang tak nyaman dengan tatapan Ikhsan pada Septian sebelum kembali bermain rubik 4x4 di tangannya.

Caca, teman sekelas Ilham pun dibuat terpana saat melihat Ikhsan dari jendela. Paling berbeda dengan wali siswa lainnya. Kulitnya kecokelatan, rahangnya kokoh, pandangan matanya sangat tajam, bentuk tubuh yang proporsional yang dipakaikan seragam andalan mantu idaman.

"Ham? Itu kakakmu, kan? Kereeeeeen. Udah ganteng banget, Polisi lagi. Seragamnya buat salah tingkah. Dia kerja di bagian penanganan apa, Ham?"

"Tanya aja orangnya." Ilham malas menanggapi semua pertanyaan yang berkaitan dengan kakaknya.

Dzaki yang berada di samping Ilham pun geleng-geleng. "Eh, Ca? Kamu suka orangnya atau seragamnya? Cewek zaman sekarang emang paling gak tahan sama kaum halo dek. Gak tertolong. Kita kaum apa Ilham?"

"Kaum halo jeng."

Sontak Dzaki dan Caca tertawa. "Hahahahahaha ...."

***

Setelah menjelaskan beberapa hal, Naura memanggil satu per satu wali siswa sesuai urutan daftar hadir untuk langsung menghadap kepadanya agar dia dapat melaporkan perkembangan belajar setiap siswa sampai pertengahan semester.

"Asri anak yang sangat cerdas, Bu. Dia aktif dalam pembelajaran dan berprestasi. Dia meningkat dalam bidang Biologi. Dia memiliki keterampilan dalam bidang yang berkaitan dengan menggambar. Dalam hal ini, dia sangat baik dalam menggambar hal yang berkaitan dengan pembelajaran. Dia juga sangat disiplin dan penuh tanggung jawab dalam setiap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Saya sangat puas dengan perkembangannya sampai pertengahan semester ini dan tidak ada catatan untuk dia. Dia juga bilang kepada saya, bahwa dia ingin menjadi dokter. Melihat dari prestasi-prestasinya, saya akan sangat senang merekomendasikan untuknya beberapa beasiswa yang bisa diambilnya untuk mencapai cita-citanya tersebut. Semoga Asri tetap dapat mempertahankan semangatnya."

Wanita paruh baya yang berprofesi sebagai Asisten Rumah Tangga itu tak dapat menahan harunya. "Terima kasih, Bu sudah membimbing Asri dengan baik. Terima kasih."

Naura tersenyum hangat. "Sama-sama, Bu. Terima kasih kembali telah membimbing Asri dengan baik, ya, Bu."

Septian yang melihat pemandangan Naura dengan segala keramahan dan caranya memperlakukan setiap orang tua dan wali siswa dengan adil tanpa memandang profesinya itu membuat Septian sangat terkesan. Tak sadar bibir tipisnya menarik sebuah senyum simpul. Sementara Ikhsan menatap Septian sebelum geleng-geleng kepala dengan miris. Dia yang heran bin tak percaya, bahwa Septian akan seaneh itu.

Tak lama wanita paruh baya itu berlalu di pintu. Naura kembali melanjutkan panggilannya pada orang tua atau wali siswa lainnya.

"Adrian Ismail Hermawan."

Septian langsung berdiri menghadap Naura dengan semangat.

"Saya dengar dari Ibu Ratih, bahwa Ibu Naura sangat baik dalam penanganan kasus siswa. Kebetulan adik saya ini memang sedikit bermasalah, sehingga saya sangat setuju saat direkomendasikan oleh Ibu Ratih untuk pindah di kelasnya Ibu Naura. Maaf jadi merepotkan, ya, Bu."

Naura tersenyum tipis. "Kami sudah mendiskusikan itu sebelum Ibu Ratih mengambil keputusan, Pak. Tidak menjadi beban untuk saya. Itu memang tugas saya, Pak Septian. Dan juga, semua guru sangat baik dalam penanganan kasus. Adrian dipindahkan ke kelas saya, karena Viona yang ada di kelas saya, dipindahkan ke kelasnya Ibu Ratih."

"Ibu Naura memang luar biasa," puji Septian sedikit di luar konteks membuat Naura sedikit tak nyaman, tapi tak menunjukkan hal tersebut.

"Semua guru terbaik di bidangnya masing-masing, Pak. Saya banyak belajar dari para guru senior."

"Bagaimana ibu bisa menangani banyak kasus?"

"Saya masih banyak kekurangan, tapi saya juga banyak belajar dari kesalahan, Pak. Dalam perkuliahan pendidikan, kami mendapatkan teori bahwa jika permasalahan A, maka solusinya adalah A. Kenyataan di lapangan, solusinya bisa B, C, D, E dan seterusnya. Kasus yang sama pun bisa beda solusinya. Memahami manusia itu sifatnya sangat kompleks. Karakter manusia yang berbeda, zamannya berbeda, latar belakangnya berbeda, dan masih banyak lagi. Bapak tentu lebih memahaminya daripada saya."

Septian mengangguk pelan sekaligus terkesan saat melihat gadis itu. Naura sangat cantik dilihat dari dekat, pikirnya. Tidak hanya cantik, tapi juga rapi, berwibawa, profesional, berdedikasi tinggi terhadap pekerjaannya, baik hati, keibuan, dan segala hal yang membuatnya terkesan.

Tak sadar sejak tadi Ikhsan melirik keduanya dengan sinis sambil sesekali melirik jam tangannya. Tengah menghitung waktu kapan dia dapat meninggalkan ruangan itu. "Dua orang ini menghabiskan waktu saja." Naura pun terlihat ramah pada Septian, berbeda saat dengannya.

Tak lama Septian meninggalkan ruangan itu setelah mendengarkan perkembangan belajar adiknya.

"Bramanty Ilham Permana."

Deg

Ikhsan berjalan ke arah meja guru. Entah kenapa jantungnya malah berdebar. 

Tuan Polisi VS Ibu Guru (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang