Perlindungan

4.3K 338 5
                                    

"Pabrik ayah ada yang produknya makanan yang manis-manis. Gimana ayah gak makan yang manis-manis?" NX Respati protes dengan sesi konsultasinya hari ini yang melarangnya untuk memakan makanan manis.

Naura yang membaca buku di sebelahnya hanya tersenyum kecut. Bukan NX Respati kalau tidak membantah. Itulah fungsinya Naura mendengar perkataan dokter agar bisa kembali mengingatkan ayahnya yang keras kepala. "Ayaaah ... punya pabrik makanan manis bukan berarti ayah harus makan yang manis-manis setiap hari. Sesuatu yang baik kalau berlebihan, jatuhnya tetep gak baik, Yah."

"Iya, iya." Dia lebih patuh pada anaknya daripada kepada dokter pribadinya.

Tiba-tiba Firman berjalan dari arah pintu menuju ke arahnya sebelum membisikkan sesuatu. Seketika ekspresinya langsung sedikit berubah menjadi dingin.

"Ayah mau ketemu temen lama di ruang depan. Kamu jangan ikut ruang depan, ya kalau kembali ke kamar, Nak." Naura mengangguk paham. Dia sudah terbiasa mendapat arahan demikian. Teman baik ayahnya memang tidak pernah dikenalkan secara khusus kepadanya.

"Oke, Yah. Om Firman, tolong awasi ayah. Jangan sampai minum-minuman beralkohol."

"Siap Nona." Firman menahan senyumnya.

"Repot, Man ... Man. Punya anak yang gak tahu agama kelakuannya gak bener, giliran punya anak yang paham agama, semua tindakanmu dikomentarin."

"Tidak ada anak pimpinan preman yang ke pengajian, Abah," timpal Firman membuat Naura geleng-geleng kepala. Dua orang pria itu memang suka saling mendukung.

"Lah iya, anak saya aja memang." NX Respati menyentuh kepala putrinya sebentar. "Tapi bagus juga, mending saya dikomentarin daripada harus lihat dia narkoba, mabuk, terlibat pergaulan bebas, hidupnya gak bener, dan lainnya. Hanya karena saya sebagai orang tuanya belum bener, jangan sampai saya ajak anak saya juga."

Naura tersenyun hangat. Baginya NX Respati adalah sosok ayah yang sangat berpikiran terbuka, karena saat dia memilih berubah, ayahnya itu malah mendukungnya. Bukan bersikap menolak. Selama itu baik baginya, ayahnya tidak akan melarang. Meskipun perubahannya sangat kontras dengan lingkungan ayahnya.

***

"Respati ...." Seorang pria paruh baya dengan kaca mata hitam berdiri menyambut NX Respati yang berjalan mendekat ke arahnya.

Keduanya langsung berpelukan hangat. "Daftan. Lama tidak bertemu."

Keduanya adalah sahabat baik sejak muda. Pernah berada di penjara yang sama. Saat di penjara, mereka bertemu kriminal-kriminal kelas kakap yang memiliki banyak pengetahuan dan jaringan. Bedanya Respati memilih belajar dan mencari jaringan bisnis yang bersih lantaran bosan keluar dan masuk penjara, tapi Daftan justru sebaliknya.

"Perlintasan barang saya akan melalui wilayahmu. Nilainya sangat besar. Saya butuh pengamanan ekstra dari kamu," ucap Daftan setengah berbisik.

NX Respati tampak berpikir sebentar. Dulu dia dengan senang hati melakukannya, tapi saat para Kapolda mulai mendekatinya untuk membangun hubungan baik, itu ada sisi keuntungan dan kerugiannya. Untungnya adalah bisnisnya dilindungi, dan ruginya adalah dia tidak dapat melindungi bisnis kotor teman-temannya. Sangat merepotkan kalau Wayan nantinya menyelidiki hal itu dan menemukannya ada di dalamnya, pikirnya.

"Saya tidak bisa berikan pengamanan."

Daftan mengerutkan dahi. "Kenapa Respati?"

"Kamu tahu sendiri, bahwa pergerakan saya sekarang lebih sering disorot aparat. Akan sangat berbahaya kalau saya berikan pengamanan kepada kamu. Ini cara saya melindungi bisnismu."

Daftan mengangguk pelan. "Saya paham, Respati. Kalau begitu, pastikan saja bahwa semuanya tidak boleh sampai diketahui oleh mereka. Ingat Respati, saya ini sahabatmu."

***

"Mana Ilham, Bi?" Ikhsan pulang dengan ekspresi kelelahan tapi memendam murkanya.

"Belum pulang, Den."

"Hah ...." Tak sempat duduk, pria itu memilih kembali ke mobilnya. Dia mencari Ilham di sekitar sekolah, pada beberapa anak muda yang sedang nongkrong, di wilayah tempat Ilham pernah ditangkap, dan baru menemukan Ilham sedang bermain biliar di sebuah tempat nongkrong anak-anak SMA. Adiknya itu masih mengenakan seragam putih abunya.

Secepat kilat dia mendekati adiknya. Beberapa remaja pun tampak mundur.

"Polisi woi."
"Ada yang manggil Polisi?"
"Balik duluan." Ada yang memilih pulang lebih dulu. Khawatir ikut ditangkap.

Ilham berdiri dan menatap kakaknya dengan dingin saat pria itu mendekat dan menatapnya dengan tajam. Hanya kalimat singkat yang diucapkan, "Ikut saya sekarang atau anggota saya ke sini!"

PRAAKKK

Ilham langsung melempar stik biliar dengan kesal sebelum mengekor kakaknya itu.

PRAAKKK

Pintu mobil pun ditutup Ilham dengan keras membuat Ikhsan mempertebal kesabarannya.

"Kamu tahu, wali kelasmu beritahu saya saat pertemuan wali siswa, bahwa kamu terancam tidak naik kelas kalau tidak memperbaiki kebiasaanmu yang hanya masuk saat pelajaran matematika. Apa kamu gila?!"

Ilham tak khawatir. Dia benar-benar sudah tidak peduli dengan sekolahnya.

"Kamu lompat pagar, tidak mengerjakan tugas, berkelahi hanya untuk hal remeh, dan sejumlah hal memalukan lainnya. Guru lain bahkan mengatakan kamu main judi di belakang sekolah. Saya sangat malu dengan polisi di polres karena dari sekian banyak anak SMA di kota ini, kamu yang ditangkap. Setiap berurusan dengan hal-hal seputar kamu, saya merasa seperti sedang dilempari  kotoran tepat di depan wajah saya. Apa kamu tidak bisa berhenti merepotkan saya dan menjaga nama baik saya? Apa kamu tahu betapa beratnya tugas yang harus saya jalani sebagai Polisi? Saya mempertaruhkan nyawa untuk menangkap pelaku kriminal, tapi mengasuh bibit pelaku di dalam rumah saya. Mau jadi apa kamu?!" bentaknya dengan kesal. Semua hal yang mengganggunya diluapkan detik itu.

Ilham tetap tak peduli. "Aku gak minta pindah sekolah."

Sontak Ikhsan menepikan mobilnya dan langsung melayangkan sebuah tamparan keras ke pipi kanan adiknya.

PLAK

"TAPI SAYA TIDAK BISA BIARKAN KAMU TETAP DI RUMAH, OMA!! APA KAMU PAHAM BRE**SEK?!" Wajah Ikhsan memerah. "Rumah itu tetap akan diperebutkan sebagai warisan. Kamu tidak punya hak untuk tinggal di sana! Saya juga tidak punya hak! Kamu pikir untuk apa saya cepat-cepat masuk ke kepolisian dan berkarir?! Semua karena saya perjuangkan kamu! Kamu tidak tahu betapa beratnya pendidikan saya, pekerjaan saya, hidup yang harus saya jalani, dan semuanya. Saya banyak menabung untuk masa depan kamu! KENAPA KAMU TIDAK BISA MEMAHAMI SAYA WALAUPUN SATU DETIK?!"

Ilham sudah tidak mendengarkan apa pun saat tamparan itu menyentuh pipinya. Matanya berair. Tak menghitung lama, dia keluar dari mobil sebelum berlari menjauh tanpa menoleh.

Tuan Polisi VS Ibu Guru (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang