Sedikit Tentang Mereka

4.1K 360 8
                                    

Ikhsan masih terlelap dengan infus di tangannya. Pria itu tampak lebih tenang dari terakhir kali dibawa oleh Naura.

Naura yang melihatnya dari kaca pintu luar pun entah kenapa mendadak sedikit khawatir. "Apa beliau baik-baik saja?"

"Ibu Naura?" Ilham berjalan mendekat dengan wajah khawatir. Ya, Naura memang menghubungi Ilham lebih dulu.

"Ilham."

"Apa Kak Ikhsan baik-baik saja? Dia tidak pernah sakit. Saya tidak pernah tahu dia sakit. Apa dia akan baik-baik saja, Bu?" Ilham tampak panik.

"Ya ... kakakmu masih istirahat. Masuklah dulu, tapi jangan diganggu. Biar beliau istirahat dulu." Naura memutar hendel pintu agar Ilham ke dalam menemui kakaknya sementara dia menunggu di luar.

Tak lama pria remaja itu sudah keluar dari ruangan dan duduk di sampingnya dengan ekspresi sendu.

"Apa beliau punya riwayat asma? Maaf saya menanyakannya, karena terakhir beliau sesak napas."

Ilham menggeleng. "Tidak ada riwayat asma, Bu."

Naura mengangguk-angguk pelan. "Ya ... itu pasti."

Jelas saja, Ikhsan seorang polisi di level perwira yang sejak awal telah melewati serangkaian seleksi ketat dalam segala aspek termasuk kesehatan. Dalam keseharian, dia juga pasti akan sangat menjaga kesehatan tubuh agar tetap prima. Rasanya sangat aneh kalau Ikhsan memiliki riwayat asma, pikir Naura.

Ilham menoleh dengan mata berkaca-kaca yang membuat Naura tak menyangka, bahwa Ilham akan sangat mengkhawatirkan kakaknya. "Kenapa Kak Ikhsan ke sekolah, Bu?"

"Terakhir saat pertemuan wali siswa, kakakmu minta bertemu saya untuk membahas tentang kamu. Beliau sangat khawatir dengan perkembangan belajarmu."

Seketika wajah Ilham memerah dan manik hitamnya semakin dipenuhi oleh hujan yang siap tumpah. Dia merasa sangat bersalah. "Kami sempat bertengkar kemarin ...."

"Hiks ...." Pria itu sedikit menunduk dan menangis dalam diam sebelum selesai melanjutkan ucapannya.

Naura terpaku di tempatnya dengan perasaan iba. Entah bagaimana kakak beradik itu bisa menangis di hadapannya. Seumur hidupnya dia sangat jarang melihat pria menangis, jadi saat melihat pemandangan yang demikian, baginya itu pasti karena sesuatu yang sangat menyakiti hati mereka.

"Ini pasti sangat menyakiti hatimu, Ilham. Tidak apa-apa untuk menangis. Menangis itu bukan tanda lemah. Semua orang pernah sedih, saya pun begitu. Semua orang juga begitu. Tidak apa-apa," ucap Naura dengan suara pelan.

Ilham semakin terisak-isak dan Naura membiarkan pria itu meluapkan kesedihannya lebih dulu tanpa memaksanya berhenti dan bercerita.

Agak lama Ilham menangis sampai sedikit lebih tenang.

"Dia ... menampar saya ... karena masalah perkembangan belajar. Dia berteriak di mobil. Dia tidak pernah begitu sebelumnya. Itu pertama kalinya dia menampar saya." Ilham tampak sangat terluka saat mengatakannya. "Saya ... saya tidak mau pulang ke rumah, tapi dia malah jatuh sakit."

Air mata Ilham kembali mengalir. "Saya jahat sekali, Bu. Dia bekerja hampir setiap hari. Pagi, siang dan malam hari nyaris tanpa libur, menghadapi orang-orang yang tidak selalu baik dan keadaan yang tidak selalu aman untuknya agar saya bisa hidup dengan nyaman. Saya ... jahat sekali, Bu ...." Cukup miris, karena saat kakaknya sakit barulah dia memikirkan semua itu.

"Ilham? Saya juga terkadang terlibat konflik kecil dengan orang-orang yang saya sayangi. Kami terkadang tidak baik-baik saja. Itu hal yang wajar. Tidak semua hubungan berjalan dengan mulus, Ilham. Tapi ... saat sudah tenang, saya pikirkan kebaikan-kebaikan mereka selama ini kepada saya. Dan, saya temukan kebaikan mereka jauh lebih besar daripada kesalahan yang saya lihat. Seringnya amarah sesaat mengaburkan segalanya.

"Kesalahan mungkin menyakitkan, tapi kalau kita tidak berbuat salah, kita tak akan sadar, betapa berharganya orang-orang yang kita sayangi, betapa berharganya hubungan kita dengan mereka, dan betapa berharganya arti rukun itu sendiri.

"Kita juga harus menurunkan ego untuk benar-benar menyadari, bahwa kita benar-benar mencintai dan menyayangi orang-orang terkasih kita. Jangan baru menyadari dalamnya kita mencintai mereka, setelah mereka telah pergi meninggalkan kita.

"Karena kalimat maaf itu, mudah. Yang susah itu ego kita. Kalimat maaf memang tidak bisa memperbaiki semuanya seperti sedia kala, tapi memberi tahu dengan jelas, bahwa kita ingin menjadi orang yang lebih baik lagi dan tidak akan pernah menyerah untuk orang yang kita sayangi."

Ilham mengangguk sambil terus mengusap air yang terus muncul di sudut matanya. Dia baru menyadari, bahwa memang harus ada perempuan di antara mereka. Karena sebagai sesama pria, Ikhsan dan Ilham sangat sulit mengungkapkan perasaan mereka seperti para perempuan yang begitu mudah melakukannya. Ditambah ego mereka yang sama-sama tinggi. Mereka tak tahu cara menunjukkan rasa sayang, alhasil tak pernah tahu, bahwa mereka saling menyayangi.

"Oh iya, terakhir Pak Ikhsan bilang ke saya, bahwa kamu mungkin marah kepadanya karena beliau memindahkan kamu tanpa persetujuanmu. Beliau ingin bicara denganmu, tapi katanya kamu belum ingin bicara dengannya."

Ilham mengangguk pelan. Sejenak dia termenung memikirkan sesuatu. "Ayah dan ibu kami bercerai. Masing-masing dari mereka menikah lagi. Kami sempat tinggal dengan ayah, tapi istri baru ayah tidak suka dengan kami. Jadi kami dipindahkan ke adik dari ayah atau tante kami. Tidak terlalu lama, karena tante akhirnya menyuruh kami diasuh saja oleh oma.

"Oma sangat menyayangi saya, tapi dua tahun yang lalu, oma meninggal. Beliau berwasiat bahwa rumah itu diberikan kepada saya, tapi saudara-saudara ayah menolak. Mereka bersikeras membagi harta warisan termasuk rumah itu pun akan dijual.

"Saya tidak mau pergi dari rumah itu, karena banyak kenangan oma di sana. Sejak kecil, kami jarang mendapatkan kasih sayang seperti yang oma berikan. Oma sangat berharga untuk saya. Saat itu saya berharap Kak Ikhsan datang untuk membela saya, tapi Kak Ikhsan hanya datang membawa saya pergi dari rumah itu. Dia bilang di hadapan semua saudara-saudara ayah, bahwa mulai saat itu dia yang akan bertanggungjawab terhadap saya dan tidak akan menginjakkan kakinya di rumah itu lagi. Dia juga memarahi saya dan bilang, saya tidak boleh lagi menangisi rumah itu. Kenangan hanya kenangan yang akan dilupakan. Saya tidak boleh menjadi orang yang lemah.

"Dia tidak meminta pendapat saya dan menanyakan apa yang saya inginkan. Dia melakukan semuanya hanya atas dasar keinginannya semata. Saya merasa dia sama saja seperti saudara ayah yang lainnya. Saya marah sejak saat itu. Saya bahkan heran, apakah Kak Ikhsan benar-benar sayang pada oma? Karena dia tidak pernah menangisi oma walaupun sekali," jelas Ilham.

Naura menghela napas sejenak. Rasanya sangat berat memahami semua yang terjadi pada Ikhsan dan Ilham. Dia tidak tahu apa yang dihadapi keduanya, apa yang dirasakan keduanya, apa yang mereka simpan untuk diri mereka sendiri, tapi entah kenapa dia merasa sangat iba terutama pada Ikhsan, yang tidak pernah menangisi omanya walaupun sekali.

"Ilham? Kakakmu pasti menyimpan banyak hal sendirian. Jika kamu mau tahu isi pikirannya dan apa yang beliau rasakan, kenapa beliau mengambil keputusan memindahkanmu, kamu harus berbicara dengannya, Ilham. Bukan berlari meninggalkannya atau meluapkan kekesalanmu pada hal-hal yang membebaninya. Setiap permasalahan itu harus didiskusikan dan dikomunikasikan. Saat kakakmu sudah sadar nanti, kamu harus berjanji untuk minta maaf dan bicara padanya. Oke?"

Ilham mengangguk pelan. "Terima kasih, Bu."

Tuan Polisi VS Ibu Guru (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang