Setipis Tisu

3.4K 295 6
                                    

Ilham patut berterima kasih kepada kebaikan para guru karena memperpanjang masa pengumpulan tugas untuknya, tapi dia pun stres berat di rumah lantaran dipaksa untuk belajar keras. Waktu mainnya terlewat begitu saja. Alhasil dia tak ada kesempatan untuk nongkrong dengan teman-temannya yang terkenal nakal di sekolahnya.

"Duh ...." Sejak tadi dia menggaruk kepalanya dengan frustasi sambil menatap kertas soal Fisika di genggamanannya.

Tiba-tiba dia menemukan ide. Dia keluar dari kamarnya dan menemui Surti yang tengah memasak di dapur.

"Bi? Bisa ajarin aku ini gak?" Dia memperlihatkan kertas soalnya di hadapan Surti.

Wanita paruh baya yang membantunya sejak dari rumah mendiang omanya itu malah tersenyum lucu. "Den tanya aja ke Den Ikhsan. Bibi mah kalau dulu sekolah yang bener dan pinter, gak mungkin sekarang jadi ART."

Ilham malah heran. "Memangnya jadi ART itu salah?"

Surti terkejut dengan pertanyaan adik majikannya itu.

"Kata mendiang oma, semua pekerjaan itu saling membantu satu sama lain, Bi. Bibi di sini aja udah bantuin aku sama Kak Ikhsan. Jadi gak boleh merendahkan pekerjaan selama itu halal," ucap Ilham membuat Surti justru terharu.

Ilham tak sadar dan memilih kembali ke kamarnya. Agak lama dia menunggu Ikhsan yang akhirnya pulang setelah mendekati jam delapan malam. Kakaknya itu baru saja duduk di sofa sambil bersandar dengan kelelahan, dia langsung mendekat dengan sigap.

"Kak? Tahu ini gak?"

"Apa?" Ikhsan menarik kertas yang disodorkan Ilham itu dengan malas.

Pria itu melihat sebentar soal yang dimaksud dan seketika teringat pada pengetahuan lamanya. "Tinggal diturunkan aja, terus kali dengan sebelahnya. Hasilnya itu ...." Dia menutup matanya sebentar untuk menghitung. "437."

"WHOA ...." Ilham terbelalak lantaran terkejut. "Ajarin aku, Kak."

Ikhsan mendadak menghela napas malas. "Saya capek. Baru pulang. Kan ada materinya, Ham. Tinggal baca, pahami, dan kerjakan. Terakhir kali saya pelajari ini waktu SMA. Ini kayaknya mudah sekali. Lagian kalau belajar itu, dipahami. Bukan sekadar dihafal. Kalau hafal, kamu bisa cepat lupa kalau tidak diulangi."

Ilham angguk-angguk kepala mendengar petuah kakaknya itu. Hebat sekali Ikhsan masih ingat pelajaran masa sekolahnya. Dia saja sudah lupa 90% pelajarannya waktu SD dan SMP, karena waktu itu dia belajar hanya untuk sukses dalam ulangan dan naik kelas.

"Kakak hebat banget, masih inget pelajaran waktu SMA."

"Sedikit. Dan, saya waktu itu belajar keras karena saya harus punya pekerjaan yang baik untuk bisa bertanggungjawab terhadap kamu. Kamu hari ini belajar untuk masa depan diri sendiri saja, susahnya minta ampun."

Ikhsan tak ada tanda-tanda ingin mengajarinya membuat Ilham mencari akal. Dia teringat beberapa kali dia menangkap Ikhsan menatap Naura dengan tatapan kagum. Mendadak dia mendapatkan ide.

"Kalau kakak ajari aku, aku akan sampaikan pesannya Ibu Naura."

Sontak Ikhsan langsung bangkit dari posisi bersandar seakan-akan itu pesan penting untuk keselamatan hidupnya. "Apa pesannya?"

Ilham mengacungkan kertas tugasnya dengan santai. "Ajarin dulu."

"Tck ...." Ikhsan sangat capek dan bosan, tapi karena ada embel-embel 'pesan Naura', dia merasa tak bisa mengabaikan hal itu. "Mana pulpen?"

Senyum lebar Ilham terbit. Dia langsung menyodorkan pulpennya dengan semangat agar Ikhsan menjelaskan untuknya.

Saat Ikhsan menjelaskan, Ilham justru tak paham sama sekali. Terbiasa diajari oleh Naura yang penuh kesabaran dan pengertian membuatnya sangat tak cocok dengan sistem pengajaran Ikhsan yang seperti sistem militer.

Seperti saat ini, dia tengah mengerjakan soal dengan dipantau oleh Ikhsan, tapi dia merasa seperti sedang diintai tukang begal saking takutnya pada Ikhsan.

"Kali sebelah," titah Ikhsan masih berusaha sangat sabar.

"Di sini?" tanya Ilham dengan sedikit takut.

"Sebelahnya."

"Di sini?"

"KE KIRI!" Tenaga terpendam Ikhsan langsung muncul membuat Ilham sangat terkejut dan ingin lari. "KALI SILANG, BUKAN KALI LURUS!"

"Hasilnya 22," ucap Ilham dengan suara ciut.

"BUKAN 22! AH, BAGAIMANA SIH?! SUDAH SATU JAM KITA BELAJAR!"

Ilham sampai keringat dingin. Baginya lawan di medan tawuran pun masih lebih baik daripada Ikhsan.

"MASA BEGINI SAJA TIDAK BISA?! Aish ... BAGAIMANA BISA KAMU JADI ADIK SAYA DENGAN KEMAMPUAN SEPARAH INI?! MAKANYA KE SEKOLAH ITU BELAJAR, BUKAN MAIN JUDI!" Semua aibnya diungkit dan dikupas tuntas setajam samurai.

Ilham sampai trauma belajar dengan Ikhsan. Kakaknya itu adalah definisi kakak dengan kesabaran setipis tisu dibagi lima.

Pada akhirnya Ilham hanya menyampaikan pesan singkat Naura yang pernah disampaikan untuknya, "Kata Bu Naura untuk aku yang kadang gak bisa tahan marah ini, kalau mulai merasa mau marah, ingat hadits,

"Janganlah engkau marah, maka bagimu surga." (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Shahih lighairihi)

Barulah Ikhsan berusaha menahan amarahnya sekaligus menyadari sesuatu. "Kalau seperti ini terus, sangat berbahaya untuk kesehatan jantung saya. Hah ... memang tidak semua orang bisa dan cocok menjadi guru." Dia merasa belum sanggup menjadi anggota keluarga yang mendukung anggota keluarga lainnya dalam belajar, pikirnya.

***

Asri berjalan cepat ke ruang Wakasek dan langsung masuk menuju ruangan Pak Dito. Wakil kepala sekolah bagian kesiswaan.

"Selamat pagi, Pak. Bapak memanggil saya?" Senyum Asri tertahan.

Pria paruh baya dengan rambut yang memutih itu langsung tersenyum mendapati Asri di pintu ruangannya. "Pagi, Asri. Duduklah."

Perlahan dia berdiri dari tempatnya dan menuju tempat duduk gadis berambut sepundak itu. Memilih berdiri tepat di sebelahnya. "Tadi bapak mendapatkan amanah dari kepala sekolah untuk memilih seseorang yang akan diikutkan ke olimpiade sejarah." Suara Dito sangat pelan dan lembut. Perlahan tangannya terulur menyentuh lutut Asri dengan lembut sambil mengusapnya dengan pelan. Seketika Asri sedikit merinding. "Bapak mau memilih kamu. Kamu bisa?"

"B-bisa, Pak."

Pak Dito tersenyum sebelum mendekatkan kepalanya ke telinga Asri. "Bagus. Pulang sekolah nanti ke rumah bapak, ya. Kamu mau disayang kan kayak waktu itu?"

Asri mengangguk kaku. "I-iya, Pak."

"Assalamu'alaikum."

Pak Dito terkejut dan secepat kilat menjauhkan tubuhnya dari Asri. "Wa'alaikumussalam." Pria itu berusaha tenang dengan wajah sedikit tegang lantaran kaget dengan kedatangan Naura yang tiba-tiba.

"Asri." Naura tersenyum melihat siswanya itu tampak kikuk dan menunduk malu. "Pak? Saya mau menyerahkan berkas yang bapak minta."

"Oh iya, terima kasih, Ibu Naura." Pak Dito menerima sodoran berkas dari Naura.

"Sama-sama, Pak. Saya permisi." Naura langsung berlalu.

Pria tiga anak itu kembali mendekat dan berbisik ke arah Asri, "Ini rahasia kita, ya. Jangan sampai Ibu Naura tahu. Dia itu tidak suka kamu dekat dengan bapak. Ayahnya itu dulunya preman. Jadi dia pasti kurang disayang. Tidak paham rasa sayang bapak ke kamu."

"I-iya, Pak."

Tuan Polisi VS Ibu Guru (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang