Naura masih sibuk di mejanya memeriksa hasil ulangan harian, tapi kedatangan Bayu yang buru-buru memasuki ruang guru mengalihkan perhatiannya.
"Ada apa?" tanyanya sambil melepaskan kaca matanya.
"Bu? Ilham dan Davi berantem, Bu."
Naura menghela napas menahan gejolak di dadanya. Seperti sudah hafal, bahwa nama Ilham akan kembali membuat sebuah kasus baru. Terhitung sudah dua kali dia membuat kasus pekan lalu.
"Dimana?"
"Di belakang sekolah, Bu."
Naura buru-buru menuju tempat yang dimaksud. Benar saja, Ilham dan Davi yang dalam kondisi penuh keringat dan seragam yang berantakan tengah ditahan oleh dua guru laki-laki agar tak melanjutkan perkelahian mereka.
Keduanya pun berakhir di ruang kepala sekolah sebelum kembali diarahkan menemui Naura selaku wali kelas mereka di ruang guru.
"Saya akan berikan kesempatan bicara kepada kalian, tapi tolong hargai kesempatan bicara satu sama lain. Jangan dipotong dan jangan berdebat. Saya akan suruh masing-masing dari kalian menceritakan dengan detail kejadiannya. Kemudian Damian dan Husin sebagai saksi akan menceritakan juga apa yang terjadi. Bisa dipahami?" Keempat siswa laki-laki dihadapannya itu mengangguk paham.
"Paham Bu."
Ilham dan Davi mulai menceritakan detail kejadian yang tak jauh berbeda, dan kejadian itu pun dibenarkan oleh para saksi yang juga memberikan keterangannya membuat Naura lebih mudah untuk menyimpulkan dan bertindak secara adil.
"Davi? Semuanya berawal dari kamu yang telah mengejek Ilham. Ilham tidak mungkin menyerang kamu tanpa sebab. Semua pasti karena ada sebabnya. Kamu mengejek orang tuanya. Itu sangat menyakitkan. Apa kamu terima saat orang tuamu diejek orang lain?"
Davi menunduk bersalah sebelum menggeleng pelan. Dia menyesal.
Ilham pun merasa tak dipojokkan, karena selama ini setiap dia terlibat kasus, selalu dia yang disalahkan dan suaranya tak pernah didengar, lantaran guru lain hanya mendengar dari satu pihak dan terlanjur mencapnya sebagai pembuat masalah.
"Dengar Davi, saya senang kamu ada di kelas saya. Kamu membuat suasana kelas menjadi menyenangkan dengan humormu, tapi tidak semua hal bisa kamu jadikan lelucon. Dan, tidak semua orang harus kamu paksa menerima leluconmu sambil kamu bisa berlindung di balik kalimat, 'jangan baper!'. Semua orang punya perasaan sebagaimana kamu juga punya perasaan dan tidak ingin disakiti dengan ejekan, kan? Kalau kamu juga tidak ingin diperlakukan demikian, maka tolong jangan perlakukan orang lain seperti itu. Perlakukan orang lain sebagaimana kamu juga ingin diperlakukan seperti itu."
Davi tak berani berkutik dan berusaha mencerna perkataan Naura yang sangat tegas.
"Dan Ilham, saya paham kamu tersinggung dan marah adalah emosi yang wajar pada setiap orang. Saya pun bisa marah, kalian juga, dan semua orang pun bisa. Tapi kamu harus belajar menyalurkan amarahmu dengan bijak, tidak dengan kekerasan yang justru berbahaya untuk dirimu dan orang lain. Kalau kasusnya kamu diejek dan tersinggung, kamu bisa mengomunikasikan dengan baik ketidaknyamanmu pada temanmu yang melakukannya terlebih dahulu agar dia berhenti dan paham batasannya. Kalau temanmu tidak mau, laporkan pada pihak yang bisa membuatnya berhenti, yaitu ketua kelas atau guru. Tidak asal langsung menyerang orang lain."
"Tidak selamanya kamu menjadi anak sekolah, Ilham. Kalau sifatmu setiap kali marah adalah menyerang orang lain, bagaimana kehidupanmu saat berada di tengah masyarakat nanti? Kita ini makhluk sosial, Ilham. Jangan memutuskan ikatan yang sudah kamu bangun susah payah dengan emosi sesaat."
Ilham pun menunduk mencerna nasehat tegas Naura.
"Lebih dari itu, kalian berdua sudah dikalahkan setan sehingga membuat pertemanan kalian hampir bubar karena masalah ini, padahal kalian berteman baik, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Polisi VS Ibu Guru (TAMAT)
Spiritual#Karya 13 📚PART LENGKAP Naura tak akan lupa bagaimana Polisi muda itu menginterogasi dan menahannya tanpa permisi. Setelah tahu kesalahannya, pria berpangkat Inspektur Polisi Satu (Iptu) itu tak meminta maaf padanya yang membuat Naura semakin muak...