"Baik. Pak Ikhsan, saya perlu menyampaikan kepada Anda tentang hasil belajar Ilham dalam tiga bulan pertama di semester ini."
"Bisa dipercepat, Bu? Saya sibuk. Menghadiri acara seperti ini sangat menghabiskan waktu saya."
Naura hampir melongo. Dia bahkan telah mempersiapkan diri agar seramah dan sebaik mungkin pada Ikhsan, tapi pria itu memang sangat konsisten dalam bersikap menyebalkan. "Hah ... sabar ... sabar ... Ya Allah, tolong berikan kesabaran." Dia berusaha menguatkan dirinya agar amarahnya tak tersulut.
"Pak Ikhsan, mari kita luruskan. Begini Pak, walaupun usia saya lebih muda dari Anda, tapi saya ini adalah guru dari adik Anda. Jadi tolong berikan rasa hormat Anda dan jangan pernah meremehkan saya, jika Anda menginginkan hal yang sama dari saya. Kalau Anda terbiasa dihormati oleh anggota Anda di wilayah kantor Anda, di sini berbeda, Pak. Anda datang sebagai wali siswa, bukan sebagai perwira Polri. Semua orang tua dan wali siswa banyak yang usianya lebih senior dari Anda dan bukan pengangguran juga, tapi mereka tahu cara menghargai saya dan menghargai pertemuan ini. Kalau mereka saja bisa, kenapa Anda tidak? Sekali lagi, i'm your brother's teacher," tegas Naura membuat Ikhsan terdiam. Telak. Tak dapat membantah. Kali ini gadis itu memberitahu posisi dan jarak mereka secara pasti, lantaran telah lelah diremehkan oleh Ikhsan. "Saya dan Anda harus mempermudah keadaan ini. Bukan untuk saya, tapi untuk Ilham. Saya mohon, Pak," pinta Naura membuat sedikit es di hati Ikhsan mencair.
"Baik Pak, kembali pada inti pertemuan kita pada hari ini. Ilham ini baik dalam bidang matematika. Dia aktif dalam mengikuti pelajaran tersebut. Dia juga senang berbagi dan menunjukkan kerja sama yang baik dengan teman-temannya. Dia juga mahir dalam perhitungan cepat. Catatan untuknya agar dia bisa mengikuti pelajaran yang lain, karena sering tidak masuk ke kelas selain pelajaran matematika. Dia juga harus lebih disiplin, karena sering tidak mengerjakan tugas, datang terlambat dan memanjat pagar belakang sekolah serta memiliki pengendalian emosi yang belum stabil, karena cepat tersulut amarah.
"Kalau Ilham tetap tidak mau mengikuti pelajaran yang lain selain matematika, saya tidak dapat memastikan apakah dia akan naik kelas pada akhir semester nanti. Mohon bantuan Pak Ikhsan untuk mengingatkannya, karena kami pihak sekolah telah berupaya dan masih berupaya dengan segala kemampuan agar Ilham berubah," jelas Naura.
Deg
Rasanya menghirup napas pun terasa berat bagi Ikhsan. Adiknya benar-benar telah sukses mempermalukannya tapi dia pun lebih khawatir bahwa Ilham tak naik kelas.
Pria itu terdiam beberapa saat dengan pikiran kalut. "Saya dan Ilham sudah lama tidak berbicara. Bagaimana caranya saya dapat berbicara dengannya?"
"Boleh saya tahu kenapa, Pak?"
"Saya memindahkan dia ke sini tanpa persetujuannya, Bu. Dia mungkin masih kesal kepada saya, tapi saya harus melakukannya." Ikhsan melirik jam tangannya. "Saya harus kembali ke kantor sekarang. Ada hal darurat. Boleh saya bertemu Anda besok?"
Naura mengangguk. "Baik, Pak."
Pertemuan itu berakhir dengan komunikasi mereka yang 'sedikit' normal.
***
Naura tampak gelisah menunggu Ikhsan, lantaran sudah jam pulang pun pria itu tak muncul juga sesuai ucapannya kemarin. Ruang guru pun terlihat mulai sepi. Ditinggal oleh penghuninya satu per satu.
"Belum pulang, Bu Naura?" tanya Bu Ratih. Salah satu guru muda yang seangkatan dengannya saat masuk ke sekolah itu.
"Ada wali siswa yang ingin bertemu saya, Bu. Tapi beliau belum datang juga."
"Bu Naura buru-buru?"
Naura mengangguk. "Ya, sebenarnya saya berjanji menemani ayah saya untuk kontrol ke dokter, Bu."
"Begini saja, waktu itu kan Bu Naura membantu saya untuk bertemu Pak Septian, kali ini biar saya saja yang menunggu wali siswa tersebut. Mungkin sedikit lagi beliau sampai. Bu Naura pulang saja."
"Tidak apa-apa, Bu?"
"Tidak apa-apa, Bu. Ini sudah jam pulang dan urusan ibu terlihat sangat darurat. Wali siswa seharusnya datang saat jam kerja kita, kan. Tapi ... karena administrasi saya belum selesai, saya dengan senang hati menunggu beliau."
Pada akhirnya Naura pulang lebih dulu.
Tak lama benar saja, Ikhsan muncul dan berjalan cepat memasuki wilayah sekolah yang sudah sepi itu. Entah kenapa dia khawatir tak dapat bertemu Naura. Urusan daruratnya di kantor benar-benar menyita waktunya, pikirnya.
Begitu sampai di ruang guru, benar saja, tempat Naura sudah kosong.
"Pak Ikhsan, ya?"
Ikhsan menoleh mendengar panggilan dari seorang guru muda dengan rambut sepundak. "Iya, Bu. Saya ingin bertemu Ibu Naura."
"Ibu Naura baru saja pulang, Pak. Beliau mengamanahkan kepada saya untuk bertemu dengan Pak Ikhsan, karena ada urusan yang harus beliau lakukan."
Mendadak hati Ikhsan sedikit kecewa. "Apa saya tidak begitu penting, ya?"
"Mari Pak, silahkan duduk."
"Mohon maaf, Bu, urusan ini memang harus saya konsultasikan dengan Ibu Naura. Mohon sampaikan kepada beliau, saya akan kembali besok. Permisi. Selamat siang."
Pria itu berlalu begitu saja membuat Ratih sedikit heran, tapi memakluminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Polisi VS Ibu Guru (TAMAT)
Spiritual#Karya 13 📚PART LENGKAP Naura tak akan lupa bagaimana Polisi muda itu menginterogasi dan menahannya tanpa permisi. Setelah tahu kesalahannya, pria berpangkat Inspektur Polisi Satu (Iptu) itu tak meminta maaf padanya yang membuat Naura semakin muak...