Ikhsan tengah berjalan dalam sebuah ruangan yang gelap dengan hati-hati sambil memegang pistolnya dengan siaga. Pria itu terus berjalan menuju cahaya di balkon. Tiba-tiba dia terkejut mendapati seorang wanita muda dengan rambut berantakan tengah menggendong bayi laki-laki. Tanpa aba-aba, wanita itu langsung menjatuhkan dirinya bersama dengan bayinya.
"AAAAAA ...."
Bunyi gelas yang dibanting dan pecahan gelas itu terasa jelas di depan matanya.
Sebuah suara-suara sumbang muncul. "Harusnya kamu gak pernah lahir! Harusnya aku gugurin kamu dari dulu! Aku menyesal lahirin kamu!"
"Hah ...." Ikhsan terbangun dari tidurnya dengan peluh memenuhi wajah dan tubuhnya. Napasnya memburu. Dia melihat jam dinding di samping kamarnya dan tersadar, bahwa dua puluh menit lagi akan memasuki waktu subuh.
Perlahan dia turun dari ranjangnya dan menuju toilet. Mencuci wajahnya sebelum menatap pantulan dirinya di cermin dalam diam. Tak lama dia memilih mandi dan bersuci untuk menuju masjid.
Namun, saat melangkah keluar dari kamarnya, dia sempat terpaku menatap pintu kamar di sampingnya. Dia mendekat dan memutar hendel pintu. Saat terbuka, kamar itu gelap. Seperti dugaannya, Ilham tak pulang. Rasa bersalah langsung menjalar di dadanya karena sudah menampar adiknya. Dia mencoba menelepon Ilham, tapi seperti biasa, nomornya diblokir oleh adiknya itu.
Setelah shalat subuh, Ikhsan memilih lari pagi seperti biasa, tapi kali ini lebih jauh tanpa berhenti. Demi menghilangkan segala bayang-bayang mimpi buruk yang terus berkelabat di benaknya ditambah dengan persoalan pekerjaan maupun persoalan pribadinya.
Saat jam makan siang, dia baru saja akan keluar menemui Naura, tapi panggilan di ponselnya menghentikannya. Panggilan dari Gea. Pacar barunya yang berprofesi sebagai dokter dan merupakan anak pemilik salah satu rumah sakit swasta terbesar. Mereka sudah dekat lama, hanya saja sebagai teman biasa. Saat Ikhsan putus, Gea juga belum lama putus. Merasa senasib, mereka memilih menjalin hubungan.
"Sayangku? Hari ini makan siang bareng papa, ya."
Ikhsan melirik jam tangannya. "Saya tidak bisa. Saya harus bertemu wali kelas adik saya."
"Sayang ... papa itu gak punya banyak waktu. Please dong. Kan ketemu wali kelas bisa hari lain. Please." Suara Gea sangat memohon membuat Ikhsan tak bisa menolak.
"Oke. Di mana?"
Alhasil dia tak jadi bertemu Naura, dia lebih memilih bertemu dengan Gea dan ayahnya di sebuah restoran yang berada di dekat rumah sakit tempat Gea bekerja.
Dia tak tahu bahwa Naura menunggunya dan terus menunggunya sampai mendekati jam pulangnya.
"Belum datang, ya, Bu Naura?" tanya Ratih yang sedang mengoreksi tugas siswanya.
"Belum, Bu."
"Tapi kemarin katanya beliau akan datang hari ini, Bu."
Naura terlihat sedikit kecewa sekaligus kesal, karena Ikhsan terkesan tak menganggap penting persoalan adiknya dan mengingkari janjinya serta tak menghargainya. "Sudah mau mendekati jam pulang, Bu. Saya tidak mau ditemui di luar jam kerja. Saya akan pulang kalau jam kerja saya sudah usai."
Ikhsan pun terlihat sedikit gelisah di restoran mengingat janjinya untuk bertemu Naura, ditambah dengan sikap ayah dari Gea yang sejak tadi terkesan sedikit merendahkannya.
"Saya pikir pacar barunya Gea itu dokter lho. Jujur saya lebih senang Gea pacaran sama dokter daripada sama polisi. Sayang sekali ya, kamu polisi." Pria paruh baya itu tak ada nada bersalah dalam kalimatnya. Gea yang menjadi tak enak hati dengan Ikhsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Polisi VS Ibu Guru (TAMAT)
Spiritual#Karya 13 📚PART LENGKAP Naura tak akan lupa bagaimana Polisi muda itu menginterogasi dan menahannya tanpa permisi. Setelah tahu kesalahannya, pria berpangkat Inspektur Polisi Satu (Iptu) itu tak meminta maaf padanya yang membuat Naura semakin muak...