Waktu cepat sekali berlalu dan Ikhsan ditemani Ilham sudah ada di depan ruangan tempat ibunya dirawat.
Sejak perjalanan dari hotel ke rumah sakit, jantung Ikhsan berdebar kencang. Dia sangat gugup akan bertemu lagi dengan ibu kandungnya. Wanita yang sudah lama pergi dari hidupnya.
"Hah ...." Sesaat Ikhsan mengatur napasnya sebelum memutar hendel pintu. "Bismillah," bisiknya.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," sapanya pada seorang pria dan dua orang pria remaja yang tengah berdiri di samping ranjang ibunya.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," balas mereka dengan ekspresi sendu.
Ketiga orang itu langsung menyambutnya dan Ilham dengan bersalaman singkat. Mereka tak pernah bertemu dan berbicara secara langsung, sehingga terasa sangat canggung saat pertama kali berjumpa setelah bertahun-tahun lamanya.
Terlintas di benak Ikhsan yang mengatakan, "Mereka yang merebut ibumu." tapi Ikhsan buru-buru menepisnya dengan beristighfar.
"Apa kabar Ikhsan?" tanya ayah tirinya. Seorang pria paruh baya dengan kaca mata yang bertengger di wajahnya.
"Alhamdulillah baik, Pak. Ini Ilham. Adik saya." Dia turut memperkenalkan Ilham kepada ketiga orang itu.
Ikhsan menoleh ke arah ranjang dan mendapati ibunya tengah terbaring dalam kondisi lemah. Pada wajahnya terdapat masker oksigen.
Wanita itu menatapnya dan Ikhsan pun berbalik menatapnya dalam diam. Tak sadar air mata Ikhsan menetes membanjiri pipinya. Mereka sudah lama tak berjumpa. Kulit wanita itu sudah tak sekencang dulu dan tubuhnya pun sudah sangat kurus.
Perlahan Ikhsan mendekat dan duduk di kursi yang berada di samping ranjang. Wanita itu pun terus menatapnya seolah ingin menyampaikan sesuatu.
Saat berada di dekat ibunya, semua kenangan buruk itu berputar di benak Ikhsan. Lemparan gelas di punggung, bentakan, kata-kata yang menandakan dia tak diinginkan, semua hal yang tak gratis dan membutuhkan pengorbanan untuk diperoleh, dan perceraian yang membuatnya harus menanggung begitu banyak luka dan trauma.
Namun, ada satu kenangan manis yang diingatnya saat usianya 4 tahun. Dia bersyukur masih mengingatnya.
"Bu? Terima kasih saat usia saya 4 tahun, ibu mencium kening saya saat saya tidur. Saya tahu saat ibu mencium saya. Terima kasih, ya, Bu," ucapnya dengan tulus dan seketika semua kenangan yang menyakitkan tersingkirkan begitu saja. Terganti dengan sebuah kenangan kecil dikecup di dahinya saat tidur.
Tis
Air mata ibunya menetes dalam diam.
Saat itu Ikhsan memilih berbesar hati untuk memaafkan ibunya, karena semua itu tidak ada apa-apanya dengan pengorbanan ibunya melahirkannya ke dunia, pikirnya. Meskipun terasa sangat menyesakkan, dia berusaha untuk menerima semua yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan hidupnya.
"Pak Abbas sudah menceritakan semua kondisi ibu di telepon. Ikhsan sedih, karena baru tahu, bahwa sudah lama ibu sakit." Tak lama tangannya terulur menyentuh punggung tangan ibunya. "Bu? Ikhsan minta maaf kalau banyak salah dan selama ini belum menjadi anak yang baik yang membahagiakan ibu. Maafkan Ikhsan juga ya, Bu selama ini tidak pernah mengunjungi ibu. Maafkan Ikhsan, Bu dan mohon lupakan semua yang pernah terjadi. Mulai sekarang, Ikhsan akan selalu mencintai dan mendoakan ibu."
Wanita itu terus memandanginya dalam diam, tapi air matanya masih setia menetes. Tak lama tangannya bergerak pelan dengan sedikit bergetar.
Ikhsan mendekatkan kepalanya dengan sedikit menunduk dan tangan wanita itu berhenti di atas ubun-ubunnya. Mengusapnya dengan lembut seperti obat alami yang menutupi luka yang masih menganga di hati Ikhsan.
Ikhsan sampai tak tahan untuk tak menangis saking sesaknya. Usapan kedua di kepalanya seperti permohonan maaf dari ibunya atas semua yang terjadi dan dia harus menjadi korban dalam keadaan itu.
Tiba-tiba usapan itu berhenti begitu saja bertepatan dengan isakan dua pria remaja di samping ranjang. Ibunya telah wafat.
Ikhsan sangat berduka dan terus menangis bahkan saat pemakaman ibunya. Tapi semuanya terjadi begitu saja, seperti dulu saat ibunya pergi tanpa penjelasan apa pun dan dia harus menerima semua keadaan yang penuh tanda tanya. Dia memang kehilangan, tapi memilih dengan sadar untuk merelakan. Sehingga hatinya tak lagi terluka dan hampa.
Ada yang lain dari dirinya hari itu. Dia merasa sangat lega karena telah meminta maaf dan memaafkan, meskipun itu pada saat-saat terakhir ibunya. Setidaknya dia memiliki kenangan indah tentang ibunya, pikirnya.
Ikhsan hanya mendapatkan cuti selama enam hari, sehingga dia memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Setelah pamit pada keluarga ibunya, tak lupa dia mengunjungi ayahnya dan keluarga besarnya. Tak ada yang berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Ayahnya masih seorang suami yang takut pada istrinya yang melarang berbuat baik kepada anak kandungnya sendiri.
Namun, sebelum pulang Ikhsan tetap meminta maaf pada ayahnya, istri ayahnya, tantenya, dan saudara-saudara ayahnya yang lain akibat konflik terakhir mereka. Dia juga memberikan sebuah amplop berisi uang yang tentu saja ditolak oleh ayahnya.
"Ayah masih punya gaji."
Ikhsan menggeleng. "Simpan saja, Yah. Ini bukan maksud saya merendahkan ayah, tapi saya sering melihat anggota saya mengirim uang bulanan untuk orang tua dan keluarganya saat penerimaan gaji. Saya tidak pernah punya kenangan mengirim uang bulanan untuk ayah dan ibu. Jadi izinkan saya melakukannya."
Ikhsan bisa melihat mata pria paruh baya itu menatapnya dengan berkaca-kaca. Seperti tersimpan penyesalan yang begitu dalam telah menyia-nyiakan seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya.
"Ikhsan? Siapa yang mengajarimu menjadi orang seperti ini?"
Ikhsan tersenyum. "Islam yang mengajari saya menjadi orang baik, Yah. Meskipun saya merasa masih jauh dari kriteria baik yang diinginkan Islam."
Pada akhirnya dia kembali pulang dengan perasaan yang sangat tenang dan lega. Semua lukanya seperti sembuh dalam perjalanan itu.
Dia mulai memahami maksud NX Respati, bahwa memaafkan sejatinya bukan untuk orang lain, tapi lebih untuk dirinya sendiri.
Kini dia bisa menjadi orang yang bebas dan menikmati hidupnya tanpa bayang-bayang luka masa lalunya.
Hanya satu pesannya pada Ilham saat mereka berada di atas pesawat yang akan mengantarkan mereka untuk pulang. Pesan yang sebenarnya ditujukkan untuk dirinya sendiri.
"Ilham? Jadilah pria yang selalu menjaga hubunganmu dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, fokus meningkatkan kualitas dirimu sendiri, menjadi pribadi terpelajar, miliki karir yang bagus untuk memberikan penghidupan yang layak untuk dirimu dan keluargamu, pilihlah wanita yang akan menerima semua kekuranganmu dan menyayangimu dan anak-anakmu. Bertanggungjawablah terhadap mereka dengan sebaik-baiknya. Cintai, sayangi dan didik mereka dengan baik.
"Jadilah suami yang baik terhadap pasanganmu dan ayah yang baik untuk anak-anakmu.
"Insyaallah pada masa depan nanti, jangan lagi ada anak-anak yang harus menanggung luka akibat keegoisan orang tuanya."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Polisi VS Ibu Guru (TAMAT)
Espiritual#Karya 13 📚PART LENGKAP Naura tak akan lupa bagaimana Polisi muda itu menginterogasi dan menahannya tanpa permisi. Setelah tahu kesalahannya, pria berpangkat Inspektur Polisi Satu (Iptu) itu tak meminta maaf padanya yang membuat Naura semakin muak...