Setelah Adji pulang, Ikhsan benar-benar tak berharap akan kedatangan Naura. Dia putus asa menunggu.
Tak lama pintu ruangannya berderit. Dua orang pria berjaket cokelat muncul membuka pintu untuk seseorang.
"Assalamu'alaikum."
Deg
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Ikhsan tersentak menemukan NX Respati di depan ruangannya. Pria itu masuk dan mendekatinya dengan ekspresi serius.
Ikhsan bisa melihat terdapat bekas luka memanjang di pipi kiri pria itu dan mata kirinya pun tak berkedip sama sekali. Berbeda dengan mata kanannya yang tampak normal. Pertama kalinya dia bertemu secara langsung dari jarak yang cukup dekat dengan NX Respati.
"Perkenalkan Pak Ikhsan, saya Respati. Ayahnya Naura." Pria itu menyodorkan tangan lebih dulu membuat Ikhsan menjabatnya dengan cepat.
"Saya Ikhsan, Pak. Wali dari Ilham. Siswanya Ibu Naura." Ikhsan tak menyangka akan bersalaman dengan legenda preman yang menguasai wilayah tempatnya bertugas. Ternyata dia cukup berdebar. NX Respati sangat berwibawa dan karismatik. Siapapun yang bertemu dengannya seperti ingin tunduk padanya.
Ilham yang berdiri di samping kakaknya langsung menyodorkan tangan untuk menyalami Respati.
"Oh, ini pasti Ilham. Siswanya Naura."
Ilham mengangguk sambil tersenyum. "Benar, Pak. Perkenalkan, saya Ilham." Dia tak menyangka, guru secantik Naura akan memiliki ayah dengan aura yang sangat seram. Dia melirik ke belakang dan mendapati terdapat empat orang pria yang mengawal Respati, membuat Ilham bertanya-tanya, apa pekerjaan ayah dari wali kelasnya itu sampai harus dijaga ekstra.
"Pak Ikhsan sudah lebih baik?"
"Alhamdulillah sudah lebih baik, Pak."
"Ada urusan yang mengharuskan Naura terlambat ke sini. Jadi saya ke sini lebih dulu. Oh ya, saya bawakan sesuatu, Pak."
Anggota Respati dengan sigap menyerahkan sejumlah bingkisan kepada Ilham. Sudah seperti parsel lebaran untuk persediaan satu bulan, padahal Ikhsan hanya akan dirawat satu hari.
"Terima kasih, Pak. Jadi merepotkan."
"Sama-sama, Pak Ikhsan. Putri saya bilang, Anda bertugas di Polda dan sangat berdedikasi dengan pekerjaan Anda. Saya turut senang bisa bertemu Anda."
Rasanya Ikhsan ingin terbang ke angkasa mendengar pujian Naura melalui lisan ayahnya itu. Entah kenapa hati Ikhsan menghangat. Dia merasa dihargai setelah kemarin diremehkan oleh Wiryawan seperti sampah. Anggapannya tentang Naura dan NX Respati menjadi sedikit berbeda. "Saya juga sangat senang bertemu dengan Anda, Pak. Suatu kebanggaan untuk saya."
Respati tersenyum tipis dan tak lama dia hendak menepuk pundak Ikhsan untuk memberikan semangat, tapi Naura yang baru tiba secepat kilat mengucapkan salam dari pintu untuk menghentikan gerakan tangan ayahnya.
"Assalamu'alaikum."
Respati, Ikhsan, dan Ilham sedikit terkejut. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."
Alhasil Respati menarik tangannya kembali. Hampir saja, pikir Naura. Dia mendadak khawatir, karena terakhir kali dia menyentuh punggung Ikhsan, pria itu menangis. Dia tak tahu alasannya, tapi dia merasa itu adalah letak kelemahan Ikhsan. Dia khawatir Ikhsan bersedih lagi.
"Maaf ya saya sedikit terlambat. Pak Ikhsan apa kabar?"
Deg
DegIkhsan semakin berdebar, tapi debaran kali ini berbeda. Mendadak sedikit kikuk dan wajahnya memerah bahkan memanas. Sangat tak lucu, karena dia merasa ada yang aneh pada dirinya saat bertemu gadis yang merupakan wali kelas adiknya itu.
"Perasaan apa ini?" batinnya bertanya-tanya.
"Alhamdulillah s-saya baik, Bu. Terima kasih atas bantuan Bu Naura kemarin."
"Sama-sama, Pak. Saya dan keluarga doakan, Pak Ikhsan segera pulih."
"Aamiin Ya Rabb. Terima kasih, Bu."
Anehnya Respati datang dengan judul menjenguk, tapi berakhir nongkrong. Pria yang sangat suka mengurusi bisnisnya itu, malah memilih menghabiskan waktu untuk bercerita dengan Ikhsan. Tak sampai satu jam, Naura yang tengah duduk di sofa sambil mengetik sesuatu itu dibuat terheran-heran dengan pemandangan Respati dan Ikhsan yang bercerita sambil tertawa bersama. Ikhsan terlihat sangat terhibur. Sudah seperti teman lama.
"Sejak kapan mereka saling kenal?" Naura pun heran. Bahkan ayahnya itu terlihat mengeluarkan sejumlah lawakan yang membuat Ikhsan yang super serius itu benar-benar tertawa. Naura cengo dibuatnya.
Dia tahu bahwa segarang apa pun Respati, ayahnya memiliki selera humor yang sangat receh seperti ayah pada umumnya, dan kerap membuatnya tertawa saat hanya berdua. Tapi sisi humornya itu hampir tidak pernah ditunjukkan kepada siapa saja. Jika dia memilih menunjukkannya pada Ikhsan, maka Respati menganggap Ikhsan dekat dengannya.
Tiba-tiba Respati menoleh ke arah putrinya. "Naura? Jangan lupa ingatkan Ikhsan dan Ilham untuk hadir di acara makan malam kita pekan depan."
Naura sedikit terkejut. Acara itu hanya untuk orang-orang terdekat mereka, dan sejak kapan ayahnya memanggil Ikhsan tanpa embel-embel, 'Pak'?
"Pak Ikhsan tidak keberatan?" tanyanya pada Ikhsan yang seperti kikuk saat meliriknya.
"Ekhem ... tidak, Bu. Saya bisa hadir."
"Ilham juga bisa?"
Ilham mengangguk mantap. "Bisa, Bu."
"Insyaallah nanti saya ingatkan, Pak Ikhsan dan Ilham."
Saat memasuki waktu shalat, Respati dan pengikutnya bahkan shalat bersama dengan Ikhsan.
"Jangan sungkan untuk main ke rumah, ya," pesan Respati sebelum berlalu dan menunggu putrinya di ujung pintu.
Naura merasa sedikit aneh dan memilih menemui Ikhsan sebelum mengekori ayahnya.
"Maaf ya Pak Ikhsan, ayah saya memang sangat suka menjalin hubungan baik dengan orang lain. Mohon jangan dijadikan beban kalau beliau mengajak Pak Ikhsan datang ke acaranya beliau. Beliau hanya ingin dekat dengan Pak Ikhsan, tapi kalau Pak Ikhsan keberatan, tidak apa-apa untuk menolak ajakan beliau dengan baik."
Ikhsan menahan senyum. "Tidak apa-apa, Bu Naura. Saya merasa akan sangat senang dekat dengan beliau. Bu Naura beruntung sekali memiliki ayah seperti Pak Respati. Saya dulu pernah salah menilai sosok preman. Saya ... minta maaf."
"Tidak apa-apa, Pak. Saya pergi dulu ya, Pak. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."
Sebelum Naura sukses mencapai pintu, langkahnya terhenti mendengar panggilan Ikhsan.
"Bu Naura?"
Dia menoleh. "Iya, Pak?"
"Boleh saya bertemu Bu Naura hari senin nanti?"
Naura menggangguk. "Silahkan, Pak. Tapi saya benar-benar minta maaf, saya tidak bisa saat jam kerja usai, Pak, karena ruang guru sudah sepi. Sedangkan saya dan Pak Ikhsan bukan mahrom. Saya menjaga nama baik Pak Ikhsan. Khawatir menimbulkan asumsi yang tidak seharusnya."
Ikhsan merasa jaraknya menjadi sangat jauh dengan Naura. Sangat jauh tepat saat dia mendengarkan kata, 'mahrom'.
"Baik Bu. Saya akan datang saat jam kerja Ibu Naura." Entah kenapa hatinya sedikit kecewa.
Tak lupa Naura pun menanyakan alasan ayahnya ingin dekat dengan Ikhsan. Sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh seorang NX Respati.
"Kenapa ayah cepat sekali dekat dengan Pak Ikhsan?"
NX Respati tersenyum. "Ayah seperti sedang berbicara dengan diri ayah saat masih muda."
"Maksud ayah?" Naura tak mengerti.
"Melihat mata Ikhsan mengingatkan ayah pada diri ayah sendiri saat muda. Ikhsan seperti ayah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Polisi VS Ibu Guru (TAMAT)
Espiritual#Karya 13 📚PART LENGKAP Naura tak akan lupa bagaimana Polisi muda itu menginterogasi dan menahannya tanpa permisi. Setelah tahu kesalahannya, pria berpangkat Inspektur Polisi Satu (Iptu) itu tak meminta maaf padanya yang membuat Naura semakin muak...