"Ada satu siswa yang tadi tidak mau pulang ke rumahnya. Dia minta mampir sebentar ke sini, Nona," lapor Firman pada Naura yang baru saja pulang dari sekolah.
"Siapa Om?"
"Yang namanya Ilham, Nona. Tadi diajak makan siang, tapi dia menolak terus."
Naura langsung menuju kolam samping dan mendapati Ilham masih duduk di pinggir kolam seorang diri. Sejujurnya pria itu masih malas pulang ke rumahnya lantaran khawatir tak sengaja bertemu Ikhsan dengan segala ocehan menyebalkannya.
"Assalamu'alaikum."
Ilham menoleh dengan sedikit terkejut. "Wa'alaikumussalam, Bu."
"Ilham? Kamu masih di sini?"
"I-iya Bu." Dia melihat Naura yang tersenyum tipis di balik wajah kelelahannya.
"Masuklah. Kita makan siang."
Mereka menuju meja makan dan beberapa asisten di rumah Naura langsung sigap menyiapkan beberapa hidangan.
"Terima kasih, Bi. Bibi dan yang lainnya semua sudah makan?"
"Sudah Nona. Tinggal Nona dan siswanya yang belum makan," jawab Desi. Kepala ART di rumahnya.
"Kamu suka makan apa?" tanya Naura tiba-tiba membuat Ilham sedikit salah tingkah.
"Banyak, Bu."
"Oh ya, saya juga suka banyak makanan. Susah memilihnya." Naura tertawa kecil membuat Ilham terpana pada wajah cantiknya. "Ayo makan, Ilham."
Ilham tak ada tanda-tanda menyentuh piringnya dan kembali menunduk dalam membuat Naura heran.
"Ada apa?"
"Hari ini Ibu sangat kerepotan mengurus saya. Apa setelah ini saya harus berjanji tidak akan mengulangi perbuatan saya lagi? Kalau iya, saya tidak bisa berjanji, Bu."
Sepersekian detik Naura terdiam sebelum menggeleng pelan. "Saya berbuat baik kepada kamu karena memang sudah seharusnya saya melakukannya. Perkara kamu mau berubah atau tidak, itu urusanmu, Ilham. Setiap orang berproses. Saya merasa tidak bisa menuntut kamu. Mengingatkan kamu harus saya lakukan karena memang tugas saya sebagai seorang muslim kepada saudara muslim yang lain dan tugas saya sebagai gurumu, membimbing kamu perlu, mendoakan kamu itu harus, tapi untuk berubah, itu kuasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala dan harus ada kemauan dari dirimu sendiri. Bukan karena dipaksa. Tidak ada syarat apa pun dari apa yang saya lakukan untuk kamu. Jadi ... makanlah."
Agak lama Ilham terdiam sebelum mendongkakan kepala dan mengangguk. Dia mulai makan siang bersama Naura.
Sekilas dia melihat ke sekitar, rumah besar itu sangat banyak penghuni yang lalu lalang. "Banyak sekali orang di rumahnya, Ibu. Mereka bekerja untuk keluarganya Ibu?"
Naura tersenyum. "Saya anggap mereka sebagai keluarga. Kami keluarga besar. Mereka banyak membantu saya dari kecil, dan kebanyakan dari mereka juga sudah ikut dengan ayah saya dari sebelum saya lahir."
"Ibu punya banyak saudara?" Ilham penasaran.
"Saya anak tunggal, tapi ayah saya mengasuh banyak orang. Jadinya saya tidak terlalu kesepian. Terkadang saya ingin memiliki saudara kandung yang bisa menjadi sahabat dalam banyak kondisi, saling membantu dan melindungi, dan lainnya. Tapi ... kehadiran anak-anak asuh ayah saya sudah cukup membuat saya bahagia. Saya sangat bersyukur."
Entah kenapa Ilham iri pada Naura. Tapi kalau dulu dia hanya anak tunggal dan tanpa memiliki Ikhsan sebagai saudaranya, pasti akan sangat sulit melalui beberapa perjalanan dalam hidupnya. Mendadak dia teringat Ikhsan.
"Kenapa ibu ingin menjadi guru? Apa tidak capek bertemu dengan siswa semacam saya?"
Naura malah tertawa kecil. "Justru karena saya ingin bertemu dengan siswa semacam kamu, makanya saya ingin jadi guru."
Ilham mengerutkan dahi dengan kebingungan. "Maksud Ibu?"
Tiba-tiba Naura terkenang masa SMAnya. Masa yang menbuatnya memilih profesi guru sebagai cita-cita. "Sebenarnya saya tidak ingin menjadi guru. Katanya jadi guru itu walaupun dihormati masyarakat, tapi gajinya tidak sefantastis itu. Banyak orang yang menyayangkan keputusan saya menjadi guru. Mereka lebih ingin saya melanjutkan apa yang sudah ayah saya mulai. Hanya saja saat SMA, saya pernah menjadi ketua kelas selama dua tahun dari sebuah kelas yang dikatakan sebagai kelas yang dihuni oleh siswa-siswa yang dicap nakal.
"Awalnya ... saya sangat sedih, karena target saya adalah berada di kelas unggulan. Tapi ternyata, saya harus ada di kelas yang bukan unggulan. Mau tidak mau, saya harus mengenal teman-teman saya yang dicap nakal itu, selain karena kami sekelas dan juga saya adalah ketua kelas. Saya belajar banyak dari mereka. Ternyata tidak semua teman-teman saya berasal dari ekonomi menengah ke atas, berasal dari keluarga yang harmonis ataupun utuh dengan didikan baik. Tidak semua teman-teman saya dalam keadaan baik-baik saja. Dari sana saya mengerti.
"Tapi ... saya temukan, mereka itu istimewa dengan caranya masing-masing, hebat di bidangnya masing-masing, setia dalam pertemanan, tahu cara memperlakukan orang lain, dan lainnya. Tidak semua orang bisa melihat itu," lanjutnya.
"Karena itu Ibu menyukai mereka?"
"Belum." Naura menggeleng. "Pada suatu hari, saya dikirim sekolah untuk kompetisi pidato. Saya tidak menyangka mereka bolos untuk mendukung saya di acara tersebut. Dulu guru-guru saya sangat sibuk dan tidak bisa mengantar saya untuk kompetisi, dan kehadiran teman-teman saya membuat saya merasa berharga dan bersemangat. Walaupun saya tidak mendukung tindakan bolos mereka, tapi saya sangat menghargai cara mereka mendukung saya.
"Sejak saat itu, saya merasa bisa memahami orang lain dan saya putuskan bercita-cita ingin menjadi guru. Saya ingin bertemu dengan siswa-siswa yang dicap nakal dan membimbing mereka ke arah yang lebih baik. Aneh ya? Memang tidak mudah, tapi kalau sebagai guru kita sadar, bahwa sekolah bukan hanya untuk mendidik siswa yang 'baik-baik saja', maka Insyaallah kita akan lebih lapang. Kalau saya hanya ingin mendidik siswa yang baik, lantas siswa yang belum baik harus dididik di mana?
"Saya pikir, bahwa saya hanya bisa meniatkan proses mendidik saya dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, mendoakan semua siswa saya, dan hanya bisa membimbing semampu saya. Perkara seseorang ingin berubah atau tidak, itu tidak dalam kuasa saya, tapi kuasa Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena bisa jadi ... siswa yang dicap nakal hari ini adalah siswa yang sama yang menarik tangan saya kelak dari siksaan neraka. Saya berlindung dari siksa neraka."
"Untuk ada di dunia pendidikan, ternyata harus punya motivasi yang tak biasa ya Bu ...." Ilham kini sadar, kenapa setegas apa pun wali kelasnya itu, dia tak pernah melihat Naura marah yang berteriak, membentak, mempermalukan, mencap nakal, dan lainnya.
"Untuk ada di dunia pendidikan itu, harus benar-benar ada keinginan dari hati, Ilham. Karena kami berurusan langsung dengan manusia, bukan barang atau alat. Untuk bisa memahami manusia dengan segala jenis karakternya, membutuhkan hati. Tidak hanya kecerdasan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Polisi VS Ibu Guru (TAMAT)
Spirituale#Karya 13 📚PART LENGKAP Naura tak akan lupa bagaimana Polisi muda itu menginterogasi dan menahannya tanpa permisi. Setelah tahu kesalahannya, pria berpangkat Inspektur Polisi Satu (Iptu) itu tak meminta maaf padanya yang membuat Naura semakin muak...