Ikhsan membuka matanya perlahan mendapati langit-langit putih di atasnya. Dia melihat punggung tangannya terdapat jarum infus yang terpasang di sana.
Begitu melihat ke samping kanan, dia sedikit terkejut mendapati adiknya tengah tertidur lelap di sofa sambil memeluk jaketnya erat-erat untuk menghalau dingin. Agak lama dia menatap adiknya sebelum ingatan terakhirnya berputar pada tamparannya pada Ilham. Lagi-lagi dia merasa sangat menyesal.
"Ilham?" panggilnya dengan pelan.
"Ilham?" Pria itu tetap terlelap.
Terpaksa Ikhsan turun dari ranjang sambil memegang tiang infus, dia mendekati adiknya itu.
"Ilham?" Tangannya menepuk pelan pundak adiknya.
Perlahan Ilham sadar sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Mendapati kakaknya tengah berdiri di hadapannya dengan ekspresi datar seperti biasa.
"Jam berapa kamu ke sini?"
Belum dijawab, Ikhsan terkejut pinggangnya sudah dipeluk duluan oleh adiknya itu.
Prak
"Hiks ...." Suara isakan yang cukup pelan sedikit memecah keheningan ruangan itu.
Ikhsan hanya menepuk-nepuk punggung adiknya. "Kenapa kamu?"
Bukannya menjawab, adiknya malah semakin terisak-isak membuat Ikhsan sendiri heran. Terakhir Ilham menangis seperti itu saat oma mereka berpulang.
"Saya hanya pingsan bukan wafat." Perkataan Ikhsan membuat Ilham terisak-isak lebih heboh.
Ikhsan sedikit kasihan, tapi miris juga dia bisa ditangisi seperti itu. Ilham yang keras kepala berubah hanya dalam waktu singkat. Apa harus dia sekarat dulu baru adiknya berubah? Mengingatnya dia tersenyum kecut.
"Ibu Naura ... sudah menceritakan ... semuanya. Maafin ... aku ... kak ... maaf ...."
Seketika Ikhsan langsung teringat Naura. Dia ingat terakhir kali dia bertemu Naura dan gadis itu menyentuh punggungnya.
"Iya. Saya juga minta maaf, ya. Saya sudah bersikap buruk. Semoga kamu mau memaafkan saya." Tangannya tetap menepuk pelan punggung adiknya seolah menenangkan "Sudahlah. Hapus air matamu. Saya lapar." Sesi penuh air mata itu berakhir dengan perut Ikhsan yang tak dapat diajak kompromi.
"Kakak ingin makan jam begini?" Ilham heran, karena Ikhsan sangat menjaga pola makannya.
"Ya, mau bagaimana lagi, Ham. Saya lapar."
Sehabis menyemprot Wiryawan memang membuatnya puas dan sangat lega, tapi sayangnya dia pergi sebelum sempat memakan sesuatu.
"Carikan makanan buat saya."
"Tunggu sebentar, Kak." Ilham menghapus air matanya dengan cepat sebelum bersikap siaga keluar dari ruang rawat untuk mencari makanan. Ikhsan yang dibuat sedikit terharu. Pada saat seperti itu, keberadaan seseorang yang selalu ada sungguh berarti, pikirnya. Tidak ada sahabatnya, tidak ada teman, tidak ada orang tua, tidak ada orang lain. Hanya ada adik laki-lakinya. Dia bersyukur, setidaknya dia masih memiliki Ilham.
Tak lama adiknya sudah kembali dengan dua bungkus nasi goreng. Mereka makan bersama di sofa, tapi Ilham sampai heran melihat kakaknya yang makan dengan lahap seperti sudah tidak makan tiga hari.
Ilham tersenyum tipis. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak makan bersama.
"Ibu Naura bilang kakak sesak napas. Apa kakak punya sakit tertentu?"
Ikhsan menggeleng sambil tetap sibuk dengan aktivitasnya. "Saya ini polisi. Polisi harus sehat. Kalau polisi sakit, siapa yang menjaga masyarakat?"
"Polisi kan juga manusia."
"Hm." Ikhsan tetap sibuk makan.
"Ibu Naura yang antar kakak ke sini. Beliau lama di sini menjaga kakak. Baru pulang sekitar dua jam yang lalu."
"Hm ...." Ikhsan berusaha terlihat tak tertarik dengan nama Naura, padahal hatinya sedang menghangat. Entah kenapa.
"Ini jus--" Ilham baru menyodorkan sebuah botol berukuran sedang, kakaknya sudah meraihnya dan menghabiskannya dalam tiga kali tegukan membuatnya melongo.
"Itu jus dari Ibu Naura."
"Bagaimana dia tahu saya suka jus mangga?"
"Beliau juga suka jus mangga."
"Oh ...."
***
Masih pagi buta tapi Ikhsan sudah sangat bersih dan rapi. Memang kebiasaannya sangat bersih dan rapi, tapi kali ini dia pun sedang menunggu seseorang dengan gelisah. Tidak lain dan tidak bukan adalah ... Naura. Dia pun heran dengan dirinya, kenapa dia sangat berharap dijenguk Naura, padahal dia sudah boleh pulang hari itu.
Sejak tadi dia membaca buku sambil melirik pintu ruangannya, tapi tak kunjung berderit. Sekalinya berderit, jantungnya berdegup kencang.
Deg
DegAdji muncul dengan senyum semringah.
Ekspresi Ikhsan langsung berubah datar. Sangat datar. "Kenapa kamu ke sini?" Dia seperti tak terima.
"Lah, memangnya tidak boleh?"
Ilham yang melongo mendapati dua sahabat yang terkadang seperti musuh itu.
"Boleh saja. Saya bahagia kamu datang. Sangat bahagia." Ketus level 30.
Anehnya Adji tak menangkap ekspresi bahagia sedikitpun di wajah Ikhsan.
"Kamu perlu pemeriksaan lebih lanjut, San. Kamu sesak napas. Ini berbahaya karena selama ini kamu aktif lari."
"Iya nanti saya cek. Sebaiknya kamu pulang."
Adji terkejut sekaligus ingin murka. "Saya baru datang, San."
"Iya, saya terharu sekali kamu di sini." Ketus level 30.
Anehnya Adji tak menangkap ekspresi terharu sedikitpun di wajah Ikhsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Polisi VS Ibu Guru (TAMAT)
Spiritual#Karya 13 📚PART LENGKAP Naura tak akan lupa bagaimana Polisi muda itu menginterogasi dan menahannya tanpa permisi. Setelah tahu kesalahannya, pria berpangkat Inspektur Polisi Satu (Iptu) itu tak meminta maaf padanya yang membuat Naura semakin muak...