Sudah dua jam pria paruh baya itu masih berdiri di depan pintu rumahnya sambil menatap ke depan dengan ekspresi dingin. Meskipun begitu, raut kekhawatiran dan amarahnya tak dapat disembunyikan. Beberapa anak buahnya pun terlihat menunduk dalam menahan takut. Tak biasanya pria yang dipanggil Abah oleh anak buahnya itu terlihat demikian.
"Naura selalu pulang tepat jam delapan malam. Ini sudah terlalu malam. Kalau sampai pencariannya Daris gak membuahkan hasil, suruh semua anggota kita di perbatasan kota untuk menyisir seluruh wilayah ini!"
"Baik Abah," sahut Firman. Orang kepercayaan pria itu.
Naura yang berada di kantor polisi pun sudah sangat jenuh menghabiskan dua jamnya bersama pria paruh baya di seberang meja yang sejak tadi terus menanyakan beberapa pertanyaan yang sama. Sudah dijawab pun, pria itu tampak tak puas dan kembali menanyakan dengan pertanyaan lain yang sejenis dengan pertanyaan sebelumnya. Terkadang juga pertanyaan basa-basi yang Naura tahu, itu adalah sumber informasi.
Dia pun sudah sangat kelelahan dan mengantuk. Ditambah suasana ruangan interogasi yang sempit yang terdapat satu meja panjang, dan dua kursi membuat perasaan hatinya semakin memburuk.
"Saya benar-benar tidak mengenal beliau, Pak. Saya sudah menceritakan semua yang terjadi. Bapak bisa cek CCTV di lampu merah. Beliau naik sendiri ke motor saya."
"Kenapa kamu tetap lari padahal dikejar?" Pria itu menatapnya penuh selidik karena berpikir, tersangka tidak mungkin naik ke motor Naura begitu saja diantara banyak kendaraan lain disana kecuali karena dia memang mengenal Naura.
"Saya tidak tahu, Pak. Saya juga kaget tapi itu bisa menimpa siapa saja secara acak, kan?"
"Tadi kamu bilang, kamu pulang dari menyelesaikan pekerjaanmu di sekolah, sedangkan hari sabtu di sekolahmu itu libur. Bisa dijelaskan kenapa kamu bekerja di hari sabtu?" Sangat kebetulan Naura bekerja di hari libur dan tiba-tiba bertemu tersangka, pikirnya.
"Laptop saya ketinggalan di sekolah, Pak. Saya bosan harus pulang lagi dan memutuskan mengerjakan beberapa administrasi guru dan mengecek hasil tugas dan ulangan siswa saya. Saya serius. Saya seorang guru."
"Apa menjadi guru sesibuk itu?"
"Ya Allah ...." Naura putus asa. Pria itu benar-benar tidak tahu bahwa pekerjaan administrasi guru lebih banyak daripada sekadar berbicara di depan kelas. Belum lagi semua yang terjadi dalam pembelajaran, harus serba dipersiapkan dan direncanakan guru secara tertulis. Tak lupa permasalahan siswa lengkap dengan orang tuanya serta tuntutan masyarakat yang menginginkan guru harus selalu menjadi teladan. Dia merasa percuma menjelaskan tentang profesinya pada orang yang terlihat tak memiliki empati.
"Semua orang juga bisa mengaku berprofesi sebagai guru. Makanya saya minta, mana kartu identitas yang menunjukkan keanggotaanmu sebagai guru atau bisa juga kartu identitas yang menunjukkan kamu tergabung dalam organisasi PGRI?" Pria itu curiga, kalaupun Naura guru sungguhan, masih ada kemungkinan dia terlibat dalam bisnis kotor dengan menyebarkannya di lingkungan sekolah.
Lagi-lagi Naura semakin ingin pingsan dan berharap peristiwa itu hanya mimpi.
"Kalau begitu saya izin mengambil dompet saya. Semua identitas saya ada di dompet saya." Hal fatal yang dilakukannya adalah lupa membawa dompet yang berisi identitasnya.
"Kamu guru dan lupa membawa identitas?"
"Saya harus menghubungi keluarga saya untuk mengabari keberadaan saya dan membawa kartu identitas saya."
"Saya belum bisa memberikan kamu kesempatan itu," tegas pria itu.
Percuma, pikir Naura. Dia tak akan dibebaskan semudah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Polisi VS Ibu Guru (TAMAT)
Духовные#Karya 13 📚PART LENGKAP Naura tak akan lupa bagaimana Polisi muda itu menginterogasi dan menahannya tanpa permisi. Setelah tahu kesalahannya, pria berpangkat Inspektur Polisi Satu (Iptu) itu tak meminta maaf padanya yang membuat Naura semakin muak...