Kenapa Asri?

3.6K 325 8
                                    

Naura bangun pada sepertiga malam untuk melakukan shalat malam. Tak lupa berdoa menyampaikan banyak permintaannya termasuk mendoakan siswa-siswanya.

Ini nasehat yang selalu dipegang dari dosennya semasa kuliah S1. "Doakan siswa-siswamu. Mau kamu pintar seperti apa pun, yang bisa melindungi, menjaga, dan menggerakkan hati siswamu itu Allah Subhanahu wa Ta'ala."

Seperti biasa dia akan datang lebih awal ke sekolah untuk mempelajari beberapa hal sebelum ikut dalam apel pagi.

Beberapa siswa berhenti saat melihat Naura hendak melintas. "Assalamu'alaikum, Bu," sapa mereka dengan sopan.

Naura tersenyum. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Nak."

Baru sampai di pintu ruang guru, dia sedikit terkejut mendapati Asri sudah duduk di kursi yang berada di seberang mejanya.

"Selamat pagi, Asri."

Gadis yang sejak tadi menunduk itu sedikit kaget. "Selamat pagi, Bu."

Naura tersenyum. "Apa kabar?"

"Alhamdulillah baik, Bu." Asri tampak sedikit kikuk.

"Ada apa, Asri? Ada yang mau disampaikan?" tanya Naura dengan suara lembut. Dia yakin ada sesuatu yang sangat penting bagi Asri sampai harus menemuinya lebih awal.

Asri sedikit memajukan tubuhnya agar mendekat ke arah Naura. Seolah tak ingin pembicaraan mereka didengar oleh beberapa guru yang baru tiba. "Bu? Ada hal yang ingin saya ceritakan ke Ibu, tapi jangan beritahu Pak Dito, ya, Bu."

"Insyaallah, Asri. Ada apa?"

Asri mengatur napas sebentar agar lebih tenang. "Sudah beberapa bulan ini ... saya suka dengan Pak Dito, Bu."

Naura terkejut tapi berusaha tenang dan tak menghakimi lebih dulu. "Pak Dito ... waka kesiswaan?"

Asri mengangguk.

"Kenapa Asri suka dengan Pak Dito?" Tentu Naura heran, karena Pak Dito yang merupakan rekan kerjanya itu sudah memiliki istri yang merupakan seorang dosen senior di sebuah Perguruan Tinggi Negeri, memiliki tiga anak, dan usianya sudah pertengahan 50. Dia lebih cocok sebagai ayah dari Asri.

"Pak Dito baik, Bu. Sering kasih saya cokelat, bunga, dan beberapa hadiah, Bu. Pak Dito juga perhatian dengan saya. Sering meluk saya juga. Sering usap kepala saya. Pak Dito bilang, Pak Dito sayang sama saya." Asri menunduk malu dengan pipi merona. Benar-benar persis gadis yang sedang jatuh cinta. Berbeda dengan Naura yang mendadak menarik napas berat.
Ada yang tak beres, pikir Naura.

Dia bisa memahami alasan kenapa Asri sangat terbawa perasaan dengan perhatian Pak Dito untuknya. Gadis remaja itu tumbuh tanpa sosok ayah, karena ayahnya meninggalkannya bersama ibunya saat masih kecil.

Berdasarkan pengamatan Naura kepada beberapa siswinya yang tumbuh tanpa sosok ayah, mereka akan lebih mudah terbawa perasaan terhadap perhatian kecil dari lawan jenisnya, bahkan mencari perhatian dari lawan jenis. Ada juga yang selalu membutuhkan lawan jenis dalam hidupnya, bahkan menyukai pria yang lebih dewasa kepribadiannya atau usianya karena dianggap bersifat 'ngemong'. Sebenarnya itu adalah kerinduan mereka terhadap figur seorang ayah yang tidak mereka dapatkan. Tapi tidak semuanya demikian, sangat tergantung pada beberapa faktor.

"Pak Dito bilang, Pak Dito sayang sama kamu?"

Asri mengangguk. "Sudah dua kali Pak Dito suruh saya ke rumahnya, Bu."

Naura berusaha tetap tenang. Ini sudah agak lain, pikirnya.

"Boleh Ibu tahu, apa yang kalian lakukan di sana?"

Asri menunduk malu. "Pak Dito cium saya, Bu. Terus menyentuh beberapa bagian tubuh saya. Saya agak tidak nyaman, tapi Pak Dito memaksa saya. Dan, nanti sore sepulang sekolah saya harus bantu Pak Dito." 

Sontak amarah Naura langsung tersulut. Dia berusaha mengepal tangannya kuat-kuat untuk menahan diri demi kenyamanan siswanya dalam menceritakan semuanya tanpa dihakimi. "Kalau boleh ibu tahu, bantu apa Asri?

"Pak Dito bilang punya penyakit penumpukan sel darah putih, Bu. Harus dikeluarkan melalui kemaluan. Kalau tidak, nanti beliau sakit. Beliau bilang hanya saya yang bisa bantu beliau. Bantunya di kamar beliau, Bu. Nanti beliau ajarkan saya cara membantunya." Karena Naura tak menghakiminya, Asri merasa nyaman dan terbuka menceritakan semuanya. "Apa benar Bu, penumpukan sel darah putih harus dikeluarkan melalui kemaluan? Bagaimana caranya, Bu? Saya bertanya kepada Ibu Naura, karena ibu mengajar biologi. Sebenarnya ... saya juga tidak nyaman dengan perilaku Pak Dito kepada saya, hanya saja Pak Dito sangat memaksa terutama saat menyentuh beberapa bagian tubuh saya. Beliau juga sering memaksa saya mengirim foto tanpa busana. Saya malu, Bu. Sebagai gantinya, beliau mengirim video beliau tanpa busana."

"Hah ...." Naura sampai kesulitan bernapas dengan normal. Dia sangat tahu cara Pak Dito memanfaatkan ketidaktahuan siswanya. Sudah jelas, Pak Dito ingin berhubungan intim dengan Asri, tapi membuat Asri seakan-akan telah menjadi pahlawan yang membantunya.

Rasanya dia benar-benar ingin menonjok wajah Pak Dito jika tak sadar dirinya adalah guru yang terikat kode etik profesi. 

"Asri ... sebenarnya maksud Pak Dito bukan mengeluarkan penumpukan sel darah putih, tapi ...." Naura menjelaskan semuanya secara detail dengan penjelasan yang baik dan mudah diterima sampai tak sadar siswanya itu menangis tersedu-sedu. Dia tak menyangka, bahwa Asri benar-benar tak tahu. Alhasil dengan persetujuan Asri, mereka menghadap Ibu Sassy untuk melaporkan tindakan waka kesiswaan itu dengan beberapa bukti yang dimiliki oleh Asri di ponselnya. Bukti-bukti chat, foto, dan video yang sangat vulgar.

Sontak wajah Ibu Sassy langsung memerah menahan amarah.

PUM

Dia memukul keras mejanya. Hari itu juga, dia mendampingi Asri membuat laporan kepolisian.

Suami Ibu Sassy ternyata adalah seorang polisi dan Ibu Sassy sendiri aktif dalam yayasan yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak. Pak Dito sangat beruntung, karena dimudahkan dengan mulus menuju kantor polisi.

Satu sekolah gempar menyaksikan mobil polisi di depan sekolah dan melihat Pak Dito yang digiring secara paksa oleh polisi dari ruangannya. Sementara Naura sendiri sedang memeluk Asri di ruang UKS yang tengah menangis tersedu-sedu.

"Saya ... sudah ... dilecehkan, Bu ... saya malu pada guru dan teman-teman."

"Identitasmu akan berusaha kami sembunyikan, Asri. Jadi kamu tidak perlu malu. Dan, kamu memang tidak seharusnya malu, karena kamu korban dalam hal ini." Naura pun akan bekerja sama dengan yayasan Ibu Sassy untuk memberikan pendampingan psikolog kepada Asri guna pemulihan trauma.

Satu pelajaran yang diambil oleh Asri selain pentingnya pendidikan seks adalah pentingnya berhati-hati saat jatuh cinta.

***

Adji memberitahu Ikhsan kejadian di SMAN 1, dan Ikhsan pun ikut ke sana sekalian bertemu Naura. Tak sengaja mereka bertemu di ruang piket guru.

"Pendidikan seks benar-benar harus diberikan kepada siswa Anda. Oknum guru seperti itu sangat menyebalkan. Dia membuat siswa sangat trauma, padahal guru adalah sosok yang dihormati dan ditiru." Ikhsan tak habis pikir. 

Naura memijit dahinya dengan wajah lelah. "Pendidikan seks sebenarnya diajarkan pada setiap fase perkembangan anak, Pak. Tentu kontennya berbeda-beda sesuai usia anak tersebut. Hanya saja di Indonesia masih sangat tabu. Belum lagi pelajaran biologi pada materi sistem reproduksi yang belum menyeluruh, dan orang tua yang tertutup dengan hal tersebut. Saya sangat menyesalkan hal ini terjadi.

"Syukurlah, kami memutuskan akan bekerja sama dengan suatu lembaga milik pemerintah untuk memberikan sosialisasi pendidikan seksual kepada semua siswa."

"Ya ... itu lebih baik." Ikhsan mengangguk. "Beruntung pelaku bukan melakukannya kepada Anda. Kalau kepada Anda, saya benar-benar akan membunuhnya." Dia geram sendiri.

"Bicara yang baik, Pak," interupsi Naura.

Tuan Polisi VS Ibu Guru (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang