[03] Pria itu bernama Maxime

689 56 3
                                    

>> Happy Reading <<

Sembari bercanda tawa seperti tengah membicarakan sesuatu hal yang lucu, Gitta dan Bara tiba di bahu jalan tepat di depan kediaman Gitta. Gitta turun dari motor Scoopy milik Bara kemudian berusaha membuka helm yang dikenakannya.

"Bisa nggak?" tanya Bara penuh perhatian ketika melihat Gitta kesulitan melepaskan helm-nya.

"Kok susah ya."

"Sini-sini, gue bantuin. Helm-nya emang kadang macet."

Gitta mendekati Bara, mencondongkan tubuhnya pada Bara, membuang pandangannya ke sisi kiri. Gitta pikir Bara segera melepaskan helm-nya tapi nyatanya Bara hanya diam memperhatikan wajahnya dengan jarak mereka yang sangat dekat.

"Bar, udah?"

Tak ada jawaban.

"Bara?"

Bara terkesiap. Ah sial! Kenapa juga ia malah diam?

Tak butuh lama, Bara berhasil melepaskan helm itu.

"Makasih ya udah nganterin gue." Gitta tersenyum hangat.

"Mau mampir? Bibi Inggrid kayaknya udah di rumah," tawar Gitta seraya melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul delapan lewat seperempat.

"Kapan-kapan deh. Abis ini gue ada urusan," tolak Bara secara halus. Ia tahu Inggrid tak pernah menyukainya dan Bara tahu alasan dibalik kenapa Inggrid bersikap demikian padanya. Satu-satunya hinaan Inggrid yang akan selalu Bara ingat adalah karena ia tidak sepadan berteman dengan Gitta. Tapi Gitta nya saja yang ngeyel tetap berteman dengan Bara dan Caca tanpa Inggrid ketahui.

Tak jauh dari sana, tanpa Bara dan Gitta ketahui, ada seorang pria tengah mengamati gerak-gerik keduanya dari dalam mobil sport mewah berwarna hitam pekat. Sembari menghubungi seseorang, pria itu tersenyum miring kala melihat Bara pergi sementara Gitta masuk ke kediamannya.

"Aslan, apa mereka semiskin itu?"

"Mereka siapa yang anda maksud, Tuan Yildirim?"

"Tentu saja gadis itu dan Bibinya, memang siapa lagi?"

Terdengar helaan napas dalam dari seberang telepon sana.

"Tinggal di lingkungan seperti ini. Pulang, pergi tanpa supir. Menghabiskan waktu di tempat yang tidak menyenangkan. Apa keseharian yang dijalaninya begitu membosankan seperti ini?"

"Ya, ini terjadi karena mereka jatuh miskin, Tuan Yildirim. Hutang menumpuk yang mengharuskan harta kekayaan mereka di sita oleh pihak terkait. Rumah, mobil dan barang-barang berharga lainnya. Seperti yang sudah pernah saya sampaikan. Tidak ada yang saya kurangi dan saya lebih-lebihkan."

Pria itu menghela napas. Kini ia benar-benar percaya karena sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri mengenai kebenaran atas apa yang selama ini Aslan sampaikan padanya.

"Seseorang bersedia membantu melunasi hutang keluarganya tapi dengan satu syarat."

"Seseorang? Syarat?" ulang pria itu seraya mengernyitkan dahi tak mengerti. Aslan baru menyampaikan informasi ini padanya.

Kemudian pembicaraan mengenai seseorang dan syarat yang diajukannya pun mengalir begitu saja dari mulut Aslan, satu-satunya orang kepercayaannya yang sudah lama sekali bekerja untuknya. Ia percaya sepenuhnya pada apa yang Aslan informasikan.

***

Gr***** BOOK STORE

15.33 WIB

SWEET LIES [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang