23. Drama Pranikah

23 1 2
                                    

Gedung menjulang tinggi dengan banyak manusia di dalamnya. Menjadi saksi bisu seorang Levin yang kini tengah berkutat dengan layar lebar berbentuk kotak dihadapannya, dengan jari-jemari yang menari di atas keyboard. Berkas berserakan di meja, menandakan betapa banyaknya hal yang ia kerjakan.

Sahabat sekaligus sekretarisnya, yakni Sadam berulang kali mengecek ke dalam ruangan. Karena dia takut kerjaan yang menumpuk itu akan membuat sahabatnya stress.

"Vin, udah, lah. Lo jangan forsir banget diri lo. Tenggat waktu lo seminggu lagi buat acara nikahan, lo mau stress gara-gara ginian?"

Levin menatap sahabatnya sebentar, lalu pandangannya beralih pada berkas-berkas kembali.

"Mending lo kerjain kerjaan lo, Dam! Daripada ganggu gue di sini."

Sadam menimpuk bantal sofa ke arah Levin. Ia tak habis pikir dengan sahabatnya yang mementingkan berkas kerjaan daripada pernikahannya.

"Dam!" geram Levin, saat bantal mendarat tepat di kepalanya. Tatapannya berubah tajam dengan decakan keluar dari mulutnya.

"Lo ganggu sumpah. Mending keluar, deh!"

Sadam mendecih dan geram dengan tingkah Levin yang masih terus fokus dengan pekerjaannya."Levin yang ganteng anak tunggal om Adnan, berhenti dulu bisa? Gue di sini yang bakal bantuin kerjaan lo. Sekarang, lo harus istirahat dan mikirin acara pernikahan lo nanti!"

Levin akhirnya berhenti menatap pekerjaannya dan berjalan menuju sofa. Ia mendaratkan bokongnya dan menyandarkan kepalanya di bagian kepala sofa.

Sadam pun ikut duduk di sofa sebelahnya. Ia menghela nafas saat melihat Levin memejamkan matanya. Ia tahu, bahwa pekerjaan ini harus selesai dengan cepat. Karena ada kerja sama dengan perusahaan Cenyra Bintang. Perusahaan yang bergerak di bidang olahan makanan serta perhotelan.

Dalam dua minggu harus sudah selesai. Itu makanya Levin seolah terkejar dengan pekerjaan yang cukup membuatnya lelah.

"Urusan kerjaan ada gue sama om Rama yang nanganin. Lo tenang aja, Vin. Karyawan lo gak cuma satu atau dua, mereka banyak. Kita bisa manfaatin kinerja mereka untuk ngerjain hal kaya gini, senior kaya Pioni sama Galuh juga bisa ikut ngebantu kalo mereka bersedia." Sadam berujar seraya memerhatikan Levin yang mulai membuka matanya dan memijit pelipisnya.

"Lagi pula, lo kayanya antusias banget sama perusahaan satu ini. Karena emang menjanjikan?"

"Utamanya itu. Tapi gue juga pengen ngadain meeting lagi biar clear dengan keputusan gue nanti."

"Itu emang harus. Dari yang gue tangkep, mereka menjanjikan dengan seolah meyakinkan kita tapi tanpa ada hasil akhir. Gue takut kalo ujung-ujungnya hasilnya nol. Uang yang lo investasiin ke mereka bakalan hilang banyak, Vin, kalo sampe ini teledor. Bayangin aja, 70% lo kirim ke mereka terus nanti gak ada hasilnya sama sekali. Masalahnya ni orang kekeuh banget pengen buat lo bertekuk lutut. Belum apa-apa tapi udah berani yang namanya pemerasan dan pemaksaan di atas nama kerja sama yang katanya menjanjikan itu. Profit kerja lo bukannya naik malah nurun kalo kaya gitu."

Levin memerhatikan Sadam yang baru saja mengutarakan pendapatnya. Hal tersebut sudah pasti membuatnya bangga. Sejak awal ia memang tak salah menjadikan Sadam sebagai sekretarisnya. Dia cekatan, ulet, cepat tanggap, profesional, dan yang pasti dia bisa bekerja sama dengan baik. Dia akan serius ketika sedang bekerja, namun bisa santai kembali ketika sudah di luar dari pekerjaan. Untung saja pada saat itu ia segera merekrut Sadam, sebelum diambil alih oleh perusahaan lain. Pasalnya, Sadam banyak yang mengincar dari perusahaan-perusahaan ternama.

***

Levin melangkahkan kakinya menuju lobi. Mobil pribadinya telah menunggu di sana, ia tadi meminta supir kantor untuk membawanya. Kali ini dirinya benar-benar ingin rehat dari kerjaan. Karena sudah waktunya ia memikirkan acara pernikahannya yang akan digelar pada hari sabtu minggu ini. Berarti tinggal menghitung hari untuk acara resmi tersebut.

Hatinya merasa sedikit lega, karena sebentar lagi ia akan tinggal bersama dengan Khalisa di rumah mereka yang sengaja Levin buat dua tahun lalu. Bahkan interior dan furniture di rumah itu sudah terisi oleh kesukaan Khalisa. Levin memberi kepercayaan pada Khalisa atas keinginannya mengisi barang-barang di sana. Levin hanya ingin Khalisa merasa nyaman saat nanti mereka tinggal bersama.

Levin sudah berada di rumah, di sana ada kedua orang tuanya yang tengah mengobrol santai sambil menyesap teh serta kopi hangat.

"Ma, Pa, aku pulang." Levin mencium punggung tangan Adnan dan Bella. Ia juga memberi senyuman pada mereka berdua.

"Rehat dulu, Vin. Jangan sampe pas acara kamu sakit dan jatuh pingsan." Adnan memberi petuah pada Levin.

"Papa bener, Vin. Semuanya 'kan, udah diurus sama asisten Papa, jadi kamu tinggal duduk manis aja sekarang, oke! Ke kamar, gih, istirahat!"

Levin memang sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Ia juga sudah menyerahkan pada semua yang bersangkutan. Dari katering, dekorasi, hingga WO.

Meskipun tadinya tersendat di WO. Karena Khalisa selalu merasa kurang sreg dan cocok hingga timbul percek-cokan, tapi akhirnya semua itu bisa terselesaikan dengan baik.

Sebelumnya, Levin merasa tertekan karena keinginan Khalisa yang ingin begini dan begitu. Sampai mereka melakukan briefing kembali untuk bisa menyelesaikan satu masalah tersebut.

***

Sudah satu bulan setelah perencanaan pernikahan dengan berbagai rincian, kini tinggal menghitung hari untuk pelaksanaan pernikahan itu berlangsung.

Khalisa kini sedang melakukan ritual lulur di salon terbaik yang kebetulan kenalan dari Wendy, sang ibunda tercinta.

Wendy dan Zaldy, selaku kedua orang tua dari Khalisa dan Athaya benar-benar tak menyangka, kalau putri pertamanya itu sebentar lagi akan menikah dengan laki-laki pilihannya.

Khalisa pergi ke tempat salon bersama Athaya, yang kini tengah sibuk dengan laptop di atas meja. Sedari tadi jari-jemarinya menari di sana dengan lincah.

Saat proses maskeran, Khalisa menitah pada karyawan yang bekerja agar meminta waktu sebentar pada Athaya di ruangan tersebut. Karena menurutnya ini agak privasi.

"Thank you for your time my beautiful sister." Khalisa duduk dengan mata yang menatap Athaya lekat.

"To the point, Kak!" Athaya berbicara tanpa menoleh sedikit pun pada Khalisa. Ia masih sibuk dengan laptop dan satu buku notes juga pena di atasnya.

"I want to go."

"Iya gue tau, lo bakalan pergi ke tempat suami lo nanti."

"No, not to my boyfriend's house. But elswhere."

Saat mendengar perkataan seperti itu dari Khalisa, Athaya langsung mendongak dan menatap kakaknya dengan raut penuh tanda tanya. "Maksud lo apaan, si? Gak usah main-main ya, Kak."

"I'm seriously."

"Candaan lo garing."

Khalisa bernafas berat saat adiknya tak percaya atas perkataannya. "Gue lagi gak bercanda, Ta. Ada wajah gue kelihatan lagi bercanda? Enggak, 'kan?"

Seusai dengan percakapan tersebut, akhirnya proses lulur dan maskeran kini dimulai kembali.

Dua malam ini Khalisa diteror oleh Agnan, agar saat pernikahan nanti ia harus bisa melarikan diri. Pasalnya, Agnan menjanjikan untuk selalu berada di sisinya. Selalu berada dalam jangkauannya. Selalu ada untuknya sampai kapan pun. Tawaran itu tentu saja menggiurkan baginya, karena ia sangat membutuhkan Agnan dengan semua perlakuannya.

Agnan bukan memanfaatkan segala gairah yang ada saja. Sejak dulu, dia selalu memberikan hal yang bisa membuatnya bahagia. Dari hadiah-hadiah yang bisa dibilang tidak murah, waktu yang dia punya, bahkan apapun yang ia inginkan pasti Agnan akan lakukan dan mengabulkannya.

Jujur saja, rencana ini sudah pernah mereka bicarakan dua minggu yang lalu. Namun, hal tersebut masih membuat Khalisa gamang. Hingga detik ini ia masih terus memikirkan perkataan Agnan. Apakah ia harus kabur bersama Agnan, atau justru memilih diam dan menjalankan pernikahannya bersama Levin?

_________

Terima kasih ❤

25-09-2023

Kesalahan Cinta (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang