36. Mulai Sadar

23 1 0
                                    

Rinai hujan telah membasahi bumi. Bau petrichor merebak ke hidung milik pria yang kini tengah berdiri di pembatas balkon kamar, dengan tangan yang dimasukkan ke dalam celana pendek hitamnya.

Tatapan sendu serta kegalauan pada malam hari ini turut serta dalam kehidupannya. Biasanya ada sapaan hangat atau paling tidak senyuman manis, kini semua tak lagi sama.

Rasa rindu kian membuncah kala mengingat wanita yang paling ia sayangi setelah ibunya. Wanita yang mampu memporak-porandakan hidupnya yang dulu tak ada warna.

Tubuhnya berbalik, netranya menatap sebuah figura di atas nakas dengan tatapan nanar. Ia rindu wanitanya. Ia rindu semua kenangan bersamanya.

Semua tampak seperti warna hitam dan putih. Tak ada kecerahan dalam hidupnya ketika wanitanya pergi tanpa mau kembali.

"Kal, I miss you so bad."

Dadanya terasa terhimpit sesuatu ketika mengatakan itu. Meratapi nasib ialah kegiatannya akhir-akhir ini. Rapuh, gundah-gulana setiap waktu.

"Can you come back to my arms?" tanyanya, ketika menatap foto cantik wanitanya. Ia membawanya ke dalam pelukan, bahkan tak segan untuk menciumnya. Rasa cinta yang tak bisa terbantahkan dan tak akan mampu jika diucap melalui kata-kata.

***

Di sudut ruang kerja milik Zaldy, terdapat Khalisa yang kini diam seraya duduk dengan setelan piyama tidurnya. Ia menunggu papanya selesai mengerjakan beberapa tugas kantor.

Khalisa duduk di sofa dengan tangan yang bersidekap dada. Ia menatap jendela yang gordennya terbuka. Hujan malam ini mampu membuatnya merasakan nyaman. Namun, ada hal yang membuatnya gusar. Kenapa dirinya bisa memikirkan Agnan? Apakah ia merindukannya? Atau Agnan tengah memikirkannya juga?

Lamunan itu buyar, lantaran Zaldy sudah selesai dengan pekerjaannya dan melangkah menghampirinya.

Khalisa jelas langsung menegakkan tubuhnya. Ia berusaha untuk menahan rasa penasarannya sejak tadi.

Zaldy mendekatkan ke sisi Khalisa, ia mengusap surai abu-hitam putrinya yang sudah memanjang. Sudah sebesar ini putri-putrinya, yang di mana ia menganggap kalau mereka masih menjadi putri kecilnya, baik Athaya maupun Khalisa. Putri yang sangat ia sayangi.

"Gimana kabar kamu, Lis, baik-baik aja?"

Khalisa segera menatap Zaldy dari samping. Ia mengangguk cepat dan langsung menghambur ke pelukan papanya. Tanpa sadar, air mata mengalir dari kedua netranya.

"Maaf, Pa." Khalisa berujar di sela pelukannya pada Zaldy.

Zaldy tersenyum dan semakin membawa Khalisa pada pelukannya. Ia juga tak segan untuk terus mengusap surai putri pertamanya itu dengan penuh kasih sayang.

"Apa yang buat kamu minta maaf sama Papa?"

Khalisa masih enggan menjawab. Ia masih terus menangis dipelukan Zaldy.

"Oke, Papa ganti pertanyaannya. Papa mau tau, kenapa kamu memutuskan untuk kabur saat hari pernikahanmu saat itu? Apa alasan dibalik semua perilakumu yang cukup membuat kami semua kecewa?"

Tangan Khalisa mengendur dilingkaran perut Zaldy. Ia memundurkan tubuhnya dan mulai menghapus air mata yang sejak tadi mengalir. Kepalanya menunduk tanpa ada suara yang keluar dari mulutnya.

"Kenapa, Lis? Jelasin semuanya sama Papa! Kamu tau, mama sama Papa khawatir juga sama kamu kalau kamu masih terus menuruti obsesimu untuk memiliki Levin. Ingat sayang, Levin udah punya Yaya. Mereka saling mencintai dan menyayangi. Iya, kalau diingat betapa lamanya Levin mengenal kamu agak tidak masuk akal jika dilihat secara logika. Tapi ini berbeda, Lis, berbicara mengenai hati dan perasaan, Papa gak bisa melakukan apapun. Perasaan itu ada karena terbiasa, kamu tau istilah itu 'kan? Pun, mereka juga udah saling terikat dan mengikat, kamu harus tau itu. Jadi cukup, ya, untuk mengejar Levin. Mereka pantas bahagia, Lis. Begitu pun dengan kamu, kamu juga pantas bahagia meski jodohmu bukan Levin. Masih banyak pria di luaran sana yang pasti sayang dengan tulus sama kamu. Jangan terus-terusan kaya gini ya, Lis. Papa jadi bingung kalau kamu bertingkah kekanakan dengan menuruti obsesimu itu."

Kepala Khalisa kembali tegap. Netranya menatap Zaldy lekat. Iya, papanya itu tidak salah, semua yang dikatakannya benar. Bahwa dirinya tidak boleh terus berlarut dengan menuruti keinginannya  yang cukup tidak masuk akal.

"Kalo aku cerita semuanya, Papa janji gak akan marah?" tanya Khalisa dengan nada yang pelan. Ini kali pertama ia menghadapi Zaldy untuk berbagi cerita, apalagi mengenai soal perasaan. Sebelumnya ia akan menjadikan Athaya umpan dan sebagai tameng untuk dirinya, agar terhindar dari pertanyaan-pertanyaan yang akan membuatnya mati kutu. Kini semua ia hadapi sendiri. Kenyataan bahwa adiknya selama ini tersiksa karena perilakunya.

"Iya, Papa akan berusaha untuk menerima segala cerita yang mengalir dari mulut kamu. Tapi kamu juga harus jujur dan ceritain semuanya. Biar Papa atau mama tau, apa alasan kamu dibalik kejadian pernikahan yang batal saat itu."

"Tunggu-tunggu! Mama juga penasaran tau sama ceritanya. Kok gak ajak-ajak, si?" Wendy yang baru saja membuka pintu, segera berjalan dengan cepat menuju sofa. Ia membawa tiga buah cangkir berisi kopi hitam serta cokelat panas di tangannya. Lalu ia meletakkannya ke meja. Tubuhnya sudah siap untuk mendengarkan kisah Khalisa, dengan bokong yang mendarat di sofa seberang Zaldy dan Khalisa duduki.

Zaldy sempat tertawa atas kelakuan istrinya, bahkan Khalisa pun terkekeh saat melihat Wendy datang dengan terburu-buru dan begitu antusias karena ingin mendengar ceritanya.

Beberapa menit kemudian, Khalisa pun mulai membuka suaranya. Ia merasa rileks, karena selama bercerita baik Zaldy maupun Wendy tetap menenangkannya dengan perlahan juga penuh kelembutan. Mereka juga tidak menatapnya dengan penuh intimidasi, tidak seolah menyudutkannya. Bahkan mereka terus tersenyum dan menyemangati agar ia lebih bisa jujur dengan perasaannya.

Selama Khalisa bercerita, Wendy menatapnya dengan nanar. Lagi-lagi ia merasakan kegagalan dari seorang ibu terhadap anak-anaknya. Ia tahu, bahwa Khalisa sangat salah dalam hal ini. Tapi yang menumbuhkan karakter Khalisa menjadi seperti itu ya dirinya, selaku ibu sekaligus orang tua bagi Khalisa. Jadi ia tak bisa menyalahkan Khalisa sepenuhnya. Karena selama ini ia juga tak pernah bertanya soal perasaan Khalisa sedalam itu. Ia tak pernah mengajak kedua putrinya baik Khalisa dan Athaya untuk sekadar berbagi cerita ringan mengenai memiliki kekasih atau siapa yang sedang mereka sukai.

Zaldy tahu bahwa istrinya tengah menyalahkan dirinya sendiri. Karena ia pun merasakan hal yang sama. Ia tak bisa memarahi bahkan sampai membentak Khalisa atas semua cerita yang dijelaskan. Karena jika mengenai rasa, semua orang akan bertindak bodoh. Namun sekarang ia jadi tahu, siapa pria yang membuat putrinya itu nekat untuk pergi meninggalkan pernikahannya sendiri bersama Levin. Kali ini ia bisa membedakan, soal perasaan Khalisa yang sebenarnya itu untuk siapa. Dan ia pun akan menasihati putrinya itu dengan baik dan hati-hati, karena semua harus diluruskan. Khalisa harus ditegaskan kembali soal perasaannya sendiri untuk siapa. Bukan mengikuti segala obsesi yang ada di otaknya.

"Berarti kamu harus berdamai dengan semuanya, Lis. Biar hidup kamu juga tenang. Gak akan ada dendam, amarah, dan rasa iri di dalam hati kamu. Orang yang mengikuti itu semua hidupnya gak akan bahagia. Kamu sanggup berdamai dengan semua itu sekarang?"

Khalisa menatap Zaldy dan Wendy bergantian, kemudian ia menganggukkan kepalanya beberapa kali. Ia mengiyakan ucapan dan nasihat kedua orang tuanya.

"Kamu juga harus minta maaf sama Yaya dan Levin. Karena biar bagaimana pun, Yaya juga mengambil peran banyak dan mengorbankan perasaannya buat kami  sekeluarga. Buat pernikahan yang hampir gagal." Wendy berujar dengan tegas mengenai hal ini. Karena ia mau Khalisa juga sadar dengan semua perilakunya.

"Aku akan berusaha, Ma, Pa. Maafin aku karena kesalahan aku kemarin. Kali ini aku cukup sadar akan semuanya. Ini juga berkat Ata yang udah nyadarin aku dari tindakan gila aku. Aku sangat berterima kasih juga sama dia soal itu. Makasih Ma, Pa, atas nasihat bijak kalian. Pikiranku jadi terbuka atas perilaku aku yang sangat kurang ajar dan begitu kekanakan. Aku gak tau lagi mau bilang apa selain makasih sama kalian. Di titik terpuruk aku, kalian gak ninggalin aku gitu aja. Justru kalian nemenin aku dengan rasa penuh kasih sayang. Maaf dan makasih."

Zaldy mengusap surai Khalisa dengan lembut, ia juga memberikan sebuah kecupan ringan di puncuk kepalanya. Wendy pun menghampiri Khalisa dan memeluknya dari samping. Bahkan ia mencium dahi serta pipi Khalisa dengan lembut. Kalau bukan mereka yang menyadarkan, lantas siapa lagi. Dan kalau bukan sekarang, ya mau kapan lagi. Mereka juga tak mau jika Khalisa semakin terjerumus dengan obsesi yang ada di dalam pikirannya.

________

Terima kasih ❤

24-10-2023

Kesalahan Cinta (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang