40. Akhir Dari Cerita

121 2 0
                                    

Rumah yang dulunya menjadi impian Khalisa kini bukan haknya lagi. Detail furniture kesan mewah, kini tak lagi sama. Semua berbeda, begitu pun si pemilik rumah.

"Kak, ada apa ke sini? Lo gak mungkin mau bahas perihal hubungan gue dan Levin, 'kan?"

Khalisa menggelengkan kepalanya pada Athaya. Ia menatap Athaya dengan lekat, belum lagi tatapannya berubah menjadi sendu.

"Hey, Kak, are you okay?" Segimana kesalnya Athaya, ia tak bisa mengabaikan begitu saja soal Khalisa jika tengah dilanda gusar atau sedang menghadapi masalah.

"Gue baik-baik aja, Ta. Bahkan lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Ta, gue mau minta maaf sama lo dan Levin. Gue tau, banyak banget bahkan gak terhitung kesalahan gue sama lo, tapi gue mau minta maaf soal semua itu. Gue minta maaf karena selalu buat lo muak. Dari yang kita masih menjadi pelajar hingga kita dewasa, lo selalu jadi tameng buat gue. Maafin gue, Ta."

Athaya tersenyum atas penuturan Khalisa. Itu berarti, Khalisa sudah menyadari atas kesalahannya selama ini.

"Gue juga minta maaf soal gue yang gak bertanggung jawab atas kaburnya gue di hari pernikahan sendiri. Yang di mana semua dilimpahkan ke elo. Harusnya kalo emang gue ragu, lebih baik bilang dari awal dan membatalkan pernikahan itu. Maaf karena selalu menjadi kekanakan."

Athaya masih setia mendengarkan semua perkataan Khalisa tanpa menyela atau memotong ucapannya.

"Maaf juga karena kemarin gue minta Levin ke elo. Bego banget ya, udah tau udah ada yang punya. Levin milik elo, begitu juga sebaliknya. Kalian saling mencintai juga terikat secara hukum dan agama, seharusnya gue gak ngelakuin hal yang di luar nalar."

Khalisa memegang tangan Athaya dan membawanya ke hadapannya. Ia tersenyum dan menatap pedih adiknya itu. Dilihat dengan lamat seperti ini, adiknya memang selalu kuat dalam kondisi apapun. Dia selalu bisa memendam semua masalahnya sendiri, bahkan bisa menemukan solusi dari setiap masalahnya.

"Ta, makasih, kalo bukan karena lo waktu itu gue mungkin masih belum sadar juga sampe sekarang. Ucapan dan tamparan keras kemarin mampu buat gue jadi berpikir. Elo, mama, dan papa, memberikan nasihat baik dan bijak buat gue. Pikiran gue jadi terbuka dari kejadian yang kemarin. Gue sangat sadar kalo yang gue lakuin salah. Dan lo tau, gue mau berdamai dengan semuanya. Tolong dukung gue ya, Ta. Sekarang pun gue mau fokus karir. Do'a-in gue biar kerjaan yang gue geluti sekarang ini membuahkan hasil yang baik."

Tanpa kata, Athaya membawa Khalisa ke dalam dekapannya. Mereka saling memberikan kehangatan serta dukungan satu sama lain. Seburuk apapun Khalisa, Athaya akan selalu mendukung dan mendo'akan hal yang baik untuk Khalisa. Biar bagaimana pun, Khalisa adalah kakaknya sendiri, saudara kandung satu-satunya yang ia punya.

"Gue maafin lo, Kak. Gue maafin semua kesalahan lo. Yang lalu biarlah berlalu. Gak usah diinget-inget lagi masalah yang dulu. Sekarang lebih baik lo fokus dengan segala mimpi-mimpi lo yang mau lo raih. Gue emang sengaja si, kasih lo tamparan biar lo cepet sadar. Inget Kak, gak semua apa yang lo inginkan itu harus dituruti dan terwujud! Apalagi hal yang gak masuk akal, itu si mendekati ketidakwarasan asal lo tau."

Khalisa memundurkan tubuhnya, ia menatap Athaya dengan bibir yang mencebik kesal.

"Kenapa?" tanya Athaya dengan kernyitan di dahinya.

"Nyebelin, gue dibilang gak waras."

"Ya abis, lo kaya gitu kelakuannya."

Tapi setelah itu, Khalisa terkekeh dengan ucapan Athaya. Ia juga berpikir demikian. Bahwa dirinya sungguh gila kemarin. Benar-benar hilang akal.

***

Angin bertiup kencang, dengan langit malam yang gelap bertabur bintang. Betapa indahnya nikmat Tuhan yang ada di depan mata.

Di sana, ia tengah duduk di bangku dengan meja yang terisi beberapa makanan. Ada juga hot capuccino untuk menemaninya dari rasa dingin tiupan angin.

Tangannya kini berselancar di layar ponsel. Ia membuka akun sosial media miliknya. Ibu jarinya sibuk menggulir beberapa foto yang akan ia hapus. Karena di sana masih ada postingan sebuah foto dirinya dengan Levin. Meski ada yang blur atau hanya sebuah genggaman tangan, tak akan bisa lagi ia simpan begitu saja. Karena Levin sudah memiliki Athaya. Ia tak mungkin membiarkan kenangan itu ikut bersamanya.

"Seharusnya memang begini dari awal. Levin mengenal Ata dan gue tetap bersama Agnan atau juga sendirian. Kalo aja Levin ketemu Ata duluan, udah pasti kejadiannya gak akan kaya gini."

Khalisa menyesap hot capuccinonya perlahan. Ia memejamkan matanya karena begitu menyelami rasa dari minuman tersebut.

"Nan, makasih karena udah setia sama gue selama itu. Bahkan sekarang lo rela untuk nunggu dan nemenin gue dalam kondisi apapun. Thank you for always being there for me."

Senyuman lebar terpatri di wajah Khalisa. Ia benar-benar mengucapkan terima kasih pada orang-orang di sekitarnya atas perkataan bijak juga nasihat baik untuknya. Bahkan kata telakan juga mampu membuatnya sadar.

Kini, ia tak akan membawa kenangan buruk atau masa lalu di hidupnya. Semua harus bisa lebur. Lantaran, ia tak mau jika semua kenangan itu ikut bersamanya. Terlalu pahit dan menyakitkan.

Kebahagiaan yang terpancar, begitu terlihat sekali dari raut Khalisa. Bahwasanya ia begitu aman dan nyaman hidup dengan damai seperti ini.

Rasa dendam, iri, dan amarah, adalah sumber kehancuran Khalisa. Jika kala itu ia terus mengikuti arus tersebut, ia yakin, bahwa tak ada kata kebahagiaan yang sesungguhnya.

Dan sekarang, hidupnya terasa lebih ringan tanpa beban yang terbawa hingga memuakkan.

________

T A M A T

Terima kasih banyak untuk kalian yang masih setia mengikuti cerita ini. Makasih juga atas dukungan kalian dengan memberikan vote dan komentar.

Kini, berakhir lah kisah seorang Khalisa dalam cerita Kesalahan Cinta.

Maaf hanya dapat memberikan kisah yang mungkin jauh atau tak sesuai dengan ekspektasi kalian.

Dan sampai jumpa di cerita selanjutnya ;)

Kesalahan Cinta (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang